Indeks demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selalu berada di atas ratarata indeks demokrasi nasional selama 2018-2020, namun cenderung menurun jika dibandingkan dengan indeks demokrasi DIY 2015-2017. Meski lebih baik ketika dibandingkan rerata nasional, beberapa kelompok masyarakat di DIY mangalami tindakan yang justru bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Institusiinstitusi demokrasi yang eksis, seperti lembaga eksekutif dan legislatif, belum optimal dalam melayani kemauan rakyat. Isu lama, tapi tidak pernah usang, adalah pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang terbatas pada “warga” yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono (HB) sebagai Gubernur dan KGPAA PakuAlam sebagai Wakil Gubernur (lihat pasal 18 UUK 13/2012). Masa jabatan keduanya tidak menganut periodesasi 2 kali masa jabatan, sehingga ada kepastian kembali ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di perode selanjutnya.
Pengebirian demokrasi itu berdampak pada tugas pelayanan Gubernur, yang di banyak kasus menunjukkan nirpartisipasi rakyat dan sewenang-wenang dalam membuat kebijakan.Bentuk sederhananya, tapi signifikan, adalah sangat minimnya laporan kualitas demokrasi di DIY di dalam LKPJ AMJ Gubernur DIY 2017-2022. Untuk mengisi kekosongan itu, melalui catatan kritis ini, kami menunjukkan beberapa kasus yang mengarah pada rapuhnya demokrasi di DIY. Kemudian, kami juga menegaskan bahwa adagium “narimo ing pandum” bukan lagi falsafah Jawa yang bermakna luhur. Karena digunakan oleh kekuasaan, adagium tersebut berfungsi untuk membajak demokrasi dan memperdaya nalar kritis masyarakat.
Doktrin itu mengonsepkan bahwa Tuhan telah menakdirkan segalanya dan telah menciptakan serta merancang keharmonisan seluruh entitas di bumi. Bagi pemerannya, ia akan mempraktikkan penyerahan diri kepada Tuhan atas apa pun yang ia terima. Sayangnya, doktrin ini diterapkan oleh Sultan HB X, cum Gubernur DIY, untuk mengaburkan antara takdir Tuhan dengan hasil kreasi kebijakannya. Hasilnya, masyarakat dipaksa berserah diri dan menerima apa pun bentuk pelayanan Gubernur DIY, seperti upah murah dan meningkatnya angka kemiskinan. Konsekuensinya, doktrin “berserah diri” menghalangi seorang untuk berpendapat dan mengkritik kebijakan Gubernur DIY. Ini merupakan strategi merapuhkan demokrasi di DIY oleh Gubernur DIY melalui doktrin kultural.
Kajian lebih lanjut dapat dilihat di sini Dokumen Catatan Kritis