Siaran Pers:
Babak Baru Meninggalnya OK di Polresta Banyumas: Sidang 4 Polisi Terduga Pelaku Penyiksaan di PN Purwokerto
Setelah 4 (empat) bulan pasca meninggalnya OK di Rumah Tahanan Polresta Banyumas, terdapat 4 (empat) anggota polisi yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam meninggalnya Tahanan OK. Para anggota polisi tersebut disidangkan pada nomor perkara 204/Pid.B/2023/PN Pwt dengan nama terdakwa Aditya Anjar Nugroho dan 205/Pid.B/2023/PN Pwt dengan nama terdakwa Andriyanto Anggun Widodo, Alfian Lutfi Arianto dan I Made Arsana.
Pada tanggal 9 Oktober 2023 proses persidangan telah masuk pada tahap pembuktian dengan menghadirkan 3 (tiga) saksi anak yang turut ditangkap bersama dengan OK. Para saksi, di bawah sumpah, pada pokoknya menjelaskan bahwa pertama terdapat penyiksaan untuk mendapat pengakuan yang dialami oleh ketiga saksi anak, kedua para saksi anak mendengar OK disiksa semalaman pada saat mereka ditangkap, ketiga penangkapan dan pemeriksaan terhadap anak tidak sesuai dengan prosedur yang diatur.
Penyiksaan yang dilakukan terhadap OK dan para saksi bertentangan dengan nilai dan prinsip hak asasi manusia dan kaidah-kaidah negara hukum. Padahal, Pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas mengatakan, setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Selanjutnya, pada Pasal 33 jelas pula menyebut yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang tidak manusia, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Terlebih dengan UU No. 12 tahun 2005, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang mana pasal 9 ayat 1 telah mengetengahkan ketentuan yang substansinya sama dengan pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 yaitu setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Selain itu dalam hukum internasional penyiksaan amat dilarang dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi ini mewajibkan negara-negara pihak untuk mengambil langkah – langkah efektif untuk mencegah penyiksaan terjadi di wilayahnya. Indonesia sendiri meratifikasi konvensi ini melalui UU No 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998.
Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Ditambah lagi, dalam Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang: a. melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapat informasi, keterangan atau pengakuan.
Terhadap dugaan penyiksaan terhadap OK dan 3 (tiga) saksi, kami telah melakukan pengaduan kepada Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM. Selain itu, terkait dugaan mal prosedur yang dilakukan pada saat proses hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kami juga telah membuat laporan kepada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah (ORI Jateng).
Sebagai kesimpulan, kami, Tim Advokasi Untuk Keadilan – Kasus Penyiksaan Alm. OK, mendesak:
Pertama, majelis hakim yang mengadili perkara nomor perkara 204/Pid.B/2023/PN Pwt dan 205/Pid.B/2023/PN Pwt untuk mengadili secara jujur, adil, imparsial, sesuai dengan KUHAP, prinsip dan nilai hak asasi manusia serta kaidah-kaidah negara hukum dan membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan jaksa;
Kedua, Komnas HAM untuk segera mengeluarkan rekomendasi dan hasil investigasi atas kasus meninggalnya OK.
Ketiga, ORI Jateng untuk melakukan pemeriksaan laporan, menindaklanjuti laporan dan melakukan investigasi terhadap dugaan mal prosedur yang dilakukan oleh kepolisian;
Keempat, Polda Jateng c.q. Polresta Banyumas menindak tegas para atasan anggota polisi yang turut terlibat dugaan penyiksaan sebagai bentuk pengawasan melekat terhadap anggota.