Kali Progo Terancam Kerusakan Lingkungan dan Krisis Air Bersih

Lingkungan hidup merupakan satu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.[1] Lingkungan hidup bukanlah sekedar tempat tinggal manusia, tetapi lingkungan hidup merupakan keseluruhan alam semesta yang di dalamnya saling berpengaruh antara satu kehidupan dengan kehidupan lain yang kemudian menjadikan alam sebagai habitat atau tempat penghidupan.[2] Dengan definisi tersebut dapat kita pahami, lingkungan hidup merupakan hal utama bagi seluruh komponen yang ada di dalamnya termasuk manusia karena kondisinya merupakan penentu keberlangsungan hidup.

Di Yogyakarta, kondisi lingkungan seperti di atas perlu dipertanyakan. Pemerintah menargetkan pembangunan infrastruktur secara masif di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti pembangunan bendungan ataupun jalan tol. Kebutuhan pembangunan itu sendiri seperti pasir dan batu sebagai bahan material. Apakah untuk mendapatkan pasir ataupun batu tersebut baik-baik saja? Pengambilan bahan material tersebut diperoleh dari kegiatan pertambangan. Aktivitas pertambangan sering kali menghilangkan hak-hak masyarakat sekitar, khususnya hak atas lingkungan hidup.

Pertambangan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, setiap pertambangan yang dilakukan wajib memiliki dokumen lingkungan (AMDAL/UKL-UPL) hingga sampai terbit Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dokumen lingkungan itu berupa kajian ilmiah mengenai potensi risiko dari aktivitas pertambangan. Salah satu fungsi penting dokumen tersebut ialah untuk mencegah dan meminimalisir adanya kerusakan lingkungan. Meskipun dokumen lingkungan ada, hal tersebut tidak menjamin terbebas dari kerusakan lingkungan. Salah satu contohnya sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan tambang pasir sungai Progo yang mencakup beberapa wilayah di Kabupaten Sleman maupun Kabupaten Kulon Progo.

PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) dan Pramudya Afghani yang menambang dengan alat berat di area Sungai Progo. Aktivitas itu meresahkan masyarakat karena dampak yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Menyikapi persoalan tersebut, masyarakat menggabungkan diri dan membentuk Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP). Masyarakat yang tergabung berasal dari Padukuhan Nanggulan, Jomboran XV Sedangagung, Minggir Sleman dan Padukuhan Pundak Wetan, Wiyu, Kembang Nanggulan, Kulon Progo.

Kerusakan lingkungan terjadi di beberapa titik Pudak Wetan, Wiyu dan Jomboran. Berdasarkan hasil observasi lokasi pertambangan di sana, kami menemukan adanya tanah longsor di beberapa titik Pundak Wetan dan Wiyu. Longsor ini terjadi di beberapa titik tebing sisi sungai yang dekat dengan pemukiman warga. Tebing yang sebelumnya terlihat hijau dan asri kini terlihat gundul dan rusak. Selain itu jika terjadi hujan, sungai menjadi banjir karena diduga terjadi penurunan muka air tanah.

Selain ancaman tanah longsor, kesulitan air bersih menjadi salah satu dampak. Sebelum adanya pertambangan, warga Wiyu yang tinggal dekat aliran sungai menggunakan sumur sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih. Namun saat ini karena aktivitas pertambangan, air sumur warga juga menjadi keruh setiap terjadi hujan dan banjir. Menurut keterangan warga sekitar sungai, keruhnya air sumur pernah terjadi sebelumnya, hanya saja tidak sesering setelah keberadaan pertambangan. Warga juga khawatir mengonsumsi air sumur itu sebab takut jika air tersebut mengandung zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia.

Lebih buruknya lagi, efek lanjut dari aktivitas pertambangan ialah mengganggu kerukunan warga, baik itu Jomboran, Pundak Wetan ataupun Wiyu dalam bertetangga. Tidak hanya kerukunan, tetapi kedamaian dan kenyamanan mereka hidup di sana benar-benar terganggu. Ini tidak baik untuk tumbuh kembang generasi selanjutnya.

Dari penjabaran di atas, pertambangan memang kegiatan yang kental akan risiko kerusakan lingkungan. Jika tidak dilakukan penegakan ataupun dibiarkan merebak begitu saja, lingkungan termasuk manusia di dalamnya akan kehilangan haknya. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia serta hak konstitusional bagi warga negara Indonesia seperti tertuang dalam UU HAM dan UUD 1945. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berkaitan erat dengan pencapaian kualitas hidup manusia, sehingga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Negara berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan.

 

Ditulis oleh: Rahman Timung (APBH LBH Yogyakarta)

 

[1] Pasal 1 (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH),

[2] Dr.Soni Keraf, Filsafat lingkungan Hidup (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014), hlm. 2.