Malioboro Indah Tanpa Menindas: Nasib HAM Pedagang Kaki Lima yang Direlokasi

Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat memiliki ciri berupa hilangnya hak rakyat dalam implementasinya. Hal tersebut merupakan suatu bentuk penindasan. Kondisi semacam itu terjadi dalam ekosistem ekonomi di sepanjang jalan Malioboro. Pedagang kali lima (PKL Malioboro) dan pendorong gerobak yang mengais hidup di sana terimbas kebijakan meresahkan dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemprov DIY). Kebijakan yang dimaksud adalah penataan Jalan Malioboro. Penataan ini bagian dari agenda pendaftaran Sumbu Filosofis sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO.

Penataan Jalan Malioboro mengharuskan “tergusurnya” PKL Malioboro itu, padahal mereka telah ada sejak lama menjadi citra dan daya tarik Malioboro bagi wisatawan melalui aneka kuliner serta cendera mata yang dijajakan pada sepanjang jalan. Kini, mereka ditempatkan ke Teras Malioboro I dan Teras Malioboro II. Masalah tidak berhenti pada mereka para PKL Malioboro, tetapi pendorong gerobak yang kehilangan mata pencahariannya. Pekerjaan pendorong gerobak sangat erat dengan PKL Malioboro, karena bentuk pekerjaannya berupa mengantar, merapikan, mengembalikan lapak dagangan PKL.

PKL Malioboro dilarang melakukan aktivitas ekonomi di sepanjang jalan Malioboro sejak 1 Februari 2022. Dasar pelarangan tersebut adalah Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. SE itu berlandaskan pada SE Gubernur Nomor 3 tentang Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo, serta Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 13 tahun 2022 tentang Pencabutan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Khusus Malioboro – A. Yani.     .

Seharusnya aturan tersebut ditetapkan dari jauh-jauh hari sebelumnya, bukan ditetapkan tanggal 31 Januari 2022 sehari sebelum PKL Malioboro direlokasi. Dari hal itu, kita dapat melihat bahwa kebijakan ini terlihat minim partisipasi dan terkesan terburu-buru. Sehingga pantas saja jika kebijakan ini berimplikasi terlanggarnya hak asasi manusia (HAM) dari para PKL dan pendorong gerobak.

Potret : Rakyat Terdampak melakukan Demonstrasi ke DPRD Kota Yogyakarta (gambar diambil pada 17 Januari 2022)

Hilangnya Hak Rakyat

PKL mendengar informasi terkait wacana relokasi sekitar bulan November-Desember 2021. Informasi itu tidak didapat dari Pemprov DIY ataupun Pemkot Yogyakarta, tetapi wacana itu muncul dari media massa. Meskipun informasi tersebut masih menjadi desas-desus yang belum dimengerti kepastiannya, PKL cukup was-was akan hal itu. Sangat disayangkan, saat itu tidak ada penjelasan langsung oleh pemerintah tentang wacana relokasi.

Hingga tulisan ini dibuat pun, dokumen perencanaan yang memuat masterplan dan grand design kebijakan di atas sukar terakses oleh publik. Akibatnya, PKL atau pihak lain yang terdampak tidak tahu menahu soal pembangunan Malioboro diarahkan ke mana. Selain itu, publik tidak dapat berperan aktif dalam mengawalnya.

Miskinnya PKL ataupun publik atas informasi kebijakan penataan Malioboro mesti berefek pada keterlibatan mereka dalam pengawalan terhadap kebijakan. Pengawalan yang dimaksud dari perencanaan hingga pasca pelaksanaan. Sehingga, orang yang terdampak tidak hanya mengalami kebingungan dan kekawatiran, mereka juga berpotensi terancam haknya jika kebijakan ternyata tidak mengakomodir kepentingan mereka.

Potret memiskinkan informasi dan nir partisipasi itu cukup terjadi pada PKL Malioboro, pendorong gerobak, dll. Mereka telah kehilangan hak atas informasi dan partisipasi mereka. Perlu diketahui bahwa hak-hak tersebut telah tertuang jelas dalam Pasal 28F UUD 1945 ataupun Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terkait asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Ancaman akibat hilangnya hak informasi dan partisipasi ternyata benar-benar terjadi. Agenda yang tidak partisipatif, terkesan buru-buru, dan memaksakan tersebut kurang berdampak baik pada perekonomian mereka. Ekonomi mereka mengalami penurunan, bahkan hilang. Di lokasi yang telah ditempati puluhan tahun, PKL Malioboro secara ekonomi telah berkecukupan. Saat dipindahkan di Teras Malioboro I dan II, situasinya berubah karena mau tidak mau pedagang dan pengunjung Malioboro perlu waktu untuk menyesuaikan aksesnya.

Kacaunya, kondisi infrastruktur di Teras Malioboro I dan II sempat menjadi sorotan karena tidak layak. Hal itu ditandai kurang lebih berupa ukuran lapak yang kecil, material atap penyerap panas di kala terik matahari, atap yang bocor serta banjir yang menggenangi jalan bila hujan datang. Pengunjung akan susah berkunjung ke sana. Itu pun kalau lapak para PKL buka, bagaimana kalau ternyata PKL malah menutup lapaknya karena sibuk mengamankan lapaknya dari hujan.

Kembali pada soal dampak penataan yang mengharuskan PKL pindah. Jika PKL terdampak, berarti pekerjaan pendorong gerobak berpotensi besar terdampak. Belasan tahun mereka menjadi bagian rantai ekosistem ekonomi di Malioboro, rantai itu kini berujung terputus. Jasa mereka berupa mengantarkan-menata-mengembalikan gerobak tidak lagi berfungsi di ekosistem yang dibentuk saat ini. Kehilangan pekerjaan akibat dampak kebijakan relokasi itu memaksa mereka dan keluarga penuh ketidakpastian dalam penghidupan.

Kondisi tersebut diperparah dengan musibah global yang menimpa. Pandemi Covid-19 mengakibatkan resesi ekonomi. Salah satu penyebabnya, datangnya pandemi diikuti kebijakan pembatasan. Berangsur-angsur macam kebijakan pembatasan diterapkan. Hal itu menjadi pukulan telak bagi pendapatan di sektor pariwisata, amat terasa bagi PKL dan segala aktivitas ekonomi di sepanjang Jalan Malioboro. Celakanya, kebijakan yang muncul tersebut tanpa diiringi bansos ataupun jaminan sosial yang merata bagi PKL, pendorong gerobak, dll.

Pertengahan tahun 2021, kebijakan pembatasan sosial mulai diturunkan intensitasnya diikuti dengan agenda vaksinasi. Pariwisata mulai dibuka, tanda pedagang kaki lima dapat menjajakan jualan dan membangkitkan perekonomian keluarga. Aktivitas usaha yang menggantung harap di sepanjang jalan Malioboro mulai bergairah, roda perekonomian PKL mulai bergerak mengikut juga perekonomian pendorong gerobak. Namun, tidak lama kemudian kebijakan yang terburu-buru tadi menghalangi pemulihan ekonomi PKL dan pendorong.

Lantas dengan keadaan seperti di atas, bagaimana hendak memenuhi hak untuk taraf hidup yang layak, sementara lapak sebagai sarana ekonomi PKL tidak layak dan pekerjaan sebagai pendorong dihilangkan. Bukankah dalam peraturan perundang-undangan telah mengakomodir hak terkait penghidupan mereka?

Kesesuaian dengan Aturan yang Ada?

Carut marut ternyata tidak hanya di tataran sosial-ekonomi. Setelah kami telaah dokumen hukum yang ada, kami justru menemukan bahwa dokumen itu memperkuat keberadaan PKL di sepanjang jalan Malioboro. Salah satunya adalah Peraturan Daerah DIY nomor 5 tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039. Pasal 68d-nya menyatakan bahwa kawasan Kraton – Malioboro dan sekitarnya sebagai kawasan wisata budaya, wisata pendidikan, wisata belanja, kampung wisata, dan kuliner. Selain itu, Peraturan Daerah Kota Yogyakarta tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 (Perda RTRW Yogyakarta 2021-2041) pada Pasal 15 juga menyatakan kawasan Jalan Malioboro di Kecamatan Gondomanan, sebagai pusat pelayanan kegiatan perekonomian.

Kawasan Malioboro dalam Perda RTRW Yogyakarta 2021-2041 masuk ke dalam daerah pusat pelayanan kota (PPK).  Pusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan yang diciptakan sebagai pusat orientasi bagi penduduk kota pada tingkat kota dan/atau regional dengan kegiatan yang dikembangkan adalah kegiatan utama berupa pelayanan administrasi, ekonomi, sosial dan/atau budaya.

Merujuk RTRW Provinsi dan Kota yang menegaskan kawasan Malioboro sebagai kawasan perekonomian,  seharusnya kebijakan pembangunan mendukung keberadaan PKL di sepanjang jalannya. Apalagi PKL telah berjualan selama berpuluh-puluh tahun itu menjadi citra bagi Jalan Malioboro sendiri di mata wisatawan. Pedagang Kaki Lima juga menjadi bagian penting dari ekosistem perekonomian di sana mulai dari industri rumahan hingga pekerja yang kerja di lapak. Maka, sangat jelas bahwa kehadiran PKL di sepanjang jalan mendukung Kawasan Malioboro itu sendiri.

Relokasi PKL Malioboro menggunakan alasan Sumbu Filosofis pun perlu ditinjau. Surat Keputusan Gubernur DIY nomor 108 tentang Penetapan Ruas Jalan Sepanjang Sumbu Filosofi sebagai Struktur Cagar Budaya yang pada deskripsi menjelaskan sejarah dan makna dari Sumbu Filosofi mengatakan bahwa Sumbu Filosofi memiliki salah satu makna yaitu sebagai stimulus raja untuk memikirkan kerajaan dan rakyatnya. Jadi, aneh kalau kebijakan yang muncul justru meresahkan.

Setelah ditelusuri lagi, ternyata Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO tidak mensyaratkan bahwa tidak boleh ada aktivitas ekonomi dalam Warisan Budaya Tak Benda. Kehadiran PKL justru mendekatkan Sumbu Filosofis pada kriteria Warisan Budaya Tak Benda sebab dalam interaksi PKL terdapat kearifan lokal berupa budaya tawar menawar antara penjual dan pembeli serta penggunaan bahasa dan aksen daerah yang semuanya perwujudan dari kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat.

Potret : Sepenggal Malioboro Pasca Relokasi (gambar diambil pada 11 Februrari 2022)

Negara Wajib Bertanggung Jawab !

Kebijakan relokasi mengganggu pemenuhan hak bagi PKL dan pendorong gerobak. Hak atas informasi dan partisipasi mereka tercerabut dalam kebijakan relokasi tersebut. Efek domino dari kebijakan yang tidak tahu berpihak pada siapa tersebut berujung tidak stabilnya perekonomian mereka. Hak atas pekerjaannya, haknya untuk mempertahankan serta meningkatkan taraf hidup dalam penghidupan yang layak, itu tercederai oleh kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.

Negara punya peran besar dalam pemenuhan hak warganya. Posisi negara merupakan pemangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. Dalam hal ini, Pemerintah DIY dan Kota Yogyakarta tergolong menjadi salah satu representasi negara itu sendiri. Mana kala negara tidak melakukan kewajiban tersebut, negara bisa dikatakan sebagai aktor yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Untuk menuntaskan kewajiban pemenuhan hak. Pemerintah DIY ataupun Pemkot Yogyakarta perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan relokasi ini. Pengawalan ketat untuk menjamin hak yang selama ini telah tercederai perlu segera dilakukan. Jangan sampai, masalah yang menimpa PKL dan pendorong gerobak berlarut-larut.

Penulis: Rakha Ramadhan