Empat Tahun Pasca Penggusuran Pedagang Pasar Kembang, Walikota Yogyakarta Wajib Bertanggungjawab

Siaran Pers

Empat Tahun Pasca Penggusuran Pedagang Pasar Kembang, Walikota Yogyakarta Wajib Bertanggungjawab

Kemarin, Senin, 5 Juli 2021, empat tahun sudah pedagang-pedagang Pasar Kembang nasibnya terkatung-katung. Pasca diusir paksa oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI), 5 Juli 2017, pedagang yang tergabung dalam Paguyuban Manunggal Karso, telah berjuang kesana-kemari untuk memperoleh keadilan, mulai dari beberapa kali mengadakan forum dengar pendapat dengan DPRD Kota Yogyakarta hingga menyambangi kantor Pemerintah Kota Yogyakarta, tapi hingga kini tak kunjung mendapat titik terang. Walikota yang semestinya bertanggungjawab, justru acuh tak acuh. Bahkan, seperti jamak diketahui, ia menerbitkan Peraturan Walikota Nomor 51 tahun 2017, yang esensinya menghapuskan keberadaan Pasar Kembang sebagai pasar tradisional kelas IV di Yogyakarta. Terbitnya pun tak lazim, sarat dengan kejanggalan, salah satunya menggunakan surat dari PT KAI, tanggal 4 Juli 2017 sebagai pertimbangan. Imbasnya, kehidupan pedagang hancur-lebur. Sampai sekarang.

Sikap yang seperti ini, merupakan bentuk pembiaran sekaligus pengingkaran terhadap konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagai warga negara, pedagang-pedagang Pasar Kembang memiliki hak-hak asasi manusia yang semestinya dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh pemerintah. Pasal 28 A UUD 1945 telah sangat jelas mengatur kewajiban pemerintah untuk menjamin hak setiap orang untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan pada pasal 28 C UUD 1945 memaklumatkan, setiap orang memiliki hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan hak hidup sejahtera dan lahir batin. Di samping itu, terdapat pula Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang secara substansi mengatur hal yang sama, yakni setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang pada pasal 11 ayat 1 sudah amat terang mengatur kewajiban negara mengakui hak setiap orang akan suatu standar penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang cukup dan perbaikan kondisi penghidupan yang terus-menerus.

Ketentuan-ketentuan tentang hak tersebut, mutlak harus direalisasikan oleh pemerintah daerah, khususnya Walikota Yogyakarta. Dia juga tidak boleh lupa pada kewajibannya sebagai kepala daerah, yang antara lain wajib hukumnya melaksanakan UUD 1945 dan menaati seluruh ketentuan perundang-undangan.[1] Terlebih, seorang kepala daerah terikat sumpah jabatan. Saat dilantik menjadi walikota ia sudah bersumpah sesuai agama yang dianutnya, akan memenuhi kewajibannya sebagai walikota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.[2]

Sungguhpun demikian, sampai saat ini Walikota Yogyakarta belum juga menjalankan kewajibannya untuk mengamalkan UUD 1945 dan sumpah jabatannya sendiri. Belum ada kepastian tentang keberlanjutan hak pedagang untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Padahal dulu katanya pemerintah akan memikirkan nasib pedagang. Seperti diberitakan tribunnews.com, 23 Agustus 2017, Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi pernah mengatakan, pihaknya tetap memikirkan nasib pedagang Pasar Kembang.[3] Bahkan Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, mengutarakan hal serupa, pihaknya tetap akan memikirkan solusi bagi pedagang.[4] Namun, ujaran itu isapan jempol belaka. Pemerintah kota (Walikota Yogyakarta) tak pernah betul-betul punya kemauan untuk melindungi dan memenuhi hak pedagang. Dapat dibuktikan, tidak pernah ada kebijakan yang ditelurkan sebagai wujud tanggung jawab atas enyahnya fisik Pasar Kembang yang membuat hilang pekerjaan para pedagang dan berujung pada ambruknya kehidupan.

Sudah barang tentu ini bukan persoalan main-main. Pertama, Pasar Kembang jelas bukan pasar ilegal. Selain pasar ini telah berdiri sejak 1970-an, pedagang yang berada di sana –terlebih yang sudah digusur– adalah pedagang resmi yang berada di bawah pengelolaan Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta dan memiliki kartu bukti pedagang sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pasar. Para pedagang juga rutin bayar retribusi kepada pemerintah kota. Kedua, bagi pedagang Pasar Kembang, empat tahun bukan tempo yang singkat. Ia adalah masa yang panjang untuk menunggu keadilan yang tak kunjung datang. Dalam kurun waktu yang lama itu, kondisi kehidupan pedagang jelas amburadul lantaran kehilangan pencahariannya. Alhasil, kini mereka kalang kabut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mana kalau Pasar Kembang masih ada, situasi demikian tidak mungkin terjadi mengingat sebetulnya pedagang telah sejahtera.

Berdasarkan hal-hal yang di atas, kami menuntut:

  1. Walikota Yogyakarta bertanggungjawab atas hilangnya hak pedagang Pasar Kembang atas pekerjaan, rasa tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
  2. Walikota Yogyakarta menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan konkret terkait keberlanjutan hak atas pekerjaan, rasa tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin pedagang Pasar Kembang dengan memberikan kompensasi dan/atau tempat usaha baru yang layak.
  3. DPRD Kota Yogyakarta melakukan penindakkan terhadap Walikota Yogyakarta sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Yogyakarta, 6 Juli 2021

Kuasa hukum Pedagang Pasar Kembang (Paguyuban Manunggal Karso)

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta

 

Narahabung:

Yogi Zul Fadhli (08995151006)

 

[1] Lihat pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

[2] Lihat pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah Dan/Atau Wakil Kepala Daerah

[3] Pemkot Tetap Pikirkan Nasib Pedagang Sarkem, https://jogja.tribunnews.com/2017/08/23/pemkot-tetap-pikirkan-nasib-pedagang-sarkem, akses 5 Juli 2021.

[4] Ibid.