Siaran Pers
Sidang Tuntutan Kasus Penyiksaan Tahananan Polres Banyumas Oki Kristodiawan di Banyumas:
4 Terdakwa Polisi dituntut 6 dan 7 tahun Penjara
Pada Selasa, 28 November 2023, telah dibacakan tuntutan kepada 4 (empat) polisi yang terlibat pada kasus penyiksaan hingga berakibat meninggalnya Oki Kristodiawan (OK) di Banyumas, Jawa Tengah. Sebelumnya, pada 17 Mei 2023 OK dituduh mencuri kendaraan bermotor tanpa bukti serta ditangkap secara sewenang-wenang oleh anggota kepolisian dari Unit Reskrim Polsek Baturraden dan Satreskrim Polresta Banyumas. Selama dalam penguasaan petugas, OK mengalami rangkaian tindak penyiksaan yang menimbulkan banyak luka pada sekujur badan hingga akhirnya meninggal dunia pada 2 Juni 2023.
Kemudian pada 6 Agustus 2023 perkaranya dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Purwokerto ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Persidangan telah berlangsung selama 10 minggu. Baru pada Selasa lalu, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutannya. Terdakwa atas nama Brigadir Aditya Anjar Nugroho dituntut dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan pidana penjara selama 7 tahun dikurangkan dengan masa penahanan. Terdakwa atas nama Aipda Andriyanto Anggun Widodo, Briptu Alfian Lutfi Arianto dan Bripka I Made Arsana dituntut dengan Pasal 351 ayat (3) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan pidana penjara selama 6 tahun dikurangi masa penahanan. Terhadap kedua tuntutan tersebut, berikut pernyataan Tim Advokasi Untuk Keadilan – Kasus Penyiksaan Alm. OK:
Pertama, dari serangkaian proses persidangan yang telah dilaksanakan, ditemukan fakta bahwa dugaan tindakan penyiksaan dilakukan dengan serangkaian tindakan lain demi menutup-nutupi tindakan penyiksaan tersebut. Hal ini diantaranya terlihat pada rentetan sidang pembuktian pemeriksaan saksi dari kepolisian yang menerangkan bahwa buku penerimaan tersangka yang berada di Polresta Banyumas dimusnahkan dengan cara dirobek paksa atas perintah anggota kepolisian yang tidak ingin disebutkan namanya, tidak adanya rekaman CCTV di lokasi Polsek Baturraden dengan alasan teknis, begitu juga ketika jenazah OK hendak dibawa pulang oleh keluarga dimana terdapat tekanan yang diberikan kepada keluarga untuk tidak membuka jenazah OK.
Kedua, amat disayangkan Jaksa Penuntut Umum selama proses persidangan tidak mendalami keterlibatan para atasan Terdakwa anggota kepolisian baik di Polsek Baturraden maupun di Satreskrim Polresta Banyumas. Selain itu Jaksa Penuntut Umum tidak melontarkan pertanyaan yang bermakna kepada para terdakwa dan cenderung bersikap pasif. Persidangan yang semestinya menjadi ruang untuk mengungkap kebenaran justru tidak dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk membongkar rantai pertanggungjawaban tertinggi yakni atasan para terdakwa.
Ketiga, belum adanya pasal spesifik dalam hukum pidana yang berlaku hari ini untuk memberikan pemberatan pada tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat dalam kapasitas jabatannya, terkhusus pada tindakan penyiksaan. Pengaturan soal hukuman pidana pada tindak penyiksaan sebenarnya telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni pada Pasal 530 yang mengatur soal delik penyiksaan. Delik tersebut pada pokoknya berisi rumusan ketentuan yang sesuai dengan definisi penyiksaan sebagaimana yang diatur dalam Convention Against Torture (CAT) dan memberikan hukuman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Adapun hadirnya pasal ini adalah sebuah kemajuan dalam proses penegakkan hukum dalam hal tindakan penyiksaan, namun pasal ini juga tak luput dari catatan. Misalnya, terkait hukuman maksimal yang dijatuhkan (7 tahun) masih tergolong kecil apabila dibandingkan dengan tindak pidana penganiayaan berat dalam KUHP Baru tersebut.
Kasus ini seharusnya digunakan oleh pihak kepolisian untuk segera melakukan pembenahan budaya hukum pada internal kepolisian serta bagaimana mengimplementasikan pasal-pasal larangan penyiksaan dalam menegakkan hukum. Perlu adanya penghapusan budaya-budaya informalitas yang melekat, seperti tercermin pada tindakan tanpa persuratan yang jelas di proses penangkapan dan penahanan pada kasus ini. Selain itu, perlu adanya perubahan fundamental dalam budaya kerja yang masih sangat mengedepankan senioritas dan brotherhood yang menyebabkan adanya tindakan saling menutupi perilaku antar anggota.
Sebagai kesimpulan, kami Tim Advokasi Untuk Keadilan – Kasus Penyiksaan Alm. OK, mendesak:
Pertama, majelis hakim yang mengadili perkara nomor perkara 204/Pid.B/2023/PN Pwt dan 205/Pid.B/2023/PN Pwt untuk mengadili secara jujur, adil, imparsial, sesuai dengan KUHAP, prinsip dan nilai hak asasi manusia serta kaidah-kaidah negara hukum dan menghukum para terdakwa dengan seadil-adilnya;
Kedua, Polda Jateng c.q. Polresta Banyumas menindak tegas para atasan anggota polisi yang turut terlibat dalam dugaan penyiksaan sebagai bentuk pengawasan melekat terhadap anggota.
Banyumas, 30 November 2023
Tim Advokasi Untuk Keadilan – Kasus Penyiksaan Alm. OK
Narahubung:
089668267484 (LBH Yogyakarta) 08176453325 (KontraS)