Penghayat Kepercayaan di Cilacap Masih Dipersulit dalam Mengakses Layanan Publik, Dari Adminduk hingga Layanan Pendidikan

January 25, 2024by Admin LBH Yogyakarta0

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016, Negara telah memperkuat jaminan konstitusional bagi Penghayat yang sebelumnya diatur dalan Pasal 28E ayat 2 Undang-Undang Dasasr. Namun penerapannya di lapangan jauh panggang dari api. Di beberapa tempat masih dijumpai penghayat yang masih kesulitan bahkan mengalami diskriminasi saat mengakses layanan publik. Salah satu kasus tersebut terjadi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

 

Dipersulit Mengurus Kartu Keluarga “Penghayat Kepercayaan”

Sudiyono Aji (61) salah seorang penghayat kepercayaan asal Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, mengalami diskriminasi saat mengakses layanan publik di daerahnya.

Pada tanggal 18 November 2022, ia menikah dengan seorang perempuan yang memiliki anak. Setahun kemudian, ia hendak menggabungkan dua kartu keluarga (KK) antara KK miliknya dengan KK milik sang istri. Ia mengajukan permohonan pembuatan KK baru itu ke Kantor Desa Karangbenda pada 18 Desember 2023 lalu. Dalam hal ini Aji menginginkan di dalam KK yang baru itu mencantumkan semua anggota keluarga dengan kolom agama/kepercayaan bertuliskan “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME”.

Namun dalam proses pengurusannya ia dipersulit oleh aparatur desa Karangbenda yang memberikan pelayanan. Pihak aparatur desa menganjurkan agar kolom agama/kepercayaan keluarga itu tertulis “Islam” dengan alasan pengurusan dan proses perubahan-perubahan data adminduk akan lebih mudah.

Setelah syarat dari desa lengkap, Aji melanjutkan pengurusan KK ke Kantor Kecamatan Adipala. Pasca KK keluar, tulisan yang tertera di kolom agama/kepercayaan adalah Islam untuk Aji dan seluruh anggotanya.

Aji keberatan atas penulisan pada kolom tersebut. Ia kemudian mengurus perubahan KK ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) Catatan Sipil Kabupaten Cilacap. Namun pihak UPT menolak perubahan KK tersebut dengan alasan pihak UPT sudah pernah melakukan data kependudukan terhadap Aji sebelumnya. Pihak UPT kemudian meminta Aji untuk kembali ke kecamatan untuk meminta pertanggungjawaban mereka.

Mulai dari sinilah Aji harus mengurus perubahan data itu dengan proses yang berbelit-belit. Pihak UPT Catatan Sipil, kecamatan, sampai pihak desa saling melempar tanggung jawab terkait pelayanan perubahan data adminduk KK yang diajukan Aji.

Alih-alih mendapatkan pelayanan yang baik, Aji harus bolak-balik kantor kecamatan dan kantor desa, belum lagi ia harus pergi ke kantor UPT Cilacap yang jaraknya mencapai 25 km dari rumahnya.

Dalam proses itu pula baik pihak desa maupun kecamatan sering kali mendiskriminasi Aji, khususnya secara lisan. Mereka bahkan menanyakan dasar dari pembuatan  KK dengan kolom “Kepercayaan”. Padahal di tataran konstitusi, hal ini sudah tertuang dalam Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016. Hal itulah yang membuat Aji sampai tersulut emosinya.

“Dalam proses ini saya sampai ribut sama pihak-pihak terkait. Saya bilang, ’kalau seperti ini kemerdekaannya di mana? Seorang penghayat itu ingin diberi kebebasan, lagi pula soal keyakinan itu kan hak saya. Kenapa sih dipersulit?!’,” ujar Aji kesal terhadap layanan kepengurusan penduduk yang ia terima.

Akhirnya, dengan melalui perjuangan panjang yang melelahkan, penulisan “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” di kolom KK mereka terwujud.  Namun dengan adanya tindakan diskriminatif dari aparat pemerintahan, Aji tidak bisa menghilangkan rasa kecewa atas layanan yang ia terima. Ia menyadari tidak semua aparatur pemerintah, khususnya di tingkat desa dan kecamatan, mengakui penghayat walaupun secara konstitusional negara sudah mengakui hak-hak mereka.

 

Diskriminasi pada Penyuluh Pendidikan Penghayat

Selain Aji, diskriminasi juga dialami Sri Rahayu (54), seorang penghayat kepercayaan yang juga merupakan seorang penyuluh pendidikan penghayat di Cilacap. Saat akan memberikan pendidikan penghayat di SMP Negeri 2 Adipala, pihak sekolah memintanya menunjukkan Surat Keterangan (SK) yang diberikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Direktorat Masyarakat Adat. Selain itu pihak sekolah juga mensyaratkannya memiliki ijazah bergelar “Sp.d” atau ijazah keguruan.

Karena tidak memiliki SK dan juga ijazah tersebut, Sri Rahayu hanya menunjukkan sertifikat dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang menyatakan kelayakannya untuk menjadi penyuluh ahli. Setelah itu ia sempat berdialog dengan pihak sekolah agar dia tetap bisa diizinkan untuk menjadi penyuluh di sekolah tersebut.

Sempat terjadi ketegangan saat Sri Rahayu berdialog dengan pihak sekolah. Karena ada ketegangan dalam dialog itu, Sri Rahayu menelpon Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap. Tidak lama kemudian, Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap menelpon pihak kepala sekolah SMP Negeri 2 Adipala. Pihak sekolah mengirim foto bersama penyuluh dan menyampaikan ke Kepala Dinas bahwa persoalan telah selesai dan penyuluh sudah diizinkan untuk memberikan pendidikan penghayat di sekolah tersebut.

Diskriminasi soal layanan pendidikan bagi penghayat tak hanya pada perlakuan yang diterima oleh penyuluhnya. Saat memasukan nilai siswa/siswi penghayat dalam e-rapot, Sri Rahayu juga mengalami kendala karena di dalam e-rapot tidak ada kolom bagi Pendidikan Kepercayaan. Sejauh ini penyuluh meminjam kolom agama lain untuk bisa memasukan nilai siswa/siswi Penghayat Kepercayaan.

Perlakuan diskriminatif ini sudah beberapa kali terjadi di beberapa sekolah di Cilacap. Bagi Sri Rahayu, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah Kabupaten Cilacap memaksa siswa-siswi penghayat untuk mengikuti Pendidikan agama mayoritas. Apalagi layanan pendidikan bagi penghayat telah terdapat jaminan hukum di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan.

 

Penyelenggara Layanan Publik Harus Punya Sensitivitas

Audiensi antara penghayat kepercayaan asal Cilacap dengan Pemerintah Provinsi Jateng. (Dokumentasi pribadi/LBH Yogyakarta)

Atas dasar ketidakpuasan atas layanan publik ini Aji dan Sri Rahayu melaporkan perlakuan diskriminatif yang mereka terima ke Ombudsman RI Kantor Perwakilan Jawa Tengah serta Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) di Semarang pada 24 Januari 2024.

Didampingi oleh beberapa organisasi/lembaga nirlaba di antaranya LKiS, YKPI, LBH Yogyakarta, dan AJI Yogyakarta, AJI Semarang, serta dua penghayat kepercayaan lain dari Cilacap, mereka melakukan audiensi dengan Ombudsman RI dan Pemprov Jateng pada Rabu (24/1).

Dengan adanya audiensi itu, harapannya baik pihak Ombudsman RI maupun Pemprov Jateng bisa melakukan tindaklanjut berupa advokasi serta komitmen dalam mendukung pemenuhan hak-hak para penghayat kepercayaan khususnya di Cilacap.

Menanggapi aduan Aji, Siti Farida, S.H., M.H. selaku Ketua Ombudsman RI Kantor Perwakilan Jateng mengatakan bahwa sebagai penyelenggara layanan, pemerintah, baik itu di tingkat desa maupun kecamatan, harus punya sensitivitas, terutama terhadap kelompok minoritas seperti penghayat kepercayaan. Ia menambahkan perlu ada semacam SOP bagi penyelenggara layanan publik untuk memberikan keadilan dan kesetaraan bagi setiap pengguna layanan.

“Seharusnya dari petugas layanan itu tahu bahwa begitu ada penghayat, harus ada mekanisme yang sifatnya khusus. Karena itu harus ada ‘extra effort’, tidak boleh mempersulit. Bagaimanapun mereka harus memfasilitasi,” kata Siti Farida dalam audiensi itu.

Siti Farida mengatakan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan tersebut dengan proses pemeriksaan. Sementara untuk laporan mengenai diskriminasi terhadap Sri Rahayu, Siti Farida akan segera melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap. Namun langkah yang akan diambil tidak akan sampai spesifik hingga tahap pemeriksaan terhadap oknum sekolah terkait.

 

Audiensi dengan Pemprov Jateng

Setelah dari Ombudsman RI Kantor Perwakilan Jateng, para pendamping bersama Sri Rahayu dan Aji beranjak menuju Kantor Pemprov Jateng. Di sana rombongan penghayat beserta lembaga yang mendampinginya diterima oleh Ema Rachmawati selaku Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat.

Audiensi bersama Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah. (Dokumentasi bersama/LBH Yogyakarta)

Dalam sambutannya, Ema mengatakan pihaknya akan meninjau kembali mengenai kasus diskriminasi yang menimpa Aji dan Sri Rahayu.

“Nanti saya minta tolong pada Dukcapil Provinsi Jawa Tengah untuk mengevaluasi kembali. Jadi kalau ada masalah seperti ini kan bisa membuat kebijakan provinsi yang tidak mempersulit prosedur. Harapan saya seperti itu,” kata Ema.

 

 

Contact Person

LKiS                      (087838428661)

LBH Yogyakarta    (081352397142)