Pengesahan Raperda RTRW Cilacap: Kado Pahit bagi Winong di Hari Jadi Cilacap yang ke-165

Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Cilacap tahun 2011-2031 telah disahkan pada tanggal 21 Maret 2021 tepat Hari Jadi Kabupaten Cilacap. Sebagaimana “amanah” Peraturan Presiden nomor 79 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Kendal–Salatiga–Demak–Grobogan, Kawasan Purworejo–Wonosobo–Magelang–Temanggung, dan Kawasan Brebes–Tegal–Pemalang, Cilacap sebagai penopang kawasan kebutuhan energi listrik.

Tentunya itu kado pahit bagi warga Winong yang terancam digusur dari tanah kelahirannya. Warga Winong seperti makan buah simalakama. Jika dimakan, bapak yang mati. Sedangkan kalau tak dimakan, ibu yang mati. Jika warga menetap berarti berada di lingkungan yang mengancam tatanan kehidupan. Pilihan untuk pergi adalah kekalahan dalam perjuangan mempertahankan haknya sebagai manusia.

Warga Dusun Winong telah lama terpuruk dengan hadirnya PLTU Cilacap di tempat kelahirannya. Warga yang dahulunya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, kini beralih profesi. Penyebabnya adalah lahan itu digunakan untuk ekspansi PTLU Cilacap serta kekeringan akibat operasi PLTU Cilacap. Pembangunan PLTU bukan menyejahterakan warga di sekitar, tetapi malah menimbulkan berbagai dampak bagi warga.

Dengan adanya pengesahan Raperda Revisi RTRW Cilacap, warga Winong dipaksa untuk menghadapi potensi dampak penggusuran. Bahkan tidak hanya Winong, tetapi dusun-dusun lain yang lahannya diubah menjadi Kawasan Peruntukan Industri (KPI) dan wilayah di sekitar KPI.

Sebelum Raperda Revisi RTRW disahkan, warga Winong telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi rencana pengesahan raperda tersebut. Alasannya adalah raperda itu berpotensi memberikan dampak kepada Winong dan wilayah-wilayah serta warga Winong tidak dilibatkan dalam perencanaan tersebut. Selain itu, upaya yang dilakukan warga dalam rangka pelaksanaan Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam Pasal 96 ayat (1) menerangkan “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan”. Ruang yang penyampaian itu tertuang dalam ayat (2) yang berbunyi “Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengan pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi dan/atau; d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi”. Selanjutnya, masyarakat yang dimaksud adalah pihak yang mempunyai kepentingan. Dalam hal ini, Dusun Winong merupakan wilayah yang terdampak.

Pada tanggal 23 Desember 2021, warga Winong dan jaringan lainnya melakukan aksi di depan Kantor Bupati Cilacap, karena tidak dilibatkan dalam proses pembuatan RTRW. Tanggapan Pemerintah Kabupaten tidak memuaskan, akhirnya Winong memutuskan untuk melanjutkan upayanya dengan mengirimkan surat keberatan ke DPRD Cilacap pada tanggal 26 Januari 2021. Surat tersebut berisikan penolakan terhadap Raperda RTRW dengan berbagai dalihnya. Harapannya hal tersebut menjadi pertimbangan DPRD Cilacap. Selanjutnya, pada 4 Februari 2021 FMWPL juga melakukan audiensi ke DPRD Cilacap atas undangan dari pihak DPRD. Dalam pertemuan tersebut disampaikan bahwa keberatan Winong akan disampaikan kepada pemerintah pusat.

Namun, hasilnya “Sekali lagi, Kementerian ART/BPN tidak bisa mengabulkan tuntutan dari masyarakat Winong. DPRD sudah semaksimal mungkin menyampaikan aspirasi masyarakat Winong ke Kementerian. Tapi sekali lagi mohon maaf kepada masyarakat Winong, ternyata wilayah itu masuk Proyek Strategis Nasional (PSN),” kata Ketua Pansus IV DPRD Cilacap Didi Yudi Cahyadi, sebagaimana dilansir dari serayunews.com.

Alasan klasik tersebut yang selalu digaung-gaungkan. Seolah-olah dengan dalih pembangunan, nilai-nilai kemanusian dihilangkan. Parahnya, perwakilan daerah tak mampu berbuat apa-apa untuk memperjuangkan warganya sendiri, yang telah diketahui tentang Winong yang menerima berbagai dampak meresahkan.

Hal itu tentu saja membuat warga kecewa. Kekecewaan tersebut berpotensi hilangnya kepercayaan warga terhadap pemimpinnya. Jika itu benar terjadi, pembangkangan sipil bisa saja muncul sebagai akibatnya. Lebih ekstremnya lagi adalah tidak mengakui adanya pemerintah. Bayangkan apabila itu terjadi, tidak menutup kemungkinan warga yang semakin sadar haknya menempuh jalan inkonstitusional. Asumsinya, selama ini telah lelah mengikuti aturan yang berlaku dan mengancam kepentingan warga.

Meninjau Kembali Kawasan Peruntuk Industri

Kawasan Peruntukan Industri (KPI) sendiri digadang-gadang akan memberikan lapangan pekerjaan bagi warga yang terdampak langsung, tentunya seperti Warga Winong. Hal itu disampaikan oleh Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji yang mengatakan pesatnya perkembangan industri di Cilacap juga diimbangi serapan kerja lokal. Dia juga menekankan jangan sampai warga asli Cilacap menjadi penonton di daerahnya sendiri, tanpa bisa ikut menikmati hasil pembangunan yang terpusat di Cilacap. Masyarakat juga didorong untuk berkreasi dan berinovasi, serta meningkatkan kapasitasnya untuk bersaing di dunia kerja(Cilacapkab.go.id, akses 24 Januari 2021).

Teori Bupati Cilacap terlihat tampak baik, hanya saja berdasarkan realita di lapangan belum tentu demikian. Misalnya, warga Winong yang bekerja di PLTU hanya hitungan jari saja. Koordinator Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) pada Oktober 2020 lalu mengatakan, ada 14 proposal yang diajukan ke PT. Sumber Segara Primadaya (S2P), hasilnya hanya satu warga yang diterima bekerja. Perlu diketahui warga yang mengajukan pekerjaan itu, karena terdesak kebutuhan hidup pada masa pandemi Covid-19.

Warga Winong terbiasa bertani, nelayan, dan menambang pasir (karena terpaksa memenuhi kebutuhan sehari-hari) tentu gagap menghadapi dunia industri yang semakin masif di tanah kelahirannya. Selain kemampuan, juga tingkat pendidikan warga yang tidak cocok dengan ruwetnya syarat untuk bekerja di perusahaan.

Bhima Yudistira dari Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memaparkan Sebanyak 55,1% tenaga kerja di Kabupaten Cilacap pada tahun 2019 tercatat hanya lulusan SD atau tidak tamat SD. Sementara lulusan SMK hanya mencapai 17% dan Universitas 7%. Yang dibutuhkan oleh pengembangan industri dan proyek PLTU adalah tenaga semi-skilled dan high-skilled labour. Gap kualifikasi background pendidikan dapat menempatkan penduduk di sekitar kawasan industri sebagai pekerja informal (tukang batu, buruh bangunan temporer, dan warung berskala kecil).  Manfaat paling besar justru dirasakan bukan oleh penduduk Cilacap tapi dari luar daerah dengan pengalaman dan background pendidikan yang lebih tinggi.

Schultz (1961) menyatakan bahwa human capital merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ekonomi di suatu negara (Afid Nurkholis, 2018:4). Todaro (2000) mengungkapkan bahwa human capital dapat diukur melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan pelatihan dapat menjadi nilai tambah seorang manusia. Hal ini dapat dijelaskan apabila semakin tinggi pendidikan seseorang atau semakin banyak mengikuti pelatihan maka kemampuan dan keterampilan yang dimiliki semakin tinggi. Sementara itu kesehatan merupakan bidang yang saling berkaitan dengan pendidikan. Pendidikan tinggi tanpa adanya tubuh yang sehat tidak akan menaikkan produktivitas. Dan pendidikan yang tinggi juga dapat memengaruhi tingkat kesadaran kesehatan seseorang.

Pendidikan dan kesehatan warga Winong tak dihiraukan oleh PT. S2P dan Pemerintah Kabupaten Cilacap. Terbukti murid SDN 03 Slarang menjadi korban polusi udara karena limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dari fly ash dan bottom ash, selain itu kebisingan SUTET (Saluran Udara Ekstra Tinggi). Padahal menurut penelitian, udara yang tercemar sangat memengaruhi skor tes verbal dan matematika. Dijelaskan pula wilayah berpolusi mengubah nilai ujian dari waktu ke waktu (nationalgeographic.grid.id, diakses 24 Januari 2021).

Berdasarkan pemaparan tersebut, pemerintah seharusnya meninjau kembali aspek-aspek agenda pembangunan yang digalakkan, termasuk memperhatikan aspek-aspek pendidikan masyarakat dan dampak industri seperti kesehatan. Hal itu mestinya akan dilakukan jika pemerintah mengabdi kepada kesejahteraan atau kepentingan rakyat. Perlu ditekankan lagi bahwa ekspansi yang seluas-luasnya belum tentu berdampak baik terhadap masyarakat, tetapi bisa sebaliknya.

 

Penulis: Asmara Dewo (Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)

Editor: Danang Kurnia Awami (Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)