Siaran Pers Bersama
Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia (YLBHI), LBH Yogyakarta, LBH Semarang, LBH Surabaya, LBH Bandung
76 Tahun Hari Listrik Nasional: Negara Produksi Akumulasi Keuntungan bagi Pemilik Modal dan Akumulasi Penderitaan untuk Rakyat.
Kita semua adalah rakyat. Petani, Nelayan, Buruh, Masyarakat Miskin Kota, Minoritas seksual, Minoritas agama, Perempuan, Masyarakat adat, Anak, Pelajar dan Kelompok masyarakat sipil lainnya yang terhubung oleh nasib yang sama : penderitaan akibat akumulasi keuntungan pemilik modal yang difasilitasi oleh negara.
Hidup Rakyat!
Slogan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Menerangi Indonesia, Memajukan Bangsa tidak indah seperti yang terdengar, karena dalam 76 tahun listrik nasional penciptaan yang dilakukan adalah kegelapan dan kemunduran bagi kesejahteraan rakyat dan lingkungan mulai dari hulu sampai ke hilir. Dari lubang-lubang tambang batubara di Kalimantan dan Sumatera sampai ke tapak-tapak PLTU di seluruh Indonesia. Melalui jalur laut dengan kapal tongkang pembawa batubara yang merusak laut disepanjang perjalanan nya. Kegelapan dan kemunduran karena merampas tanah rakyat, merusak laut, menciptakan ribuan lubang tambang, banjir, merampas nyawa rakyat tak bersalah, memenjarakan rakyat, merusak sumber air dan produktifitas tanah rakyat.
Kepada warga Cilacap, Infrastruktur ketenagalistrikan PLTU Batubara Cilacap mengorbankan kesehatan warga khususnya anak-anak. Dari catatan Puskesmas, setiap tahunnya dari 2016 terdapat pengidab baru sekitar 2.000 sampai 6.000 orang. Bahkan bisa sangat parah, anak-anak menderita penyakit paru kronis atau bronkitis. Kepada anak-anak yang menderita paru kronis ini, Dokter menyarankan kepada warga untuk pindah mencari hunian lain. Tapi ini pilihan yang tidak bisa diambil warga. Warga tidak punya uang untuk pindah, rumah lama dijual hanya laku dengan harga yang sangat murah karena kondisi lingkungan yang sudah rusak dan tanah pertanian yang tidak lagi produktif. PLTU juga berdampak kepada kerusakan sumber air warga. Warga yang sebelumnya bisa memperoleh air bersih gratis melalui sumur, sekarang harus membeli air, karena air sumur tidak bisa lagi dikonsumsi bahkan membuat gatal-gatal dan penyakit kulit apabila digunakan untuk mandi. PLTU juga memperparah penurunan muka tanah, membuat bannjir rob semakin parah dan mengenggelamkan rumah warga.
Kepada Warga korban PLTU Batubara Jepara. Kelompok Nelayan mengaku semakin sulit mendapatkan ikan. Seorang perempuan Nelayan menceritakan, keluarga nya sudah dua minggu melaut dan tidak ada pemasukan. Menurutnya ini diakibatkan oleh pipa penyedot air PLTU yang juga menyedot ikan-ikan kecil di laut. Sehingga membuat ikan semakin sedikit. Petani juga menderita akibat tanah yang menjadi tidak produktif. Tingkat keparahan PLTU Jepara digambarkan warga dengan menceritakan bahwa dengan menjemur kain putih di depan rumah, kain berubah jadi warna hitam. Menjemur nasi putih seperti kebiasaan warga kampung di Jawa (Nasi aking), juga merubah nasi menjadi warna hitam. Pada tahun 2005, di dekat PLTU Jepara ada anak yang meninggal dunia akibat terkena ispa.
Tanah warga di Batang dirampas atas nama pembangunan demi kepentingan publik bernama PLTU Batubara. Warga yang melawan dikriminalisasi dan diintimidasi, bahkan sampai saat ini intimidasi masih dilakukan kepada warga yang menolak menjual tanah nya untuk ekspansi pembangunan PLTU Batang. Proses pembangunan nya juga merusak mata pencaharian Nelayan, lumpur dan pecahan batubara merusak jaring Nelayan. Pembangunan PLTU juga melanggar peraturan kawasan konservasi laut. Ketika PLTU melanggar aturan konservasi laut, yang diubah bukan rencana PLTU nya, namun ketetapan kawasan konservasi nya. Padahal kawasan konservasi laut sangat penting karena menjadi habitat berkembangbiak nya ikan. Dari sini makin keliatan bagaiamana murah nya keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam agenda pembangunan infrastrktur ketenagalistrikan di Indonesia.
Tidak hanya PLTU Batubara, Infrastuktur ketenagalistrikan lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) juga mengorbankan kehidupan warga. Di Dieng, tempat pembangunan Geothermal. Ruang hidup warga diperlakuan seperti laboratorium, warga diperlakukan seperti kelinci percobaan. Bagi Negara dan Pemilik modal, setiap nyawa yang jatuh akibat Geothermal adalah sejumlah angka kelinci percobaan. Misal seperti lima nyawa warga yang meninggal akibat kebocoran gas beracun di Geothermal Sorik Merapi. Kejadian hampir serupa juga pernah dialami oleh Warga Dieng pada tahun 2017. Sejumlah warga mengalami luka-luka dan mengalami gagal panen. Selain itu, akibat Geothermal juga merusak sumber mata air warga, membuat air yang keluar seperti semen.
Kepada Warga Paiton, Probolinggo Jawa Timur. Kelompok Nelayan yang beraktivitas di sekitar pesisir pantai Probolinggo mengaku semakin sulit mendapatkan ikan, mereka harus berlayar mendekati tengah laut demi mendapatkan ikan untuk memperoleh penghasilan. Dahulu ikan-ikan kecil dengan mudah mereka tangkap di sekitar pesisir pantai Probolinggo, namun saat ini kondisinya berubah. Tumpahan batu bara dari atas kapal tongkang serta adanya tumpahan yang diduga cairan kimia dari aktivitas PLTU Paiton membuat habitat ikan-ikan di sekitar pesisir pantai mulai hilang. Keramba yang dipasang oleh nelayan dahulu dalam waktu sehari sudah penuh terisi ikan, namun saat ini perlu 2-3 hari untuk menunggu agar keramba nelayan penuh dengan ikan tangkapan. Selain itu, para Petani yang bercocok tanam di sekitar PLTU Paiton saat ini sudah kehilangan tanaman kelapa yang telah punah dalam 10 Tahun terakhir.
Warga korban PLTU Indramayu yang sumber-sumber penghidupan direnggut akibat dikepung dua PLTU. Dampak dari Pembangunan PLTU I 3×330 MW yang dirasakan warga mulai dari mata pencarian sampai dengan ancaman kesehatan. Petani dan buruh tani yang menyaksikan pohon-pohon kelapa pada mati, tanaman padi dan palawija menurun kualitas dan produksinya akibat debu batu bara yang berterbangan dan jatuh dilahan pertanian. Nelayan yang kesulitan mencari hasil laut karena area tangkapan nelayan telah tercemar oleh limbah PLTU I, selain itu nelayan sangat terganggu karena jangkar-jangkar kapal tongkang yang mengangkut batubara sering bersandar diaera tangkapan nelayan yang berakibat rusaknya jaring nelayan. Belum selesai menaggung derita dari adanya PLTU I warga dihadapkan denga pembangunan PLTU II kapasitas 2×1000 MW yang lokasinya berdekatan. Warga melakukan penolakan karena mengkhwatirkan dampak yang lebih parah, tetapi pembangunan dilakukan dengan manupilatif, tidak partisipatif dan mengabaikan kondisi warga. Tidak luput warga yang melakukan penolakan terhadap PLTU juga dikriminalisasi.
Hal yang tidak berbeda juga dirasakan oleh warga korban pembangunan PLTU Cirebon. Tambak garam dan tumbuhan di sekitar PLTU Cirebon berwarna kehitaman, Lahan pertanian mulai tidak produktif, serta hasil tangkap nelayan yang berkurang. Dari tuturan nelayan yang melihat air limbah dari pipa menyatakan air limbah berwarna biru, lebih panas dari badan air penerima (laut), dan menyebabkan gatal-gatal. Udara kotor yang dirasakan warga dengan adanya debu hitam pada tanaman dan atap rumah warga. Saat angin berhembus ke darat debu juga terlihat dihalaman rumah. Pembangunan PLTU II 1x 1000 MW awalnya yang tidak sesuai dengan tata ruang tetapi dilegitimasi oleh hukum untuk memperlncar proses pembangunan. Warga juga berhadapan dengan ancaman perempasan lahan akibat rencana pembangunan kawasan industri.
Akumulasi penderitaan rakyat akan semakin cepat/membesar dan meluas dengan adanya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang mempermudah izin, menghapuskan syarat-syarat perlindungan lingkungan, sentralisasi kekuasaan, menjamin peruntukan ruang untuk ekspansi ruang akumulasi keuntungan, dan banyak pengaturan lainnya yang menguntungkan pemilik modal. Seluruh pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara adalah bagian dari pelayanan negara kepada pemilik modal. Produksi listrik yang berlebihan dan merusak ini diberikan untuk memberi karpet merah bagi ekspansi industri besar-besaran. Misalnya, untuk melayani puluhan kawasan industri besar di Jawa Tengah. Sehingga tidak pernah ada rakyat dalam rencana dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan negara. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang dianggap menjadi solusi transisi energi bersih juga tidak lebih dari solusi palsu yang ujungnya tetap pada akumulasi keuntungan Pemilik moda. Isi dari RUU ini lebih pada promosi dagangan pembangkit listrik tenaga nuklir yang juga membawa daya rusak luar biasa. Pembahasan nya juga dikebut, bahkan target awal pembahasan RUU EBT rampung pada Oktober 2021. Persoalan energi seharusnya tidak dipandang hanya pada persoalan bagaimana memproduksi energi yang bersih dan rendah karbon, tapi pembahasan paling penting adalah untuk siapa energi itu diproduksi, apakah produksi nya berkeadilan atau menindas. Selama energi hanya dijadikan alat untuk memenuhi kerasukan akumulasi keuntungan maka produksi akumulasi penderitaan rakyat juga akan terus terjadi. Bertambah cepat/besar dan meluas.
Oleh karena itu, melalui siaran pers bersama ini. Kami mengajukan ajakan sebagai berikut :
- Mengajak rakyat untuk bersatu, bertahan sekuat tenaga melindungi ruang hidup dari kerakusan pemilik modal yang merusak keberlanjutan hidup rakyat dan lingkungan.
- Mengajak rakyat untuk memikirkan ulang demokrasi keterwakilan yang bekerja meng-akumulasi penderitaan bagi rakyat. Demokrasi palsu yang membuat si kaya makin kaya si miskin makin miskin lewat perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan dan pemerasan tenaga kerja. Demokrasi palsu yang merendahkan martabat manusia dan alam dengan menjadikan alam dan manusia sebagai barang dagangan.
- Mengajak rakyat untuk melawan akumulasi penderitaan ini dengan akumulasi kemarahan rakyat yang dibangun melalui konsolidasi dan persatuan perjuangan rakyat.
- Mengajak rakyat untuk menjadikan pembicaraan energi yang salah satu didalam nya adalah listrik menjadi agenda politik kerakyatan, dimana rakyat menentukan kebutuhan energi nya sendiri, dan model produksi energi seperti apa yang dipilih.
Narahubung
Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia (YLBHI) : 0812-1419-4445
YLBHI-LBH Yogyakarta : 0822-1658-8416
YLBHI-LBH Semarang : 0857-2700-5445
YLBHI-LBH Surabaya : 0838-5624-2782
YLBHI-LBH Bandung : 0821-2730-8544
NB: Sesi diskusi dapat disaksikan melalui https://www.youtube.com/watch?v=Q3kTzJAgZfI