Siaran Pers: ORI Perwakilan DIY Temukan Maladministrasi Dalam Pelayanan Penegakan Hukum Oleh Polisi Kepada Korban Salah Tangkap Terkait Kasus Klitih Gedongkuning
Pada 1 Februari 2023, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan D.I. Yogyakarta (DIY) mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang pokoknya mengenai maladministrasi selama proses pelayanan penegakan hukum di lingkungan kepolisian DIY dalam penanganan kasus kejahatan jalanan Gedongkuning. LAHP ini bertolak dari laporan Siti Roswati Handayani yang merupakan kuasa dari Andi Muhammad Husein Mazhahiri dan Hanif Aqil Amrulloh serta Siti Wahyuni, orang tua Muhammad Musyaffa Affandi. Ketiganya adalah korban salah tangkap yang sekarang menyandang status terdakwa. Laporan kepada ORI sendiri dilayangkan karena dugaan maladministrasi. Saat itu, para pelapor menengarai polisi telah melakukan kekerasan dan pelanggaran prosedur.
ORI kemudian membenarkan indikasi kekerasan dan pelanggaran prosedur itu. Dalam dokumen LAHP dengan nomor registrasi 0106/LM/VII/2022/YOG, ORI membuat kesimpulan temuan maladministrasi yang antara lain:
- Pengabaian penyidik terhadap permintaan penasihat hukum untuk koordinasi dan bertemu dengan para tersangka merupakan tindakan maladministrasi berupa perbuatan tidak patut.
- Proses penangkapan tersangka sudah terjadi sejak petugas kepolisian menjemput dan membawa mereka ke tempat masing-masing karena itu tindakan petugas yang tidak menjelaskan dan menunjukkan surat perintah tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang sah serta alasan penangkapan kepada tersangka merupakan tindakan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur.
- Perlakuan kekerasan yang dilakukan penyidik terhadap para tersangka selama proses pemeriksaan merupakan bentuk pelanggaran terhadap larangan yang tercantum dalam pasal 14 huruf e Perkapolri No. 14 tahun 2011. Hal tersebut merupakan tindakan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang.
Sehubungan dengan temuan maladministrasi itu, ORI Perwakilan DIY menyampaikan saran tindakan korektif kepada Kepala Kepolisian DIY melalui jajarannya untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap para petugas dan penyidik kepolisian yang melakukan tindakan maladministrasi dalam penanganan kasus kejahatan jalanan di Gedongkuning tanggal 3 April 2022 sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi dan pembinaan sebagaimana mestinya. ORI juga mengultimatum, laporan pelaksanaan saran tindakan korektif itu disampaikan kepada ORI dalam waktu 30 hari sejak diterimanya saran tindakan korektif.
Terhadap hal tersebut, pertama-tama tentu kami mengapresiasi seluruh tahapan pemeriksaan yang sudah ditempuh, hingga menghasilkan kesimpulan berupa temuan maladministrasi. Semenjak awal kami memang meyakini, para terdakwa adalah korban salah tangkap. Polisi dengan serampangan pula ––dengan mengabaikan berbagai peraturan perundang-undangan–– melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka. Terlebih, sebagaimana belakangan dikonfirmasi kebenarannya oleh ORI, para korban salah tangkap mengalami penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi dari polisi. Dengan kekerasan, mereka dipaksa mengakui perbuatan penganiayaan (klitih) yang sama sekali tidak pernah dilakukan. Persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta mengungkap bukti serta fakta akurat ––namun diabaikan oleh hakim–– yang menunjukkan pada malam kejadian, 3 April 2022, para terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara dan melancarkan penganiayaan terhadap korban Daffa Adzin Albasith.
Kedua, kami menilai temuan ORI kian memperlihatkan persoalan sistemik di tubuh kepolisian yang melazimkan praktik-praktik kekerasan, mengesampingkan kaidah-kaidah negara hukum dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia serta asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam konteks penangkapan yang tidak menjelaskan dan menunjukkan surat perintah tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, polisi jelas mengabaikan salah satunya ketentuan pasal 18 KUHAP yang intinya mengatur, pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan. Sedangkan dalam hubungannya dengan pengabaian penyidik terhadap permintaan penasihat hukum untuk koordinasi dan bertemu dengan para tersangka ––seperti tertera juga pada bagian analisis dan pendapat ORI dalam LAHP–– tindakan ini jelas bertentangan dengan pasal 70 ayat 1 KUHAP yang mana intinya penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
Sementara itu, kaitannya dengan kekerasan, polisi justru melanggar aturan internalnya sendiri yaitu Perkapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 10 huruf e telah mengatur yang pokoknya, dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (code of conduct) diantaranya tidak boleh mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Sementara, pada pasal 13 huruf a juga begitu tegas melarang setiap petugas polri dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan untuk: melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
Lagipula, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang mana pada pasal 7 mengatur, tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Lebih lanjut, pasal 14 ayat 3 huruf g juga menyatakan, dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal dalam persamaan yang penuh: untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. Di samping itu, terdapat Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Ketentuan ini telah mewajibkan setiap negara pihak (termasuk Indonesia) untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah terjadinya tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.
Betapa banyak peraturan perundang-undangan ––mulai dari internal sampai eksternal–– yang seharusnya wajib menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Akan tetapi, alih-alih dipatuhi, LAHP ORI perwakilan DIY sekali lagi malah mempertontonkan sikap polisi yang arogan, yang dengan begitu gampang melanggar hukum dan hak asasi manusia. Temuan ORI perwakilan DIY sebetulnya sejalan dengan pendapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Munafrizal Manan, Komisioner Komnas HAM yang hadir dalam persidangan para terdakwa di Pengadilan Negeri Yogyakarta mengutarakan, sepanjang 2016 s.d. 2020, Polri menjadi institusi yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM karena melanggar HAM. Seperti diberitakan juga oleh cnnindonesia.com, dari total 28.305 aduan yang diterima Komnas HAM sepanjang periode tersebut, 43,9 persen ditujukan terhadap aparat kepolisian. Umumnya kasus yang dilaporkan berkutat seputar lambatnya penanganan kasus, kriminalisasi, penganiayaan hingga proses hukum yang dinilai tidak prosedural (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210407145521-12-627049/komnas-ham-polisi-paling-banyak-diadukan-langgar-ham).
Atas dasar LAHP ORI yang substansinya menemukan maladministrasi berupa perbuatan tidak patut, penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang, kami menilai semua tahapan dari tingkat kepolisian sampai tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman penjara kepada para pelapor (terdakwa), tidak mempunyai keabsahan hukum. Artinya, para terdakwa tidak bersalah sehingga harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan. Oleh karena itu kami:
- Mendesak Kepala Kepolisian DIY untuk mematuhi saran tindakan korektif dari ORI perwakilan DIY dengan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap para petugas kepolisian yang melakukan tindakan maladministrasi dan menjatuhkan sanksi serta pembinaan sebagaimana mestinya.
- Meminta hakim pemeriksa perkara tingkat kasasi pada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menerima dan mengabulkan permohonan kasasi kami dengan membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan.
- Mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan lebih intensif terhadap peristiwa kekerasan dan penyiksaan para terdakwa yang aduannya telah masuk ke Komnas HAM sejak sekitar tahun 2022.
Yogyakarta, 14 Februari 2023
Tim Advokasi Untuk Keadilan Andi (TAKA)
Narahubung:
- Siti Roswati Handayani (087739743449)
- Danang Kurnia Awami (082216588416)