Kondisi Tanah Istimewa
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditetapkan sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022. Hal tersebut menjadi ironi, sebab provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keistimewaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan pemimpin dan wakil pemimpin daerah, kelembagaan pemerintahan DIY, pertanahan, tata ruang, dan kebudayaan yang semuanya ditunjang dengan Dana Keistimewaan (Danais). Danais sendiri pada tahun 2022 sebesar Rp 1,32 Triliun berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TA 2022.
Namun, kewenangan istimewa yang ada di DIY belum mampu memberi kesejahteraan dan mengangkat DIY dari Provinsi termiskin di Pulau Jawa. Di sisi lain, bukannya kebijakan publik yang diorientasikan untuk kepentingan rakyat, tetapi dalam konteks ini malah terdapat berbagai penyingkiran rakyat atas nama pembangunan dan penataan pada Kawasan Sumbu Filosofi.
Makna Sumbu Filosofi
Sumbu Filosofi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penetapan Ruas Jalan Sepanjang Sumbu Filosofi sebagai Struktur Cagar Budaya merupakan salah satu komponen fisik pembentuk tata ruang kota yang dibangun, berupa jalan lurus mulai dari Panggung Krapyak sampai dengan Alun-Alun Kidul dan jalan lurus dari Alun-Alun Lor Kraton Yogyakarta sampai Tugu Golong Gilig/Pal Putih. Jalan tersebut merupakan urat nadi penting yang menghubungkan berbagai aktivitas pusat pemerintahan, ekonomi, ruang publik, dan kegiatan lainnya.
Berawal dari dinobatkannya Raja Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi[1] sebagai raja segera menata Ibukota. Lokasi yang dipilih yaitu bekas Pesanggrahan Garjiwati di hutan Beringan, Desa Pacethokan.
Ruas jalan lurus tersebut mengandung makna filosofis yang merefleksikan kehidupan manusia sejak dalam kandungan sampai meninggal dunia (Sangkan Paraning Dumadi). Sangkaning Du madi digambarkan dengan perjalanan dari Panggung Krapyak sampai Kedhaton, sedangkan Paraning Dumadi digambarkan dengan perjalanan dari Tugu Pal Putih sampai Kedhaton. Tugu Pal Putih memiliki posisi penting sebagai stimulus bagi raja dalam berkonsentrasi memikirkan kerajaan dan rakyatnya.
Makna filosofis dari Sumbu Filosofis bila dilihat dari selatan ke utara (Panggung Krapyak – Kedathon) berarti Sangkaning Dumadi yaitu gambaran perjalanan hidup manusia sejak lahir, remaja beranjak dewasa, hingga menikah sampai melahirkan anak, sedangkan dilihat dari utara ke selatan (Tugu Pal Putih – Kedathon) berarti Paraning Dumadi yang menggambarkan perjalanan seorang manusia terkhususnya seorang pemimpin sejak awal keberadaannya sampai menghadap ke Sang Pencipta.
Sumbu Filosofi dalam Tata Ruang Wilayah Daerah
Kawasan Sumbu Filosofi merupakan bagian dari Kawasan Strategis Sultan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah DIY Nomor 5 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039 Pasal 80 Ayat (2) dan Pasal 80 Ayat (3). Lebih lanjut, pada Pasal 84 Ayat (1) rencana tata ruang kawasan strategis diatur dalam satu peraturan daerah yang sama. Kemudian, Pasal 68 huruf d menyatakan kawasan Kraton – Malioboro dan sekitarnya (juga bagian dari Kawasan Sumbu Filosofi) sebagai kawasan wisata budaya, wisata pendidikan, wisata belanja, kampung wisata, dan kuliner.
Sedangkan regulasi tata ruang di tingkat Kota Yogyakarta diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 BAB Sistem Perkotaan Pasal 15 Ayat (2) mengatur Kawasan Jalan Malioboro (yang merupakan bagian dari Kawasan Sumbu Filosofi) merupakan pusat pelayanan kota kemudian pada Ayat (3) Kawasan Jalan Malioboro diperuntukkan sebagai pusat pelayanan kegiatan ekonomi.
Penyingkiran Rakyat

LBH Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 2022 hingga awal 2023 mendampingi kasus-kasus yang berkaitan dengan penyingkiran rakyat atas nama pembangunan dan penataan pada Kawasan Sumbu Filosofi yakni penggusuran kurang lebih 2.000 pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Malioboro dengan dalih rencana pendaftaran Sumbu Filosofi sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO yang turut menghilangkan pekerjaan pendorong gerobak, yang total terdapat 71 rakyat yang berprofesi sebagai pendorong gerobak kehilangan pekerjaannya; rakyat yang melakukan aktivitas ekonomi di Sisi Utara Jalan Perwakilan sebanyak 108 orang menjadi korban terdampak atas kebijakan rencana pembangunan Jogja Planning Gallery yang merupakan penunjang Kawasan Sumbu Filosofi; Pelarangan Skuter Listrik yang mematikan aktivitas ekonomi para pelaku usaha persewaan skuter listrik dengan korban terdampak sekitar 170 orang, yang dilakukan tanpa adanya dialog substantif dengan rakyat terdampak dan pertanggung jawab oleh pemangku kebijakan,
Kontradiksi

gambar diambil pada 4 januari 2023)
Secara pemaknaan filosofis terkait Sumbu Filosofi serta aturan tata ruang Kota dan Provinsi, kehadiran rakyat dalam melakukan aktivitas ekonomi tidak bertentangan justru menguatkan pemaknaan Sumbu Filosofi dan telah sesuai dengan peruntukan ruang yang diatur. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan implementasi Kebijakan Kawasan Sumbu Filosofi, rakyat tidak dilibatkan dalam pembentukan dan perencanaan. Alhasil, rakyat menjadi korban atas pelaksanaan kebijakan Kawasan Sumbu Filosofi. Penyelenggaraan Pemerintahan seperti itu telah mencederai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik.[2]
Pembangunan dan penataan Kawasan Sumbu Filosofi yang berdampak pada penyingkiran rakyat merupakan pelanggaran terhadap hak atas pembangunan berdasarkan Resolusi Nomor 41/128 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diterbitkan pada tanggal 4 Desember 1986. Hak atas pembangunan disebutkan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut berdasarkan atas setiap manusia dan semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam penikmatan terhadap pembangunan ekonomi, sosial, kultural dan politik, jika hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dapat sepenuhnya terwujud.

Banyaknya rakyat yang menjadi korban atas pelaksanaan pembangunan dan penataan Kawasan Sumbu Filosofi dengan menurunnya pendapatan serta hilangnya mata pencaharian mereka merupakan pelanggaran atas Pasal 9 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Hal tersebut tidak terlepas dari hilangnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan perencanaan kebijakan hal tersebut merupakan pelanggaran hak partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan daerah yang diatur dalam Pasal 354 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Pemaparan di atas menjadi gambaran penyelenggaraan pemerintahan di Yogyakarta yang tidak berpihak pada rakyat dan merupakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia bagi rakyat terdampak. Jika dibiarkan begitu saja, ini berpotensi menimbulkan semakin banyak rakyat yang akan menjadi korban atas nama pembangunan dan penataan Kawasan Sumbu Filosofi. Maka, advokasi dengan pendekatan bantuan hukum struktural perlu dilakukan. Tidak hanya menitik beratkan pada pembelaan di pengadilan tetapi juga berorientasi pada pengentasan ketimpangan yang terjadi secara struktural.
Penulis: M. Rakha Ramadhan (Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)
[1] Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalanga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah atau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I
[2] Diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan