Tangkapan layar wawancara dengan Masyarakat Adat Dayak Misik Desa Kembang yang tergusur akibat Proyek Katingan Mentaya (Sumber : Narasi tv)
Sekilas perjalanan
Kurang lebih 50 tahun yang lalu, sebuah konferensi internasional lingkungan hidup pertama dalam sejarah umat manusia berlangsung di Stockholm, Swedia. Pertemuan tersebut dihadiri setdaknya sebanyak 113 Negara anggota PBB dari berbagai benua. Hal utama yang membuat negara-negara tersebut berkumpul adalah berbagai fenomena kerusakan lingkungan mulai dirasakan dampaknya secara global.
Sebut saja wabah minamata yang terjadi di Jepang yang merenggut ribuan korban, kerusakan hutan amazon akibat deforestasi, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida sebagaimana yang dituliskan dengan baik oleh Rachel Carson dalam bukunya Silent Spring, udara yang semakin kotor akibat cerobong-cerobong industri serta terjadinya pencairan es di kutub utara yang semakin masif. Bahkan untuk menunjukkan keseriusan persuaan antar-nation tersebut, diusung tema besar berjudul “Only One Earth”. Konferensi tersebut kini kita kenal dengan nama Konferensi Stockholm 1972.
Terdapat 26 Prinsip yang dilahirkan dari pertemuan itu, salah satu yang cukup penting adalah dilarangnya suatu negara melakukan aktivitas pengelolaan sumber daya alam yang dapat memberikan dampak kerugian bagi negara lain. Hal demikian merupakan langkah yang cukup progresif di mana telah timbul kesadaran bahwa kerusakan lingkungan tidak mengenal batas-batas administrasi antar negara.
Dua dekade kemudian, untuk menegaskan dan mengembangkan hasil dari Konferensi Stockholm 1972, PBB kembali mengadakan konferensi serupa bernama Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro (biasa disebut KTT Bumi). Dihadiri 175 negara, pertemuan itu melahirkan sebuah dokumen yang bernama Deklarasi Rio 1992. Dokumen itu berisi 27 asas yang berusaha mengombinasikan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan. Salah satu asas yang dinilai penting adalah asas kehati-hatian (precautionary principle) di mana tiap negara dihimbau agar melakukan analisis serta pencegahan secara ilmiah sebelum dilaksanakannya pembangunan agar tak membawa kerusakan pada lingkungan hidup di kemudian hari.
Lahirnya wacana krisis iklim
Selain Deklarasi Rio, KTT Bumi juga melahirkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC). Antara isu penipisan lapisan ozon dan pemanasan global bertemu dalam konvensi ini. Sebab, beberapa zat perusak lapisan ozon juga adalah zat yang menyebabkan perubahan iklim.
Maka untuk menindaklanjutinya, tiga tahun kemudian dilaksanakan pertemuan para pihak (Conference of The Parties/COP) pertama di Berlin, Jerman. COP dilaksanakan tiap tahun dalam rangka terus memperbarui komitmen para negara pihak. Pada tahun 1997 atau dua tahun setelah COP Berlin berlangsung, dilakukan COP ketiga di Kyoto dan melahirkan Protokol Kyoto 1997.
Protokol tersebut berisi panduan bagi tiap negara pihak dalam upayanya mengurangi dampak perubahan iklim. Salah satu mekanisme yang digagas adalah Clean Development Mechanism (CDM). Inti dari mekanisme tersebut adalah negara-negara maju yang masih ingin melakukan pencemaran lingkungan hidup karena aktivitas industrinya, diberi keringanan apabila keuntungan dari proyek kotornya itu disumbangkan dalam jumlah tertentu kepada negara-negara berkembang yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pembangunan sumber-sumber energi terbarukan.
Kemudian, 16 tahun setelah dilakukannya COP 3/Protokol Kyoto, COP ke 19 dilangsungkan di Warsawa, Polandia dan melahirkan skema bernama Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+). Inti dari skema tersebut kurang lebih sama dengan CDM di mana negara-negara industri penghasil emisi terbesar, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan multinasional dan Bank-Bank Internasional masih diperbolehkan melakukan aktivitas industri ekstraktif/kotor selama mereka memiliki sertifikat bernama kredit karbon.
Kredit karbon berisi keterangan terkait berapa jumlah karbon yang boleh dilepaskan ke udara. Lalu jumlah karbon tersebut dikonversi kedalam nominal uang yang nantinya akan mereka bayarkan kepada negara-negara tropis untuk melindungi hutannya dari kerusakan. Semakin luas hutan yang mereka danai semakin besar pula kredit karbon yang mereka miliki.
Menelaah solusi atas krisis iklim
Apabila kita telisik secara seksama apa yang menjadi skema dari negara-negara di dunia dalam menyelesaikan krisis iklim di atas, terlihat seperti usaha yang jauh panggang dari api. Skema-skema seperti yang tertera di dalam CDM ataupun REDD+ hanya akan semakin melempangkan jalan bagi aktor-aktor yang selama ini justru berkontribusi dalam proses terjadinya perubahan iklim.
Sebab, baik CDM ataupun REDD+ tidak menyentuh jantung dari persoalan krisis iklim itu sendiri, yaitu eksploitasi alam yang berjalan pada aras kapitalisme. Alih-alih menghentikannya, skema-skema di atas justru mencarikan jalan alternatif agar industri ekstraktif yang dipiloti oleh negara-negara maju dapat tetap berjalan beriringan dengan perlindungan lingkungan. Atau dalam istilah mereka “konservasi dan keuntungan berjalan beriringan”.
Dalam bukunya yang berjudul Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation?, Jutta Kill menguraikan bahwa cara pandang yang melandasi skema-skema penyelesaikan krisis iklim di atas berangkat dari konsepsi terhadap alam yang keliru. Dalam buku tersebut, Jutta Kill menggunakan kata “Nature” untuk padanan terhadap “alam”. Menurutnya, Nature dalam konsepsi negara-negara industri dan perusahaan-perusahaan multinasional adalah sebuah bentang alam yang terdiri dari komunitas tumbuhan dan hewan dalam bingkai ekosistem lokal.
Maka dari itu, masyarakat adat yang telah hidup menyejarah bersama Nature adalah pihak yang paling mengenal segala konteks kearifan yang dapat melindungi Nature itu sendiri
Faktor manusia tidak dimasukkan di dalamnya. Oleh sebab itu, apabila kita melihat salah satu implementasi dari REDD+ yang ada di Indonesia yakni proyek Katingan Mentaya di Kalimantan Tengah terjadi proses eksklusi masyarakat adat Dayak dari lahan garapan dan hutan yang telah mereka diami selama berabad-abad. Proses terjadinya Nature, tidak dimasukkan kedalam epistemologi negara-negara industri dan perusahaan-perusahaan multinasional tersebut.
Padahal, masih dalam catatan Jutta Kill, Nature adalah sebuah proses sejarah. Nature tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan produk yang lahir dari proses ko-evolutif dengan manusia yang hidup di dalamnya dalam lintasan sejarah. Dalam hal ini, manusia-manusia itu adalah masyarakat adat.
Maka dari itu, masyarakat adat yang telah hidup menyejarah bersama Nature adalah pihak yang paling mengenal segala konteks kearifan yang dapat melindungi Nature itu sendiri. Dalam beberapa pengalaman lapangan, saya banyak berjumpa dengan komunitas adat yang hidup di dalam hutan, di mana menurut penuturan mereka pohon-pohon yang ada di dalam hutan tersebut sebagiannya dahulu ditanam dan dirawat oleh nenek moyang mereka.
Tetapi pada praktiknya, justru banyak proyek-proyek konservasi yang menggusur masyarakat adat dari tempat tinggalnya. Bahkan mereka selalu menjadi subjek tertuduh pelaku perusakan hutan. Padahal jika konsepsi terkait Nature tersebut dapat diperbaiki, seharusnya segala upaya terhadap perlindungan hutan dan lingkungan dapat menempatkan masyarakat adat sebagai pemimpin dan pelaku utamanya. Merekalah yang mengenal dengan baik lingkungan yang mereka tinggali. Bukan perusahaan-perusahaan minyak seperti Shell atau Chevron yang ikut mendanai proyek Katingan Mentaya.
Tawaran solusi
Skema-skema seperti CDM ataupun REDD+ juga mengandung cacat konsepsi yang fatal. Bagaimana bisa nilai-nilai ekologi yang dimiliki oleh alam dikonversikan kedalam nominal-nominal dolar/rupiah yang tertera dalam kredit karbon. Jutta Kill tegas mengatakan bahwa tak ada penalaran rasional yang bisa menjawab hal tersebut. Nilai-nilai ekologis alam bersifat subsisten sedangkan nilai-nilai nominal hanya bersifat sesaat sejauh nominal tersebut diakui. Bagaimana bisa dua hal tersebut dapat berjalan beriringan?
Akhir kata, meskipun ada upaya “baik” dari negara-negara sejak dilakukannya Konferensi Stockholm 1972 hingga COP 28 yang baru saja berlangsung di Dubai beberapa waktu yang lalu, tetapi hal tersebut harus pula berjalan dengan upaya yang benar dalam menyelesaikan krisis iklim. Sangat disayangkan apabila pertemuan besar tiap tahun tersebut hanya mengulang-ngulang lagu lama yang sejak 1972 berkumandang.
Perlu adanya revolusi paradigma dalam menyelesaikan krisis iklim. Sebab tak banyak waktu yang kita miliki saat ini. Cara pandang terhadap alam yang reduksionis perlu diubah dengan memasukkan faktor manusia ke dalamnya. Masyarakat adat yang selama ini dipandang sebagai masyarakat terbelakang perlu diberi tempat utama dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pengetahuan tradisional mereka yang selama ini diabaikan sungguh melampaui sistematika pengetahuan ala modernisme. Saya kira langkah kecil yang dapat kita mulai berawal dari hal tersebut. [MH]