Reformasi Gagal, Demokrasi Mati, dan KPK Dihabisi

Siaran Pers

Komite Bersama Reformasi

Reformasi Gagal, Demokrasi Mati, dan KPK Dihabisi

Yogyakarta- Komite Bersama Reformasi yang beranggotakan masyarakat sipil pro-demokrasi akan berunjuk rasa di halaman Kantor Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memperingati 23 tahun reformasi, Jumat siang, 21 Mei 2021.

Demonstrasi ini ekspresi kekecewaan masyarakat sipil terhadap lemahnya pemberantasan korupsi. Dua puluh tiga tahun berlalu, reformasi menyisakan paradoks. Lembaga yang lahir karena reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi semakin lemah. Lembaga yang selama ini dikenal independen digerogoti habis-habisan.

Ketua KPK, Komisaris Jenderal Firli Bahuri memiliki beberapa catatan buruk. Firli diduga terlibat dalam kasus suap saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 2019. Firli terbukti melanggar etik dengan bergaya hidup mewah ketika pulang kampung ke Baturaja, Sumatera Selatan menggunakan helikopter. Tapi, Dewan Pengawas KPK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis.

Kasus teranyar adalah tes wawasan kebangsaan untuk alih status 75 pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara menuai polemik. Sebagian pegawai yang tidak lulus tes, misalnya penyidik senior Novel Baswedan. Novel selama ini dikenal kerap mengungkap kasus korupsi skala besar Ia membongkar korupsi Wisma Atlet terkait SEA Games 2011, korupsi pengadaan simulator uji kendaraan SIM, dan korupsi E-KTP senilai 2,3 triliun.

Terdapat sejumlah pertanyaan aneh dalam tes tersebut, misalnya pendapat pegawai tentang Partai Komunis Indonesia, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam, dan membaca doa qunut atau tidak saat menunaikan salat subuh. Ada juga pertanyaan alasan belum menikah, apa saja yang dilakukan saat pacaran, dan tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT. Sejumlah aktivis perempuan menilai pertanyaan-pertanyaan itu bernada seksis dan diskriminatif.

Tes wawasan kebangsaan ini mengukur sikap beragama dan ideologi yang dihubungkan dengan tudingan radikalisme. Tes ini mengingatkan pada pada masa Orde Baru, misalnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan proses penelitian khusus.

Upaya pelemahan KPK sebelumnya terjadi melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. UU yang melandasi lahirnya KPK disahkan semasa kepemimpinan Presiden Megawati. Peraturan itu membuat penyidik KPK tidak bisa independen. Contohnya penggeledahan kantor PDI Perjuangan karena dugaan suap anggota Komisi Pemilihan Umum yang terhambat karena menunggu izin Dewan Pengawas yang lahir karena revisi Undang-Undang.

Selain lemahnya pemberantasan korupsi, Komite Bersama Reformasi juga mengecam serangan terhadap gerakan pro-demokrasi, kriminalisasi pembela hak asasi manusia, dan kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengembalikan Indonesia kepada sentralisasi kekuasaan presiden seperti zaman Orde Baru, misalnya melalui Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law. Aturan itu melemahkan buruh, berpotensi merusak lingkungan karena memberikan karpet merah untuk investor, dan mengkriminalisasi warga dan pegiat lingkungan.

Penggunaan kekerasan dan penangkapan warga Desa Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah oleh polisi belum lama ini adalah bentuk kriminalisasi. Polisi menangkap warga dan pengacara publik tanpa alasan yang jelas disertai kekerasan dan gas air mata. Aparat seharusnya menggunakan cara musyawarah dalam menghadapi warga Desa Wadas yang menolak pembangunan Bendungan Bener dan rencana kegiatan penambangan di kawasan tersebut.

Represifnya polisi juga tergambar saat demonstrasi memperingati Hari Buruh pada 1 Mei 2021. Polisi menangkap ratusan mahasiswa di Jakarta saat aksi May Day dengan alasan bukan buruh.

Di Yogyakarta, muncul aturan yang melarang demonstrasi di kawasan Mlioboro, Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, dan Kotagede. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta bernomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka bertentangan dengan semangat reformasi 1998. Aturan yang diteken pada 4 Januari 2021 ini menghidupkan otoritarianisme ala Orde Baru karena melibatkan tentara atau militer dalam koordinasi dan pemantauan penyampaian pendapat di muka umum.

Berbagai aturan anti-demokrasi dan menggencet kalangan pro-demokrasi yang muncul di tingkat nasional dan daerah tersebut menggambarkan bahwa Presiden Joko Widodo, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan kepala daerah tidak mendengarkan aspirasi masyarakat sipil. Regulasi itu menyerang penegakan hukum, mengkriminalisasi kalangan yang kritis, melanggar hak asasi manusia, dan membuka peluang bagi koruptor.

Ironis, 23 reformasi berjalan, masa depan demokrasi Indonesia dalam bahaya dengan kembalinya wajah otoritarianisme. Reformasi gagal, demokrasi mati, dan KPK dihabisi.

Komite Bersama Reformasi menuntut agar:

1. Batalkan hasil tes janggal dan aneh, tes wawasan kebangsaan terhadap 75 pegawai KPK.
2. Copot Ketua KPK Firli Bahuri karena banyak dugaan pelanggaran etik termasuk bersinggungan dengan kebijakan TWK 75 pegawai.
3. Kembalikan penegakan hukum dan KPK yang independen.
4. Lawan aturan-aturan anti-demokrasi dan melanggar HAM, misalnya Omnibus Cipta Kerja, Pergub tentang larangan demonstrasi di Yogyakarta.

Yogyakarta, 21 Mei 2021

Komite Bersama Reformasi:

Narahubung:
Humas Komite Bersama Reformasi:
Ola: 085868429966