Melirik Toleransi Kebebasan Beragama di Lingkungan Masjid Agung Kotagede Yogyakarta

Berdirinya Masjid Agung Kotagede sebagai masjid tertua di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram. Wilayah Kotagede sebagai tempat berdirinya Kerajaan Mataram Islam ini merupakan hadiah dari Raja Kasultanan Pajang (Sultan Hadiwijaya) kepada Ki Ageng Pamanahan atas keberhasilannya menangkap dan mengalahkan Aryo Penangsang. Setelah kerajaan Mataram Islam berdiri, Sunan Kalijaga memerintahkan pendirian masjid Agung Kotagede untuk memperluas syiar agama Islam. Hal ini tidak begitu saja menghapuskan kepercayaan yang sebelumnya telah dianut masyarakat yaitu tradisi kejawen, sebuah pandangan dan pedoman hidup yang dianut kitab-kitab Jawa terdahulu. Akulturasi budaya Jawa dengan Islam bahkan jelas terlihat dari arsitektur Masjid Agung Kotagede. Sebagian masyarakat di sekitar Masjid Agung Kotagede merupakan penganut agama Islam yang juga melaksanakan tradisi-tradisi kejawen.

Kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama sebagai bagian dari non derogable rights juga dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil and Political Rights/ICCPR). Pasal ini dapat dikatakan sebagai instrumen utama PBB, khususnya komite HAM PBB dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan untuk menjalankan mandatnya dalam mewujudkan perlindungan hak beragama dan berkeyakinan serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi.

Non-diskriminasi merupakan salah satu prinsip hukum HAM internasional, yaitu bahwa setiap orang berhak memeluk dan menjalankan ajaran agama yang diyakini. Dalam hal ini, negara memiliki tugas untuk menekan tindakan diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan agama dan kepercayaan, termasuk dari aktor non negara, serta mengambil langkah untuk meletakkan perlindungan HAM secara utuh dan tanpa diskriminasi dalam instrumen nasional. Indonesia sebagai negara multikultural juga telah mengambil langkah awal yang baik untuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi masyarakatnya. Hal tersebut tercermin dari muatan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 serta Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Perlindungan yang sama bagi pemeluk kepercayaan tradisional juga dijamin oleh konstitusi melalui Pasal 28 I Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.

Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan awal artikel ini, lingkungan Masjid Agung Kotagede Yogyakarta yang kental dengan akulturasi budaya Jawa dan agama Islam dibuktikan dengan keberadaan masyarakat yang menganut agama Islam dengan tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan Kejawen. Saat ini beberapa masyarakat sekitar sudah mengenal berbagai macam aliran agama Islam termasuk Islam moderat, mereka hidup berdampingan di sekitar masjid. Lantas bagaimana kehidupan toleransi antar sesama umat islam yang berbeda pandangan di lingkungan Masjid Agung Mataram Kotagede tersebut?

Dalam kunjungan penulis ke Masjid Agung Kotagede, penulis menemui beberapa warga Muslim yang masih menjalankan tradisi Kejawen dan juga warga Muslim yang tidak lagi menjalankan budaya Kejawen. Dari beberapa narasumber tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa saat ini Masjid Agung Kotagede masih difungsikan selayaknya masjid pada umumnya yang digunakan sebagai tempat ibadah dan berkegiatan tanpa membeda-bedakan keyakinan yang dianut.“Kejawen itu kepercayaan dan keyakinan masing-masing, dari pihak masjid tidak akan mengintervensi dan tidak memberi batasan selama kegiatan yang dilakukan di sekitar masjid bermanfaat. Warga juga saling berdampingan, tetap beribadah sesuai keyakinan, dan saling menghargai.” Ujar Pak Warisman, selaku Pengurus Kerumahtanggaan Masjid Agung Mataram Kotagede. Tak jarang masjid ini pun juga dimanfaatkan sebagai tempat singgah pengunjung yang ingin melakukan doa di makam tepat di samping masjid, tempat transit sementara jenazah yang beragama selain Islam sebelum diantarkan oleh ambulance, serta peletakan gunungan dalam acara-acara penting. Pak Surabudaya, Abdi Dalem Makam sebagai penganut Islam Kejawen juga menceritakan “Masjid tidak memberi batasan kalau mau melakukan tradisi, antar warga juga biasa aja saling menghormati. Yang membeda-bedakan oknum tertentu saja. Justru saya dapat perlakuan berbeda kalau di luar lingkungan Masjid”. Dapat kita lihat disini bahwa masyarakat sekitar dengan aliran yang berbeda terbiasa hidup berdampingan satu sama lain, tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai alasan yang melegitimasi segala perbuatan diskriminatif.

Tingginya rasa toleransi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang ada di lingkungan Masjid Agung Mataram Kotagede tentu harus terus dilestarikan. Sudah sepatutnya seluruh masyarakat Indonesia memiliki kesadaran akan hal ini, mengingat bahwa Negara Indonesia merupakan negara multikultural dan multietnis yang terdiri dari beragam suku dan budaya. Oleh karena itu menjaga perbedaan dengan saling menghargai dan menghormati merupakan bagian dari konsekuensi hak asasi manusia dan menjaga keutuhan bangsa.

Ditulis oleh mahasiswa Magang UGM Laila Hasna dan Aziizah Azzahra

Diedit oleh Tim LBH Yogyakarta

 

Referensi

https://www.sanskertaonline.id/2020/01/akulturasi-budaya-pada-bangunan-masjid.html

https://heritagekotagede.wordpress.com/2014/10/23/masjid-kotagede-yogyakarta/