Peradilan Sesat (rechterlijke dwaling): Putusan Kasus Klitih di Gedongkuning Tidak Empiris

November 12, 2022by Admin LBH Yogyakarta0

Rilis Sikap

Peradilan Sesat (rechterlijke dwaling): Putusan Kasus Klitih di Gedongkuning Tidak Empiris

 

Selasa, 9 November 2022, majelis hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta telah menjatuhkan putusan pada perkara nomor 123/Pid.B/2022/PN.Yyk atas nama terdakwa AMHM dan HAA terkait kasus kekerasan jalanan/klitih di Gedongkuning dengan pidana penjara 6 (enam) tahun. Terhadap putusan tersebut Tim Advokasi Untuk Keadilan Andi (TAKA) berpendapat sebagai berikut:

Pertama, hakim menolak pembelaan penasihat hukum kedua terdakwa tersebut. Artinya, hakim menyatakan bahwa kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. Padahal, jika melihat pada fakta-fakta yang terungkap di persidangan, sama sekali tidak ada satupun alat bukti yang menyatakan bahwa terdakwa berada di Gedongkuning dan melakukan kekerasan sesuai dengan Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. Majelis hakim telah gagal dalam mengungkap fakta persidangan yang empiris dan adil dalam perkara ini.

Kedua, hakim mengesampingkan alat bukti saksi-saksi dari terdakwa. Pada pokoknya saksi menerangkan bahwa malam hari ketika kejadian di Gedongkuning terjadi, saksi bersama dengan terdakwa dan tidak ke TKP. Keterangan tersebut dikesampingkan karena dianggap bahwa saksi tersebut masih satu geng di SMA sehingga dimungkinkan keterangan tersebut didasarkan pada alasan ingin saling melindungi. Menurut kami, alasan ini didasari pada asumsi belaka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Padahal, semua keterangan saksi-saksi dari terdakwa tersebut dinyatakan dibawah sumpah dan diberikan di hadapan persidangan sehingga telah sesuai dengan kualifikasi saksi yang ditentukan dalam KUHAP. Menjadi pertanyaan besar dengan dasar apa hakim menjadikan alasan tersebut untuk mengabaikan keterangan saksi-saksi tersebut.

Lebih dari itu, jika hakim memandang ada kemungkinan saling melindungi antar saksi dan terdakwa, maka seharusnya kesaksian dari saksi-saksi verbalisan haruslah juga dikesampingkan. Jika merujuk pada pertimbangan putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010, hakim menyatakan bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditangani di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan dan bisa merekayasa keterangan. 

Ketiga, tidak ada upaya dari penuntut umum dan hakim untuk membuktikan tidak adanya kekerasan yang dialami oleh kedua terdakwa. Padahal, kekerasan tersebut tak hanya dialami oleh terdakwa, tetapi juga 2 saksi a charge dan 4 saksi a de charge. Telah diungkapkan pula di persidangan bahwa kekerasan tak dilakukan pada saat pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tetapi diambil sebelum itu. Jika mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2588 K/Pid.Sus/2010, adanya penyiksaan yang dialami oleh terdakwa haruslah dibuktikan oleh penuntut umum ketidakbenarannya, bukan oleh terdakwa. Hingga sidang putusan berlangsung, tidak satupun saksi verbalisan yang bertugas sebelum pengambilan BAP yang dihadirkan untuk membantah tindakan kekerasan yang dialami oleh terdakwa. 

Sebagai kesimpulan, kami menilai bahwa para penegak hukum seakan tutup mata dengan adanya tindakan-tindakan yang menciderai hak asasi manusia seseorang. Kami juga menilai bahwa putusan hakim tersebut masih tidak bisa mengungkap kebenaran secara materiil sehingga menyebabkan terjadinya peradilan sesat (rechterlijke dwaling) terhadap para terdakwa.

 

Narahubung: 0896-6826-7484