Siaran pers
Hak Pedagang Pasar Kembang Belum Dipenuhi, Walikota Yogyakarta Tidak Boleh Lepas Tanggung Jawab
Kemarin, Kamis, 5 Agustus 2021, pedagang Pasar Kembang yang tergabung dalam Paguyuban Manunggal Karso mengadakan audiensi secara daring dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Maksud kedatangan pedagang ke pemerintah kota ini ialah meminta perhatian dari walikota pasca penggusuran yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia, pada 5 Juli 2017. Selain itu, harapannya pertemuan ini bisa menjadi sarana koordinasi awal untuk menyusun solusi konkrit –baik berupa ganti rugi atau tempat relokasi– bagi keberlanjutan kehidupan ekonomi para pedagang. Salah satu pertimbangan permohonan solusi ini lantaran pedagang Pasar Kembang memiliki Kartu Bukti Pedagang (KBP) dan berada di bawah pengelolaan Walikota Yogyakarta melalui dinas pengelolaan pasar. Namun, dalam audiensi yang dimulai pukul 10.00 dan dibatasi hanya satu jam itu, harapan pedagang tidak bersambut. Pemerintah kota lepas tangan.
Pertama, kami sangat menyayangkan walikota yang tidak menjumpai pedagang secara langsung. Padahal sejak semula, pedagang inginnya bertemu dengan walikota. Makanya surat permohonan audiensi yang dilayangkan pada 26 Juli 2021 dialamatkan kepada walikota, bukan kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang menerima audiensi kemarin. Sikap walikota yang demikian ini sungguh menjadi pertanyaan besar, mengapa ia terkesan menghindar setiap pedagang hendak berdialog? Peristiwa yang sama terjadi pula pada 4 Juli 2017, satu hari sebelum penggusuran. Para pedagang yang sudah berkunjung ke balai kota untuk meminta kejelasan tentang rencana penggusuran PT KAI, alih-alih ditemui oleh walikota, yang terjadi, ia malah pergi.
Kedua, kami sangat menyesalkan pernyataan bagian hukum pemerintah kota –yang kami asumsikan mewakili sikap walikota– yang mengatakan, kasus penghapusan Pasar Kembang telah selesai karena sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dia juga menyebutkan, pernah ada tawaran relokasi namun ditolak dan lebih memilih untuk mengajukan gugatan. Perwakilan dinas perdagangan berujar hal senada yang kira-kira, ketika itu sudah disediakan relokasi di sejumlah pasar di Kota Yogyakarta.
Terhadap hal ini, kami hendak menegaskan, amar putusan di Pengadilan Negeri Yogyakarta yang diketok pada 12 November 2018 adalah tidak menerima gugatan, bukan menolak. Artinya hanya memutus aspek formil saja, bukan segi materiilnya. Dengan kata lain, pengadilan belum pernah menilai dan menetapkan, apakah tindakan tergugat ketika itu (salah satunya Walikota Yogyakarta), adalah perbuatan melawan hukum atau tidak. Meskipun pengadilan belum menilai, namun sejak dahulu kami berpendapat, penggusuran terhadap Pasar Kembang tetaplah perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Perkataan bagian hukum bahwasanya kasus penghapusan Pasar Kembang telah selesai, cenderung menutup pintu dialog dan tentu menghentikan akses pemenuhan hak-hak pedagang. Kami menduga, ini cara walikota untuk lepas dari tanggung jawab konsitusionalnya, yang bahkan tidak pernah diusahakan sebelumnya.
Sementara itu, terkait dengan tawaran relokasi kepada pedagang, jelas mengada-ada. Rudi Tri Purnama, ketua Paguyuban Manuggal Karso mengungkapkan yang poinnya, selama ini tidak pernah diperhatikan dan sebelum penggusuran tidak ada pemberitahuan dari dinas pasar. Terlebih, jika betul ada tawaran relokasi, baik lewat undangan-undangan pertemuan atau pedagang didatangi langsung, maka para pedagang tidak perlu bersusah payah mengajukan gugatan ke pengadilan. Akan tetapi faktanya, tawaran ini tidak pernah ada. Makanya, upaya hukum ditempuh, termasuk upaya di luar pengadilan, seperti pengaduan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Provinsi D.I. Yogyakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), hingga beberapa kali menyambangi DPRD Kota Yogyakarta. Artinya, berbagai upaya untuk mengingatkan pemerintah sudah sangat kerap dilakukan. Dengan demikian, kalau sejak awal punya kemauan politik, tanpa harus didesak-desak, walikota sudah membuat kebijakan yang diarahkan untuk pemenuhan hak pedagang-pedagang Pasar Kembang.
Ketiga, kami merasa janggal dengan pernyataan bagian hukum pemerintah kota yang intinya, pedagang sepantasnya berterima kasih kepada PT KAI dan Kraton Yogyakarta karena masih diizinkan berdagang sampai 2017. Ini pernyataan sembrono! Sebelum penggusuran, tidak ada urusannya pedagang dengan PT KAI maupun Kraton Yogyakarta. Sebab, seperti sudah diutarakan di atas, hubungan hukum yang selama ini terbangun adalah antara pedagang dengan walikota melalui dinas pengelolaan pasar. Selain memiliki KBP, pedagang memegang Bukti Ketetapan Dan Pembayaran Retribusi (BKPR). Mereka rutin membayar retribusi kepada pemerintah kota.
Lagipula, kalau walikota paham hukum, pasal 4 ayat 1 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 tahun 2009 tentang Pasar sudah sangat jelas menyatakan, pengelolaan pasar dilakukan oleh pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Yogyakarta di bawah kepemimpinan walikota. Di samping itu, walikota sendiri yang menerbitkan peraturan walikota tentang petunjuk pelaksanaan perda tersebut, yang sudah diubah beberapa kali, yang diantaranya menetapkan Pasar Kembang sebagai pasar tradisional kelas IV. Nomenklatur Pasar Kembang juga telah muncul sejak 1992 di dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 3 tahun 1992 tentang Pasar, yang mana Pasar Kembang ditetapkan dan terkategori sebagai pasar umum.
Keempat, bagian hukum pemerintah kota menuturkan yang pokoknya, Paguyuban Manunggal Karso, yang merupakan wadah puluhan pedagang Pasar Kembang, tidak diakui kedudukan hukumnya (legal standing). Kami menilai pernyataan ini terindikasi sebagai upaya untuk mengaburkan substansi masalah dan cara menanggalkan kewajiban walikota untuk memberikan solusi konkrit kepada pedagang. Padahal, sekali lagi ingin kami tekankan, pedagang Pasar Kembang mempunyai KBP dan berada di bawah pengelolaan walikota melalui dinas pengelolaan pasar. Mayoritas KBP bahkan masih berlaku, hingga pasca penggusuran. Lagian, kalau walikota tahu konstitusi (UUD 1945), paguyuban tersebut adalah manifestasi dari ketentuan pasal 28E ayat 3 yang mana intinya, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Jadi seharusnya, keberadaan paguyuban tidak layak dipersoalkan.
Permohonan audiensi yang diajukan pedagang kepada Walikota ini sebetulnya juga berangkat dari pernyataan walikota dan wakil walikota Yogyakarta. Seperti diberitakan tribunnews.com, 23 Agustus 2017, Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi pernah mengatakan, pihaknya tetap memikirkan nasib pedagang Pasar Kembang. Bahkan Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, mengutarakan hal serupa, pihaknya tetap akan memikirkan solusi bagi pedagang. Tapi kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Rudi Tri Purnama, pernyataan walikota empat tahun lalu itu hingga hari ini sama sekali tidak ada. Tidak ada kebijakan yang menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab walikota terhadap pedagang.
Sikap walikota yang begitu, berakibat sangat serius bagi pedagang. Dalam kurun waktu yang lama itu, kondisi kehidupan pedagang jelas amburadul lantaran kehilangan pencahariannya. Alhasil, kini mereka kalang kabut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mana kalau Pasar Kembang masih ada, situasi demikian tidak mungkin terjadi mengingat sebetulnya pedagang telah sejahtera. Wina Wahyuni, salah satu pedagang anggota paguyuban, mempunyai KBP, terpukul atas penggusuran dan sikap walikota. Keadaan ini ditambah dengan kakaknya –yang juga mengelola kios di Pasar Kembang– meninggal dunia karena beban psikis memikirkan permasalahan ini. Penggusuran tidak hanya menghancurkan kiosnya, tetapi juga menghancurkan kehidupannya dan keluarga.
Maka dari itu, kami, mewakili kepentingan hukum para pedagang Pasar Kembang di Paguyuban Manunggal Karso masih menaruh harapan besar kepada Walikota Yogyakarta agar bersedia memberikan solusi –baik berupa ganti rugi maupun tempat relokasi– kepada para pedagang yang jadi korban gusuran PT KAI. Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan direncanakan dengan matang, ganti rugi atau relokasi bukanlah hal yang tabu. Lebih-lebih pemerintah sudah mempunyai pengalaman melakukan relokasi terhadap pedagang-pedagang di kawasan kota Yogyakarta, contohnya pedagang yang saat ini mendiami Pasar Klitikan, Pakuncen, atau bahkan Pedagang Pasar Kembang sendiri yang mulanya menempati lokasi di sekitar Bank Indonesia lalu pada 1970-an dipindahkan ke selatan Stasiun Tugu, dan masih ada sejumlah praktik baik yang lain.
Prinsipnya, kami dan tentunya para pedagang Pasar Kembang masih membuka diri dan bersedia terlibat dalam dialog-dialog, serta ikut bersama walikota dan jajaran pemerintahan Kota Yogyakarta merumuskan solusi bagi terpenuhinya hak pedagang Pasar Kembang, yang sudah lama menantikan keadilan dan kepastian.
Yogyakarta, 6 Agustus 2021
Hormat kami
Kuasa hukum Paguyuban Manunggal Karso
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta
Narahubung:
Yogi Zul Fadhli – LBH Yogyakarta (08995151006)
Rudi Tri Purnama – Paguyuban Manunggal Karso (0811293026)