Somasi terbuka Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY): Cabut Larangan Demonstrasi di Malioboro

January 19, 2021by Admin LBH Yogyakarta0

Pada 4 Januari 2021, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meneken Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Regulasi yang dialamatkan untuk mengatur urusan orang banyak, namun dibuat dengan sembunyi-sembunyi yang agaknya tanpa pelibatan rakyat ini, pada pokoknya berisi perihal pembatasan penyampaian pendapat di muka umum. Beberapa kawasan, ditetapkan sebagai zona terlarang. Temponya pun dibatasi, cuma dibolehkan dari pukul 06.00 sampai 18.00. Laksana kado tahun baru, gubernur menghadiahkan kepada warga bingkisan yang membahayakan bagi keberlanjutan demokrasi. Beleid ini mengandung sejumlah persoalan krusial.

 

Pertama, oleh gubernur, tentara didorong kembali keluar dari barak lalu diajaknya untuk mengerjakan urusan-urusan sipil. Kalau kita periksa pergub ini, akan ada tiga area yang digarap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu wilayah koordinasi, yang mana koordinasi dilangsungkan sebelum, saat dan setelah pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, kemudian wilayah pemantauan pelaksanaan dan terakhir wilayah evaluasi yang terbagi dua, evaluasi kebijakan serta evaluasi pelaksanaan kebijakan. Sebenarnya, pelibatan serdadu dalam lingkungan sipil menggambarkan pembelotan terhadap mandat reformasi 1998. Seperti kita ketahui, pasca reformasi, fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada kredo dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sudah dihapuskan. Artinya, tugas prajurit hanya terkait dengan pertahanan dan tidak lagi terlibat urusan sosial politik. Lagi pula, ihwal ini diatur eksplisit dalam konstitusi, Undang-Undang Dasar (1945), pasal 30 ayat 3 yang mengemukakan: TNI yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Akan tetapi, dari Yogyakarta yang istimewa, rezim militerisme itu dihidupkan lagi. Tentu ini pelanggaran konstitusi.

 

Kedua, dengan menggunakan kedok pariwisata, gubernur menutup diri dari kontrol publik. Kalau kita baca, pergub ini memakai keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 Tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata sebagai konsiderasinya. Oleh karena itu, gubernur mengukuhkan paling tidak lima tempat pantangan unjuk rasa, yakni istana negara Gedung Agung, keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, keraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede dan Malioboro dengan radius 500 meter dari pagar atau titik terluar. Celakanya, jantung kekuasaan yang hakikatnya pemali kalau luput dari pengawasan rakyat, terletak di sejumlah lokasi tersebut. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DIY dan kantor Pemda Provinsi DIY sendiri, yang dibangun dengan duit rakyat, berada di kawasan Malioboro. Pada masa yang akan datang, berbarengan dengan dikosongkannya sentral kekuasaan dari aktivitas demonstrasi, tekad rakyat untuk mengantarkan suaranya otomatis tertutup. Tatkala saluran aspirasi disegel, sebetulnya pemerintahan –utamanya gubernur– sedang memamerkan rupa aslinya sebagai penguasa yang anti kritik.

 

Berkaitan dengan itu, sesungguhnya gubernur secara bersengaja dan terencana melakukan penyangkalan terhadap asas kedaulatan rakyat. Sebab prinsipnya, segala hukum, peraturan-peraturan negeri yang merupakan kebijakan publik haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, yang karena itu, rakyat memiliki hak untuk terlibat dalam segala penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, seperti tertera pada pasal 28 D ayat 3, UUD 1945, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang antara lain dilakukan dengan penyampaian pendapat di muka umum. Apalagi dalam konteks penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, mestinya gubernur menomorsatukan asas keterbukaan, yang mana pemerintah wajib membuka diri terhadap hak masyarakat.

 

Kami rasa, unjuk rasa di muka umum, terlebih di instansi-instansi pemerintahan, merupakan sarana inspeksi terhadap pemerintahan. Sepanjang gubernur menggelar pemerintahannya tidak dengan cara-cara kotor, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, seharusnya tidak ada yang perlu dirisaukan dari demonstrasi di ruang-ruang publik. Tambahan pula, gubernur sendiri pernah berujar pada peringatan sewindu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK), 30 Agustus 2020, yang intinya, dengan introspeksi kritis, mengharuskan setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memiliki kelapangan dada terhadap kritisi konstruktif dari masyarakat… Hendaknya kritik itu harus diterima oleh OPD terkait dengan penuh kebesaran hati. Meskipun begitu, sebagai pemimpin daerah, gubernur tidak menunjukkan sikap konsisten, yakni satunya kata dengan perbuatan. Pergub Nomor 1 tahun 2021 yang diterbitkan gubernur, justru bertolak belakang dengan maklumat yang dilafalkannya. Pergub tersebut kentara berpotensi membungkam kritik masyarakat kepada pemerintahan.

 

Ketiga, gubernur juga melakukan pengingkaran terhadap demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia. Malahan ia menginjak-injak UUK yang dulu diperjuangkan sendiri. Kalau kita telisik, pasal 4 huruf c UUK menyebutkan, pengaturan keistimewaan provinsi DIY dilaksanakan berdasarkan asas, salah satunya demokrasi. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan asas demokrasi ialah adanya pengakuan, penghargaan dan persamaan hak asasi manusia secara universal. Di samping itu, pasal 15 ayat 1 huruf d mengutarakan, gubernur dan wakil gubernur berkewajiban diantaranya, melaksanakan kehidupan berdemokrasi. Hanya saja, pergub ini memperlihatkan, Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak memahami perannya sebagai kepala daerah, yang seharusnya ia tunduk pada norma-norma hak asasi manusia yang mengatur tentang kebebasan menyampaikan pendapat.

 

Sehubungan dengan itu, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan diakui oleh UUD 1945. Pasal 28E ayat 2 menuturkan yang esensinya, setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Sementara itu, ayat 3 mengatakan, setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat. Gubernur seolah-olah juga lupa, Indonesia memiliki ketentuan pasal 2 ayat 1 di dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang menyebutkan, setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perlu digaris bawahi, Indonesia sebagai negara pihak yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005, tidak bisa sembarangan melancarkan pembatasan kebebasan berpendapat lantaran sesuai bunyi pasal 4 ayat 1, negara hanya dapat mengambil langkah pengurangan kewajiban-kewajibannya jika negara dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang ini telah diumumkan secara resmi. Sungguhpun demikian, pembatasan hanya bisa dilakukan dengan undang-undang, bukan dengan kaidah setingkat peraturan gubernur.

 

Keempat, menurut catatan Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, pada tahun 2019, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) untuk Provinsi DIY tercatat sebesar 80,67. Angka tersebut menunjukkan penurunan 0,15 poin dibandingkan dengan angka IDI pada tahun 2018 yang besarnya mencapai 80,82. Jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2018, terdapat satu aspek yang mengalami penurunan yaitu aspek hak-hak politik. Aspek Hak-hak Politik turun menjadi 72,51. Bahkan pada penghitungan angka IDI 2019, terdapat tiga variabel yang menunjukkan adanya penurunan nilai. Ketiga variabel tersebut adalah: variabel kebebasan berpendapat, kebebasan dari diskriminasi dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Dalam hal ini, keberadaan pergub 1/2021 sama sekali bukan solusi. Sebaliknya, ia semakin memperkuat variabel merosotnya IDI di Provinsi DIY. Sudah barang tentu, ini adalah malapetaka bagi demokrasi.

 

Kelima, kami menilai pergub ini cenderung subjektif dan tidak bertumpu pada pengalaman empirik yang kuat. Sejauh ini, hampir tidak pernah terjadi unjuk rasa yang berbuntut ricuh. Aksi-aksi yang dilangsungkan oleh kelompok masyarakat sipil umpamanya, khususnya di seputar Malioboro, senantiasa berjalan adem ayem saja. Kita bisa pandang balik kisah-kisah unjuk rasa masa lalu, misal aksi damai reformasi 1998 tanggal 20 Mei 1998, aksi diam 16-an penuntasan kasus Udin setiap tanggal 16 di depan istana gedung agung, aksi peringatan hari Hak Asasi Manusia 10 Desember, aksi save KPK-save Indonesia, aksi cicak vs buaya (dukungan kepada KPK), aksi May Day tiap 1 Mei bersama buruh gendong dan pekerja rumahan, aksi Jaringan Perempuan Yogyakarta desak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di depan gedung DPRD Provinsi DIY, beberapa aksi organisasi rakyat seperti Paguyuban Becak Motor Yogyakarta (PBMY), topo pepe pedagang Pasar Kembang dan Pedagang Kaki Lima (PKL) Gondomanan di area Keraton Yogyakarta dan masih banyak lagi penyampaian pendapat di muka umum, yang seluruhnya berlangsung aman dan sentosa. Bertolak dari pengalaman empirik itu saja, dapat disimpulkan, pergub ini sangat bermasalah karena tidak mempunyai pertimbangan sosiologis yang akurat. Terkesan dibuat-buat belaka. Lagipula, andaikata ada demonstrasi yang melanggar hukum, tinggal diusut pelanggaran hukumnya melalui proses yang akuntabel, bukan lantas pukul rata dengan melarang kebebasan berpendapat dan berekspresi.

 

Keenam, pergub ini mengabaikan situasi yang lebih mendesak diurus yaitu krisis kesehatan dan ekonomi gara-gara pandemi covid-19. Dalam kondisi genting, sepatutnya gubernur fokus pada upaya-upaya yang serius mengatasi wabah, misal transparansi data. Namun alih-alih tugas itu ditunaikan, gubernur malah mempersempit ruang demokrasi dengan menerbitkan pergub yang nir partisipasi publik.

 

Berangkat dari hal-hal di atas, selepas mempelajari dan mempertimbangkan dengan seksama Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka, kami Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) mengajukan somasi dan mendesak:

 

  1. Gubernur Provinsi DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mencabut dan membatalkan segera Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka dan menghentikan segala upaya pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi.
  2. DPRD Provinsi DIY, sebagai lembaga perwakilan rakyat, hendaklah pro aktif menjalankan fungsi pengawasan kepada eksekutif melalui mekanisme yang tersedia serta menekan gubernur untuk menyudahi praktik sepihak dan sewenang-wenang terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.

 

Bila dalam rentang waktu tujuh hari sejak somasi ini dikirimkan Gubernur Provinsi DIY tidak mencabut dan membatalkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka, maka kami akan:

 

  1. Melaporkan Gubernur Provinsi DIY kepada Komnas HAM RI atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
  2. Melaporkan Gubernur Provinsi DIY kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas dugaan mal administrasi.
  3. Melaporkan Gubernur Provinsi DIY kepada Menteri Dalam Negeri RI atas dugaan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik.
  4. Mengajukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka karena bertentangan dengan UUD 1945, UU Nomor 9 tahun 1998, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik.

 

Yogyakarta, 19 Januari 2021

Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY)

 

Organisasi:

1.      LBH Yogyakarta

2.      PPLP KP

3.      AJI Yogyakarta

4.      Indonesia Court Monitoring (ICM)

5.      Walhi Yogyakarta

6.      FNKSDA Yogyakarta

7.      IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta

8.      KPR

9.      SBLP

10.  FPBI Jogja

11.  Serikat Mahasiswa Indonesia Yogyakarta

12.  FPPI Pimkot Yogyakarta

13.  PBHI Yogyakarta

14.  Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta

15.  Jogja Darurat Agraria

16.  Anti Tank

17.  Solidario

18.  Jampiklim

19.  Solidaritas Pangan Jogja

20.  Warga Berdaya

21.  Buku Bergerak

22.  Jogja Corruption Watch

23.  IDEA Yogyakarta

24.  Komite Bersama Reformasi (KBR)

25.  Social Movement Institute

26.  Kaham UII

27.  Pusham UII

28.  Pasar Gratis Jogja

29.  Paguyuban Sindu Tolak Asat

30.  IMM FH UMY

31.  DPAW

32.  LBH Pers Yogya

33.  Zaenur Rohman PUKAT UGM

34.  KEBUNKU yogyakarta

35.  Front Perjuangan Rakyat Yogyakarta

36.  FAM – J

37.  BEM KM UMY

38.  Jaringan Perempuan Yogyakarta

39.  Aliansi Jogja Sahkan RUU-PKS

 

Narahubung:

 

  1. Tri Wahyu KH (087738557595)
  2. Shinta Maharani (082137190912)
  3. Himawan Kurniadi (085727818352)
  4. Yogi Zul Fadhli (08995151006)