Problematika Pengeluaran FABA PLTU dari Limbah Golongan B3 

FABA (Fly ash bottom ash) adalah limbah yang timbul dari hasil pembakaran batu bara pada PLTU yang melayang ke atas dan jatuh ke bawah. Zat yang melayang ke atas atau terbang disebut fly ash, sedangkan zat yang jatuh ke bawah atau terendapkan disebut bottom ash. Kandungan yang terdapat dalam FABA sendiri bergantung kepada jenis mineral yang terdapat dalam batu bara. Bahan beracun yang hingga saat ini mengancam kesehatan masyarakat mayoritas adalah ozon dan logam berat. Bahan beracun tersebut memberikan dampak kesehatan yang cukup serius karena terdiri dari partikel mikroskopik yang terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida dan debu. Partikel halus ini dapat menembus paru-paru serta aliran darah manusia yang dampaknya dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti gangguan pernafasan hingga kematian.

Sebelum pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, FABA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014. Awalnya FABA digolongkan ke dalam kategori limbah B3. Pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, pengelolaan FABA saat ini tidak membutuhkan perizinan dan pengujian sebelum pemanfaatannya. Longgarnya aturan mengenai pengelolaan FABA sebagai limbah non B3 tentu menjadi ancaman bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Tanpa adanya pengujian pengelolaan FABA, maka akan terjadi risiko peningkatan pemanfaatan tanpa mengetahui potensi pencemarannya.

Dikeluarkannya FABA dari limbah golongan B3 merupakan salah satu bentuk tindakan inkonstitusional pemerintah. Pasalnya dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) telah diatur jelas bahwasannya seluruh warga Indonesia berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Dengan terbitnya regulasi baru terkait penghapusan FABA dari kategori limbah B3 yang melonggarkan aturan pengelolaan FABA yang beresiko membahayakan, maka pemerintah memang terbukti lalai memenuhi kewajibannya untuk menyediakan lingkungan hidup yang sehat yang tidak membahayakan masyarakat.

Dalih KLHK dengan mengeluarkan FABA hasil pembakaran batubara PLTU dari golongan limbah B3 adalah untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa berdasarkan riset Harvard University-ACMG dan Greenpeace Indonesia, PLTU batu bara menghasilkan bahan beracun, ozon, dan logam berat yang partikel halusnya dapat menembus paru-paru dan aliran darah yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan hingga kematian. Bukankah seharusnya segala kebijakan pemerintah adalah semata-mata demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat? Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana mungkin kesejahteraan dan kemakmuran itu akan tercapai apabila masyarakat sendiri tidak memiliki lingkungan yang sehat untuk dapat mendukung kegiatanya. Lingkungan yang sehat adalah bagian dari hak asasi manusia yang secara tegas termuat dalam Pasal 3 (g) dan 65 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pengeluaran FABA hasil pembakaran batubara PLTU dari limbah B3 akan mengurangi kontrol pemerintah karena setiap korporasi yang ingin melakukan pengelolaan FABA tersebut tidak lagi memerlukan izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal, izin adalah salah satu instrumen preventif terpenting yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan perilaku masyarakat termasuk korporasi. KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, menyampaikan dan meyakinkan masyarakat jika terdapat pelanggaran dalam pengelolaan limbah batubara maka tetap akan dilakukan penegakan hukum dan masyarakat tetap dapat melakukan gugatan ganti rugi. Di sini menunjukkan kemunduran pemerintah di mana KLHK lebih berfokus pada langkah represif. Tidak bijak kiranya apabila suatu tindakan perlindungan dilakukan hanya setelah kerugian nyata-nyata terjadi. 

Padahal pada tahun 2019, warga dusun Winong Cilacap kembali merasakan dampak akibat adanya perluasan wilayah produksi. Salah satu warga terdampak pembangunan PLTU Cilacap (Fandi Ramadhan, Koordinator Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan) kembali menyampaikan kegelisahannya. “Dampak dari debu banyak, terkait kasus kesehatan, dari balita hingga dewasa ada yang terkena ISPA. Paling parah, balita umur 3 bulan mengalami bronkitis dan ISPA, sudah berobat kesana kemari”. Menurut pengakuan warga, PT S2P selaku pengelola PLTU Cilacap sampai saat ini belum memberikan ganti rugi atas biaya-biaya rumah sakit yang telah dikeluarkan warga. PT S2P hanya melakukan pengecekan kesehatan warga yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Padahal fakta di lapangan warga yang mengalami penyakit paru-paru tersebut bahkan ada yang sampai seminggu sekali harus melakukan pengecekan ke rumah sakit. 

Pembangunan PLTU Cilacap juga membawa dampak secara langsung bagi roda perekonomian masyarakat. Salah satu warga Dusun Winong (Novi) menyampaikan “Sebelum ada PLTU warga biasa bekerja sebagai petani dan nelayan, setelah ada PLTU, mata pencaharian mereka hilang karena kesuburan tanah terganggu dan kawasan pantai terkikis. Dari kerugian itu pihak pltu ga ngasih pertanggungjawaban apapun.” Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akhirnya warga beralih mata pencaharian dengan melakukan penambangan pasir. Namun, penambangan pasir ini juga membawa problematika baru yaitu berkaitan dengan risiko abrasi. Selain itu,  masyarakat akhirnya terbagi menjadi dua kubu dimana kubu pertama adalah golongan masyarakat yang mendukung adanya penambangan pasir dan kubu kedua adalah golongan masyarakat yang menolak penambangan pasir tersebut. Konflik internal yang terjadi di dalam  Dusun Winong ini akhirnya juga membawa konsekuensi logis terhadap kondisi psikologis masyarakat itu sendiri. Ketika salah satu warga ditanya apa harapannya terhadap pemerintah berkaitan dengan konflik berkepanjangan atas dampak pembangunan PLTU Cilacap ini jawabannya cukup singkat yaitu “Ya pemerintah tolonglah kalo membuat kebijakan jangan yang menyengsarakan rakyat”.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa pembangunan PLTU Cilacap yang sangat dekat dengan pemukiman warga memunculkan berbagai masalah yang tidak ada ujungnya. Terbitnya aturan baru yang di dalamnya mengatur mengenai pengeluaran FABA PLTU dari limbah golongan B3 tentu berpotensi memunculkan dampak baru lainnya terlebih dalam hal kesehatan. Agaknya keputusan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 perlu dikaji ulang. Pasalnya dari beberapa aturan yang diubah, banyak yang terlihat tidak mengutamakan kelestarian lingkungan serta terus-menerus mengorbankan rakyat. Sehingga tentu perlu dipertanyakan lagi apakah keputusan pemerintah mengeluarkan FABA dari golongan limbah B3 merupakan langkah yang sudah tepat atau justru menyengsarakan masyarakat yang seharusnya berhak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat?.

Ditulis oleh Laila Hasna dan Aziizah Azzahra (Mahasiswa Magang UGM)

 

DAFTA PUSTAKA

Publikasi

  1. Greenpeace, “Riset Kita, Batubara & Polusi Udara: Riset Dampak PLTU Batubara Oleh Tim Peneliti Universitas Harvard – Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) dan Greenpeace Indonesia”, Agustus 2015.

Undang-Undang 

  1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Peraturan Pemerintah

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Internet

  1. IndonesiaInside.id, “Pengamat Nilai Limbah Faba Dapat Diolah Jadi Sesuatu yang Berguna”, https://indonesiainside.id/news/nasional/2021/03/17/pengamat-nilai-limbah-faba-dapat-diolah-jadi-sesuatu-yang-berguna, diakses pada 18 Januari 2022.
  2. Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan Republik Indonesia, “Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) Hasil Pembakaran Batubara Wajib Dikelola”,https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3707/fly-ash-dan-bottom-ash-faba-hasil-pembakaran-batubara-wajib-dikelola, diakses pada 18 Januari 2022.