Indonesia sebagai Negara hukum, mengatur segala bentuk perilaku manusia, salah satunya dalam hal beragama dan dan beribadat menurut keyakinannya. Hal ini termaktub dalam konstitusi. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28E menjamin bahwa “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan…”; Melihat dari konteks hak asasi manusia, negara merupakan subjek hukum utama,sebab negara bertanggung jawab dalam menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memajukan (to promote) hak asasi manusia. Dalam hukum HAM, pemangku hak (rights holder) adalah individu, sedangkan pemangku kewajiban (duty bearer) adalah Negara. Dengan demikian negara memiliki tanggung jawab melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Menghormati dan menjunjung tinggi hak yang dimaksudkan disini adalah negara dilarang untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama dan keyakinannya. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan “hak negatif”, yaitu dimana hak-hak serta kebebasan beragama dan berkeyakinan baru dapat terpenuhi apabila peran negara terbatas. Hak negatif memaksa negara untuk tidak melakukan intervensi ataupun membiarkan orang lain mengintervensi kebebasan beragama individu lainnya.
Adapun kewajiban untuk melindungi yang dimaksudkan disini adalah negara memiliki tanggung jawab untuk melakukan segala bentuk upaya pencegahan pelanggaran HAM terhadap individu maupun kelompok, seperti mencegah terjadinya diskriminasi horizontal di dalam masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan. Sikap negara yang membiarkan terjadinya diskriminasi atau persekusi horizontal terhadap sesama individu atau sekelompok warga negara merupakan bentuk pelanggaran HAM by omission. Dalam sila pertama Pancasila diakui Tuhan YME, artinya setiap warga negara berkewajiban untuk saling menghormati dan melindungi agama dan kepercayaan masing-masing, karena merupakan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara bebas tanpa diintervensi maupun mengintervensi pihak lainnya.
Sebagai entitas utama dalam penyelenggaraan HAM, negara Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU No 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut, Pasal 22 menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, bangsa Indonesia semestinya mampu mengimplementasikan nilai-nilai dalam Pancasila, konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai warga negara dan terutama sebagai penyelenggara negara.
Upaya mendasar yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam konteks pemenuhan hak kebebasan beragama adalah dengan memberikan pengakuan. Pada dasarnya konstitusi telah memberikan jaminan dan pengakuan atas kebebasan memeluk dan menjalankan agama serta kepercayaan. Prakteknya, negara masih kerap melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleransi berbasis agama, seperti penyerangan, pembubaran, pelanggaran hingga pengrusakan. Selain pembiaran, dalam beberapa kasus negara juga melakukan pelanggaran hak kebebasan beragama dengan mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif, seperti mencabut keputusan atau menghambat terbitnya izin rumah ibadah. Bahkan negara juga pernah mengesahkan undang-undang yang diskriminatif terhadap salah satu kelompok, yaitu dengan terbitnya UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Pedoman Agama.
Dalam kasus tertentu LBH Yogyakarta menemukan perpaduan tindakan intoleransi, dimana muncul kebijakan yang diskriminatif disertai dengan hadirnya penolakan dari masyarakat sekitar atau organisasi masyarakat intoleran. Beberapa contoh kasus yang didampingi LBH Yogyakarta misalnya seperti kasus GPDI Immanuel Sedayu di Bantul. Saat itu bupati Bantul mencabut IMB Gereja, pencabutan beslit tersebut dilakukan dengan mobilisasi warga di sekitar lokasi yang menolak gereja di wilayahnya. Kejadian serupa juga dialami oleh GKJ Klasis Gunung Kidul ketika hendak mendirikan kantor bersama Klasis. Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya penerimaan serta pengakuan terhadap keragaman agama dan kepercayaan.
Agar supaya perilaku intoleran dan diskriminatif dapat diselesaikan, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah lainnya, yaitu untuk mempromosikan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini untuk membentengi pandangan intoleran yang berkembang semakin masif di tengah masyarakat. Perlu kita pahami bersama bahwa tidak ada agama yang mengajarkan untuk menghina atau menghalang-halangi kepercayaan orang lain. Saling menghargai dalam perbedaan merupakan cara terbaik menghormati sesama. Semua agama pada dasarnya mengajarkan tentang kebaikan dan kedamaian.
Penulis: Rahman Timung (Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)
Editor: Kharisma Wardhatul Khusniah (Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)
Referensi;
- Buku Ganjalan Pendirian Rumah Ibadah
- https://lbhyogyakarta.org/2021/12/06/membaca-politik-hukum-ham-penghayat-kepercayaan-pasca-orde-baru/
- https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/398/278
- https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/download/633/pdf_1
- https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/179/176
- https://ham.go.id/2014/03/24/implementasi-kovenan-hak-sipil-dan-politik-di-indonesia-hal-2/