Di balik romantisasi dan segala klaim keistimewaannya, D.I Yogyakarta masih menyimpan banyak catatan kelam mengenai keharmonisan antar umat beragama. Setidaknya pada tahun 2018-2019, terjadi delapan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di D.I Yogyakarta dengan kasus paling banyak terjadi di Kabupaten Bantul. Kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut masih didominasi oleh aktor non-negara dengan melakukan tindakan pelanggaran, seperti ujaran kebencian, pembatasan aktivitas keagamaan, pengusiran, dan serangan fisik. Lebih menyeramkannya, aktor negara memilih bungkam dan bersikap membiarkan kasus-kasus tersebut terjadi tanpa penyelesaian yang adil.
Kasus-kasus tersebut yang menjadi pijakan LBH Yogyakarta dalam menemukan persoalan intoleransi dan berupaya menyusun suatu rekomendasi untuk memperbaiki kualitas toleransi di D.I Yogyakarta. Kajian ini disusun dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif yang difokuskan terhadap beberapa persoalan, yaitu: (1) Membaca dan menganalisis kasus intoleransi di D.I Yogyakarta; (2) Menemukan aktor intoleran dan aktor yang berperan dalam mempromosikan perlindungan umat beragama dan berkeyakinan di D.I Yogyakarta; (3) Mengevaluasi regulasi dan mendorong adanya regulasi perlindungan umat beragama dan berkeyakinan di D.I Yogyakarta; dan (4) Membuka ruang dialog dan perjumpaan antar komunitas untuk memperkuat toleransi dan persaudaraan lintas iman di Provinsi D.I Yogyakarta.
Tantangan paling utama dalam suatu negara majemuk adalah tingginya potensi konflik yang terjadi. Salah satu langkah dalam memitigasi potensi konflik tersebut adalah dengan meningkatkan kesadaran kebangsaan dan membuka ruang publik yang bebas dari intervensi negara agar masyarakat dapat berinteraksi secara bebas dengan semangat kesetaraan untuk menerima pluralitas yang ada. Berangkat dengan dasar pijakan Hak Asasi Manusia (HAM), sejatinya setiap orang tidak dapat dipaksa untuk memeluk, meyakini, atau mengubah suatu agama dan kepercayaannya. Toleransi menjadi kunci kuat untuk dapat mewujudkan keharmonisan relasi sosial dalam masyarakat. Namun untuk mewujudkan toleransi juga perlu dukungan dari setiap orang terkait daya tahan untuk menerima perbedaan secara terbuka dan memandang setiap orang adalah setara, serta diperlukan adannya konkretisasi pemahaman toleransi dalam kehidupan sehari-hari agar nilai-nilai toleransi tidak berhenti dalam pemahaman kontekstual belaka.
Beberapa temuan sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di D.I Yogyakarta yang dipaparkan dalam kajian ini merupakan bukti nyata belum terciptanya ruang bersama untuk saling menerima komunitas dan kelompok lain sebagai saudara dalam kebangsaan dan kemanusiaan. Kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan beberapa kali terjadi ditunjukkan melalui kasus penolakan keberadaan Gereja Isa Almasih (GIA) di Seyegan Kabupaten Sleman, penolakan pendirian kantor Klasis Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunungkidul, pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel di Sedayu Kabupaten Bantul, dan penghayat kepercayaan.
Ketiga kasus penolakan gereja dan kantor gereja tersebut memberikan gambaran bahwa Pemerintah Daerah belum menjalankan tanggungjawab untuk menjaga kerukunan antar umat namun justru menjadi pihak yang ikut melanggengkan diskriminasi dengan memaksakan pemindahan lokasi sebagai solusi cepat. Sama halnya dengan kasus-kasus penolakan pendirian gereja, penghayat kepercayaan juga menuai kesulitan dalam penerimaan di masyarakat. Diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan pernah terjadi saat pelaksanaan ritual sedekah laut di Pantai Baru, Kabupaten Bantul pada 12 Oktober 2018. Mereka ditolak oleh organisasi kemasyarakatan atau kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan kegiatan tersebut.
Tim penulis memandang perlu adanya kebijakan untuk mendukung perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan, yaitu:
- Pemerintah D.I Yogyakarta perlu membuat regulasi tentang perlindungan dan pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan di D.I Yogyakarta;
- Pemerintah D.I Yogyakarta diharapkan menggunakan kewenangannya di birokrasi pemerintahan sampai ke tingkat desa untuk memfasilitasi terbukanya ruang-ruang bersama antar kelompok keagamaan dan penghayat kepercayaan;
- Kelompok masyarakat hendaknya mengurangi penilaian kerasnya terhadap kelompok agama dan kepercayaan lain, karena perbedaan merupakan sebuah keniscayaan di D.I
Yogyakarta; dan - Mendorong komunitas agama dan kepercayaan untuk menciptakan ruang-ruang bersama supaya terpeliharanya persaudaraan antar umat beriman.
Kajian lebih lanjut dapat dilihat disini: Dokumen Policy Brief