“Kos Muslim”: Fenomena Kebebasan Beragama di Tengah Maraknya Bisnis Kos

January 31, 2022by Admin LBH Yogyakarta0

Bukan tanpa sebab Yogyakarta dijuluki sebagai kota pelajar. Pasalnya, Yogyakarta merupakan kota dengan sekolah dan kampus terbanyak di Indonesia. Sebagai kota pelajar, muncullah berbagai kesempatan bisnis yang dapat dijalankan, salah satunya adalah bisnis indekos atau yang lebih sering dikenal dengan istilah kos. Pelajar-pelajar yang berasal dari luar Kota Yogyakarta tentu akan mencari indekos sebagai tempat tinggal selama belajar di kota tersebut. Orang-orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda, baik itu budaya, ras, suku, dan agama, berkumpul di satu kota mencerminkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di satu sisi perbedaan tersebut dapat mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Namun di sisi lain, perbedaan tersebut juga dapat memberikan potensi munculnya pelanggaran-pelanggaran terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Mencari indekos dapat dilakukan secara langsung dengan mengunjungi lokasi indekos maupun secara tidak langsung melalui aplikasi serta website online. Salah satu website yang sering digunakan untuk mencari indekos adalah mamikos.com yang memberikan kemudahan bagi para pencari indekos. Cukup dengan menuliskan kata kunci lokasi saja, website tersebut dapat membantu menemukan indekos di lokasi-lokasi yang diinginkan, misalnya yang dekat dengan wilayah kampus. Satu hal menarik yang seringkali dijumpai ketika hendak mencari indekos adalah banyaknya penamaan indekos yang menggambarkan satu kelompok saja, misalnya indekos yang berlabelkan ‘Kos Muslim/Muslimah’. Hal ini tentu menjadi perhatian, dimana Yogyakarta sebagai kota yang plural bukan hanya satu kelompok saja yang membutuhkan indekos sebagai tempat tinggal sementara. Ironisnya, beberapa orang bahkan mengeluhkan terkait sulitnya mencari indekos karena terhalang agama. Hal ini merupakan diskriminasi bagi sebagian pihak yang menyebabkan mereka kesulitan untuk mencari tempat tinggal sementara. Padahal setiap orang berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak, termasuk tempat tinggal sementara. Hal ini dijamin didalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) juncto Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sentimen agama dalam bisnis indekos nyatanya menjadi salah satu permasalahan yang banyak terjadi salah satunya di Kota Pelajar Yogyakarta. Tak sedikit mahasiswa yang sedang mencari indekos kerap dihadapkan dengan papan bertuliskan “Kos Muslim” atau “Kos Muslimah” di pagar atau pintu indekos. Disamping itu, para pencari indekos seringkali dipertanyakan soal keagamaannya oleh pemilik indekos. Padahal, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal dan berkaitan dengan agama tidak seharusnya ditanyakan, terutama jika dikaitkan dengan persyaratan mencari tempat tinggal. Beberapa orang yang pernah menghadapi situasi seperti ini merasa bahwa kebebasan beragama mereka seakan dibatasi. Hal ini dikarenakan pemilik indekos hanya menerima mereka yang beragama tertentu saja.

Lebih lanjut, adanya label “Muslim” yang disematkan di beberapa kawasan hunian indekos di Yogyakarta menimbulkan adanya dinding pembatas tak kasat mata di tengah masyarakat. Padahal tidak semua orang yang tinggal atau menetap di Yogyakarta beragama Islam. Permasalahan indekos dengan ketentuan “Kos Muslim” tentu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi beberapa orang. Sebenarnya apa yang dimaknai sebagai “Muslim” oleh para pemilik indekos yang selama ini banyak ditemui di kawasan Yogyakarta? Apakah kata “muslim” itu digunakan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman untuk ditinggali? Atau justru menimbulkan dinding tak kasat mata untuk menciptakan kawasan khusus bagi kelompok tertentu di suatu hunian sehingga menolak kelompok lain untuk tinggal di kawasan tersebut? Hal ini cukup menarik untuk dibahas sebab berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah masyarakat itu sendiri.

Salah satu contoh berkaitan dengan hal tersebut adalah cuitan akun @Abetkabled di Twitter dua tahun silam. Akun tersebut membagikan kegelisahannya dalam mencari indekos di kawasan Yogyakarta, ia bahkan merasa perlu untuk memberitahukan agamanya kepada pemilik indekos sebelum pemilik tadi bertanya. Dalam cuitannya ia mengatakan, “Setiap mau tanya kos-kosan harus nanya ‘saya katolik boleh ngekos di sini nggak bu/pak?’”. Meskipun hal ini terjadi dua tahun silam, tak menutup kemungkinan bahwa praktik-praktik seperti ini masih terus terjadi. Mengingat indekos berlabel muslim masih menjamur hingga saat ini. Hal ini sungguh memprihatinkan, mereka yang hendak  mencari indekos menjadi terhambat karena agama yang berbeda. Padahal pemisahan indekos bagi agama tertentu terlihat kurang pantas di negara plural yang telah dijamin keberagamannya berdasarkan Pancasila. Hal ini bahkan diatur dalam konstitusi negara yaitu pada Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945. Lebih lanjut, Pasal 28E ayat (1) mengartikan kebebasan beragama sebagai hak untuk  memilih dan menetapkan agama atau keyakinan atas pilihannya sendiri serta kebebasan untuk menjalankan agama atau keyakinan secara sendiri maupun bersama-sama. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak dapat dilepaskan dengan hak lainnya, termasuk hak mendapat tempat tinggal yang layak.

Selanjutnya kita perlu mengetahui lebih dulu alasan mengapa beberapa pemilik indekos hanya menerima mereka yang beragama islam saja. Dari beberapa peristiwa, pemilik indekos berpendapat bahwa keamanan dan kenyamanan akan lebih terjamin apabila penghuninya muslim saja. Selain itu mereka juga berpandangan bahwa “Kos Muslim” dapat mencegah pergaulan bebas yang tumbuh di tengah mahasiswa. Hal ini justru menimbulkan pandangan bahwa pemilik indekos berprasangka buruk kepada mereka yang beragama lain. Padahal semua agama mengajarkan hal baik, mengedepankan akhlak dan juga melarang pergaulan bebas. Maka dari itu alasan-alasan tadi sepertinya kurang relevan apabila dijadikan dasar untuk membentuk label “Kos Muslim.”

Apabila kita memperhatikan Pasal 1 angka 2 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pondokan disebutkan bahwa pondokan adalah rumah atau bangunan gedung yang terdiri dari kamar dan fasilitas penunjang yang dihuni oleh pemondok untuk jangka waktu tertentu dengan dipungut atau tidak dipungut bayaran. Selanjutnya dalam Pasal 3 Perda tersebut, disebutkan mengenai tujuan daripada pengaturan penyelenggaraan pondokan, yang salah satunya adalah untuk mengatasi permasalahan sosial yang timbul karena interaksi sosial antar kultur. Dengan adanya tujuan tersebut, seharusnya pemilik bisnis indekos tidak membeda-bedakan indekos  dengan memberikan label “Kos Muslim/Muslimah” karena dengan adanya keberagaman kultur justru bisa memperkuat rasa saling menghargai di antara mereka yang dapat meningkatkan toleransi.

Namun demikian, adanya indekos-indekos yang berlabelkan “Kos Muslim/Muslimah” justru menimbulkan permasalahan sosial karena dengan adanya label tersebut menimbulkan adanya diskriminasi yang juga merupakan suatu pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Adanya perlakuan diskriminasi tersebut menunjukan adanya intoleransi dalam bisnis indekos. Padahal dalam Pasal 28I ayat (2) dinyatakan bahwa, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Adanya label-label “Kos Muslim/Muslimah” menyebabkan timbulnya eksklusivisme terhadap suatu kelompok lain. Yang mana hal tersebut mendorong terjadinya diskriminasi terhadap suatu kelompok yang lain. Selain itu keberadaan “Kos Muslim/Muslimah” akan menimbulkan segregasi sosial yang menyebabkan interaksi berdasarkan golongan yang sama saja. Hal ini akan memicu perilaku intoleran di tengah masyarakat yang plural. Apabila pemilik indekos ingin menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan tidak tersentuh oleh pergaulan bebas mereka bisa mengantisipasinya dengan memberikan peraturan yang ketat di masing-masing indekos, bukannya dengn membatasi agamanya. Di sisi lain pemilik indekos juga bisa membuat perjanjian dengan mereka agar menjaga kenyamanan lingkungan dengan senantiasa menjunjung tinggi norma-norma yang ada tanpa melakukan pengkotak-kotakan agama dalam bisnis indekos.

Harapan kedepannya semoga fenomena seperti ini tidak terjadi lagi, mengingat Indonesia bukanlah suatu negara yang homogen. Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya sehingga rasa toleransi sangat penting untuk ditingkatkan. Satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa toleransi adalah dengan berinteraksi, tidak hanya dengan sesama golongan melainkan juga dengan golongan yang lain. Bagaimana masyarakat akan hidup toleran dan dinamis apabila tempat tinggal sementara bagi mahasiswa diberlakukan sekat-sekat terhadap kelompok yang sama saja. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan isu yang lebih parah lagi terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah masyarakat Yogyakarta. Sudah saatnya pemilik indekos mulai mempertimbangkan frasa “Kos Muslim/Muslimah” di pagar atau pintu mereka untuk menghindari isu kebebasan beragama serta pandangan eksklusivisme di masyarakat setempat.

 

Ditulis Oleh : Pius Katon Jatmiko & Lely Agustina (Mahasiswa Magang FH UGM)

 

Referensi:

https://magdalene.co/story/jualan-sentimen-agama-dan-ras-dalam-bisnis-kamar-kos

https://islami.co/fenomena-kos-kosan-hanya-buat-muslim-saja-di-tempatmu-bagaimana/

https://www.dutaislam.com/2019/08/beredar-pemilik-rumah-kos-tak-menerima.html

https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Dasar 1945

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pondokan