Winong merupakan suatu daerah yang terletak di Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tak jauh dari pemukiman warga Winong berdiri suatu pembangkit listrik pertama di Jawa bagian Selatan, yaitu PLTU Batubara Cilacap yang dikelola oleh PT Sumber Segara Primadaya (S2P). Dengan kondisi yang demikian, tak menutup kemungkinan warga Winong ikut merasakan dampak yang dihasilkan oleh PLTU tersebut, baik itu secara ekonomi maupun lingkungannya.
Kualitas air yang menurun, bencana kekeringan, debu polusi udara yang menyesakkan, serta dampak berbahaya lain yang disebabkan oleh limbah PLTU mengancam keselamatan warga Winong. Tak hanya itu, fenomena “Kolam Renang PLTU” yang sempat menjadi perbincangan di tahun 2020 juga sangat memilukan. Bagaimana tidak, kolam pembuangan limbah PLTU, yang sebenarnya merupakan tempat pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), digunakan sebagai tempat bermain dan berenang anak-anak warga Winong. Jika diteruskan hal tersebut tentu tidak akan berdampak baik pada mereka. Mengingat anak merupakan aset bangsa yang berharga, yang akan menjadi generasi penerus masa depan bangsa, maka menjadi suatu pertanyaan, bagaimanakah penegakan hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik serta sehat bagi anak-anak di Dusun Winong?
Salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar adalah hak hidup yang bersifat non derogable rights (tidak dapat ditawar lagi). Berbagai instrumen hukum dengan jelas telah memberikan jaminan atas hak hidup. Seperti dalam Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB, yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Selain itu, hak untuk hidup juga telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Di dalam amandemen UUD 1945, hak hidup dirumuskan dalam beberapa pasalnya. Pasal 28 A, Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 H ayat (1), serta Pasal 28 I ayat (1) merupakan beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang menyinggung terkait dengan hak hidup. Instrumen hukum lain yang mengatur terkait dengan hak hidup adalah UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa,”Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Tak hanya itu, terdapat berbagai aturan pidana terkait dengan perampasan hak hidup seseorang. Melihat banyaknya aturan tersebut, maka tak heran hak hidup dikatakan sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar.
Lebih lanjut mengenai hak untuk hidup merupakan hak setiap manusia, tanpa memandang status sosial, gender, ataupun usia. Baik orang yang kaya ataupun miskin berhak untuk hidup. Baik laki-laki ataupun perempuan berhak untuk hidup. Baik orang dewasa ataupun anak-anak sekalipun berhak untuk hidup.
Fenomena yang terjadi di Winong sangat merugikan anak-anak. Bagaimana tidak, dampak lingkungan yang dihasilkan PLTU sangat dirasakan oleh warga, termasuk anak-anak. Padahal, anak-anak yang merupakan generasi penerus masa depan bangsa membutuhkan lingkungan yang sehat dan mendukung guna mengembangkan bakat dan minat mereka. Lingkungan yang layak dan sehat sudah seharusnya menjadi hak bagi setiap orang khususnya bagi anak-anak yang tinggal di daerah Winong.
Lingkungan yang terjaga kelestariannya dapat membantu anak-anak untuk berkonsentrasi dalam pelajarannya. Namun nyatanya, kenyamanan dan keamanan lingkungan mereka diusik dengan dikeluarkannya PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang salah satu buntut dikeluarkannya PP tersebut adalah dinyatakannya limbah FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) sebagai limbah non B3. Hal tersebut dapat dilihat dalam Lampiran XIV PP tersebut, dinyatakan bahwa FABA tergolong limbah non B3 terdaftar. Dihapuskannya limbah FABA dari limbah B3 tentu berpengaruh terhadap banyak hal. Mulai dari pengelolaan, penyimpanan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, perpindahan, hingga penanggulangan limbah FABA dapat berubah. Dan perubahan pengelolaan limbah tersebut tentu berpengaruh pula pada lingkungan serta masyarakat sekitarnya.
Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selanjutnya dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 disebutkan pula bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dari bunyi kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa negara menjamin hak hidup anak serta hak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.
Di sisi lain, lingkungan hidup yang sehat dan lestari merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan prinsip good governance pada sistem pemerintahannya. Dalam hal ini apabila Pemerintah turut serta dalam proses pembangunan PLTU Batubara Cilacap yang dikelola oleh PT Sumber Segara Primadaya (S2P) tanpa mengedepankan keselamatan serta kenyamanan warga sekitar dengan tidak memperhatikan jarak pembangunan dengan rumah-rumah warga, maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah telah gagal dalam menerapkan prinsip good governance.
Sony Kerap menyatakan bahwa ada hubungan erat antara penyelenggara pemerintahan yang baik dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan menentukan pengelolaan lingkungan hidup yang baik, dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik mencerminkan tingkat penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Singkatnya, tanpa adanya penyelenggaraan serta pengelolaan yang baik, maka akan sulit mengharapkan adanya lingkungan hidup yang baik.
Pengaturan mengenai hak atas lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), dalam Regulasi tersebut telah dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 67 UU PPLH sendiri telah mengatur dua kewajiban bagi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu (1) kewajiban untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup ; dan (2) kewajiban mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Berangkat dari ketentuan di atas, sudah sepatutnya PT Sumber Segara Primadaya (S2P) memperhatikan pembangunan PLTU Batubara mereka dengan mempertimbangkan jarak serta kondisi kelayakan pabrik dengan pemukiman warga. Pencemaran akibat tidak dilaksanakannya prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan pembangunan PLTU Batubara oleh PT Sumber Segara Primadaya mengakibatkan warga sekitar terpaksa merasakan dampak buruk akibat rusaknya lingkungan yang disebabkan oleh kesewenang-wenangan pihak terkait. Pencemaran berupa debu batu bara dari hasil pembakaran serta limbah B3 seakan menjadi santapan sehari-hari bagi warga Winong sejak beberapa tahun silam.
Sejak tahun 2019 para warga sebenarnya sudah sering melayangkan keberatan dan tuntutan kepada pihak PT S2P agar melakukan pengelolaan limbah yang baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Namun sayang, saran dan keluh kesah yang disampaikan oleh masyarakat Winong tidak didengar seolah tidak ada harganya. Padahal apabila kita memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas seluruh masyarakat sudah selayaknya memperoleh kehidupan dan lingkungan yang layak untuk dihuni. Dalam hal ini, pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dan memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan PLTU Batubara di Cilacap lantaran berdampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya khususnya di Winong.
Keluhan dan tuntutan yang diajukan oleh warga Winong bukan tanpa alasan, sebab sejak awal beroperasinya PLTU Batubara S2P pada tahun 2006 merasakan dampak yang cukup merugikan bagi mereka. Pengelolaan limbah yang buruk serta lokasi PLTU yang berdekatan dengan pemukiman warga menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup kesehatan, kenyamanan warga, kualitas sumber air, dan berbagai macam pencemaran lainnya. Selain itu, pembuangan limbah B3 yang hanya berjarak kurang lebih 50 (lima puluh) meter dari pemukiman warga menyebabkan warga mengalami gangguan kesehatan seperti batuk, bronkitis, ISPA dan masalah pernapasan lainnya. Hal ini sungguh disayangkan sebab masyarakat Winong menjadi tidak memiliki lingkungan yang aman dan nyaman untuk ditinggali terlebih bagi anak-anak.
Anak-anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dimana mereka memiliki hak untuk hidup dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan hal tersebut telah dijamin oleh undang-undang. Anak-anak merupakan harapan bangsa. Anak-anak merupakan masa depan bangsa. Sehingga perlindungan terhadap mereka perlu ditegakkan.
Ditulis oleh: Pius Katon Jatmiko dan Lely Agustina (Mahasiswa Magang FH UGM)