Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia bagi siapa saja yang berada dalam yurisdiksi negara tersebut termasuk dalam urusan beragama dan berkeyakinan. Kewajiban negara untuk menghormati berarti bahwa negara tidak dapat secara sewenang-wenang mencampuri atau membatasi penikmatan atas hak kebebasan berkeyakinan. Kewajiban melindungi berarti bahwa negara secara aktif wajib melakukan upaya pencegahan pelanggaran HAM terhadap individu maupun kelompok, seperti mencegah terjadinya diskriminasi horizontal di dalam masyarakat termasuk terhadap penghayat kepercayaan sebagai kelompok minoritas. Sedangkan kewajiban pemenuhan mengharuskan negara melakukan tindakan untuk terpenuhinya hak kebebasan meyakini agama dan kepercayaan, seperti menyediakan guru bagi semua agama dan kepercayaan di sekolah.
Pengutamaan agama-agama resmi dalam pelayanan publik memunculkan fragmentasi mayoritas-minoritas yang melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan. Hal tersebut menjadi dampak yang sangat terasa bagi kelompok minoritas, khususnya penganut penghayat kepercayaan. Akibat diskriminasi terhadap keyakinan mereka, penganut penghayat kepercayaan menjadi kehilangan akses terhadap apa yang seharusnya menjadi hak asasi mereka.
Pengosongan kolom agama seperti diatur dalam UU Administrasi Kependudukan tahun 2006 bagi penghayat kepercayaan, justru akan menyulitkan bagi mereka dalam mengakses fasilitas pelayanan publik lainnya. Salah satunya adalah dalam hal pendaftaran perkawinan, akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan hingga sulitnya mengakses layanan keuangan seperti perbankan. Bahkan di beberapa kasus terdapat penolakan terhadap pemakaman warga penganut penghayat kepercayaan.
Diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan bukan hanya melanggar hak sipil dan politik. Berbagai bentuk ketidakadilan ekonomi, sosial dan budaya juga menjadi dampak yang menyertai. Mulai dari sulitnya mengakses layanan kesehatan bagi perempuan hamil dan melahirkan, akses pendidikan, sulit diterima kerja karena kepercayaannya dianggap sesat, hingga sulitnya akses perbankan dan perizinan usaha. Diskriminasi dan ketidakadilan yang diterima oleh penghayat kepercayaan tersebut menjauhkan mereka dari akses sumber ekonomi, sehingga berpotensi melahirkan kemiskinan.
Pelanggaran HAM Penghayat di Masa Reformasi
Salah satu agenda reformasi pemerintahan pasca Orde Baru adalah penguatan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM. Agenda tersebut direspons oleh pemerintahan pasca reformasi dengan mencabut peraturan perundang-undangan yang melanggar HAM, mengubah (mengamandemen) UUD 1945, membuat peraturan perundang-undangan baru yang ditujukan kepada perlindungan HAM, serta meratifikasi kovenan-kovenan HAM internasional. Berbagai lembaga baru juga didirikan pasca reformasi demi menjamin, penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM (Suparman Marzuki, 2014).
Diantara terlaksananya agenda reformasi HAM tersebut adalah (a) terbentuknya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (b) penambahan Pasal 28 UUD 1945 menjadi 11 pasal (Pasal 28A-28J) yang berkaitan langsung dengan penjaminan HAM khususnya hak sipil dan politik, (c) UU Pengadilan HAM, (d) disahkannya UU 11 Tahun 2005 dan UU 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob serta (e) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan lain sebagainya.
Selain disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan dalam perspektif HAM, beberapa lembaga juga didirikan untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM seperti (a) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), (b) Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), (c) Mahkamah Konstitusi, dan lembaga-lembaga pro demokrasi lainnya.
Meski instrumen perlindungan dan penegakan HAM semakin baik, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pengakuan, penghormatan, perlindungan serta pemenuhan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi penghayat. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aturan hukum pasca reformasi yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan hak-hak asasi bagi penganut penghayat.
UU No. 1/PNPS/1965 yang seringkali dijadikan sebagai dasar hukum kriminalisasi tidak turut dicabut pasca runtuhnya rezim Orde Baru, sebagaimana dicabutnya peraturan hukum lainnya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Politik hukum HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan di era pasca Orde Baru sesungguhnya telah cukup responsif sebagai kebutuhan substansi negara hukum dan demokrasi. Namun menurut Suparman (2019), penguatan pemenuhan tersebut tidak dengan sendirinya menghadirkan perlindungan dalam menjalankannya.
Negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sengaja (by omission) dengan tetap memberlakukan UU No.1/PNPS/1965 yang diskriminatif dan berpotensi mengkriminalisasi kelompok tertentu seperti aliran kepercayaan. Negara juga melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui pembiaran (by omission) terhadap diskriminasi yang dialami oleh penganut penghayat kepercayaan.
Pembiaran negara terhadap pelanggaran memilih agama dan kepercayaan berimplikasi pada terlanggarnya hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan akses layanan publik. Pembiaran ini dapat dilihat sebagai pemaksaan tidak langsung negara terhadap manusia di dalamnya atau disebut sebagai indirect coercion.
Amandemen UUD 1945 merupakan gambaran konstitusional dari perubahan politik hukum HAM Indonesia pasca Orde Baru. Dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan:
- Pasal 28E menjamin bahwa “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan…”;
- Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa “Hak untuk hidup, …., hak beragama …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”;
- Pasal 28I ayat (2) dan (4) menjamin perlindungan serta pelaksanaan HAM yang setara dan bahwa negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia;
- Pasal 29 UUD 1945, meski bukan hasil perubahan, telah mengatur bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Meski amandemen UUD 1945 telah menjamin perlindungan dan pelaksanaan HAM kebebasan beragama sedemikian rupa, masih ada saja produk hukum pasca reformasi yang belum sepenuhnya mengelaborasi nilai HAM kebebasan beragama tersebut. Sebagaimana UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diubah oleh UU 24 Tahun 2013 yang terbit cukup jauh pasca runtuhnya Orde Baru. Undang-undang ini masih memuat adanya diskriminasi dan pelanggaran HAM yang disengaja (by commission) melalui Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) dengan menyebut “agama yang belum diakui sebagai agama menurut peraturan perundang-undangan atau bagi penganut penghayat kepercayaan.”
Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 yang menolak permohonan pembatalan UU No.1/PNPS/1965 pun tidak jauh dari warisan orde baru. Putusan tersebut menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi masih mempertahankan nilai-nilai diskriminatif dan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang politik hukumnya telah berubah seiring dengan adanya perubahan dalam tubuh konstitusi atau UUD 1945.
Landasan konstitusional bagi munculnya sistem politik demokratis melalui perubahan atau amandemen UUD 1945 harus didukung dengan adanya perubahan produk hukum yang menguatkan cita-cita demokrasi. Mahfud MD (2000) mengatakan bahwa penyebab terjadinya pelanggaran HAM adalah sistem politik yang tidak demokratis. Sedangkan sistem politik yang tidak demokratis itu dibangun oleh penguasa dengan menggunakan alasan-alasan yang diambil dari UUD 1945, bahkan dengan klaim melaksanakan pesan dalam UUD 1945.
Secara keseluruhan, Politik hukum HAM yang diterapkan terhadap penghayat pasca orde baru tidak sejalan dengan adanya perubahan politik hukum HAM pasca Orde Baru. Perubahan UUD 1945 dan peraturan lainnya yang menekankan pada perbaikan HAM dan demokrasi sebagai konsekuensi dari negara hukum Indonesia. Untuk dapat menerapkan politik hukum HAM yang responsif sebagaimana cita-cita amandemen UUD 1945, produk hukum yang represif hasil rezim orde baru harus diubah.
Penulis: Kharisma Wardhatul Khusniah (Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)