Ditulis oleh: Ryan Akbar (APBH LBH Yogyakarta)
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar dan mutlak yang dimiliki setiap orang karena ia adalah manusia. Hak ini ada mengingat setiap orang memiliki kerentanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setiap manusia memiliki hak walaupun dalam praktik pemenuhannya sangat bervariasi dari satu negera dan negara lainnya. Hak asasi bertujuan untuk menjamin martabat manusia dan setiap orang berdasarkan hukum, bukan atas dasar kehendak, keadaan ataupun kecenderungan politik tertentu. Dengan ciri – ciri yakni; tidak dapat dicabut ataupun batalkan, berlaku universal, saling terkait satu sama lainnya dan tidak tidak dapat dipisahkan.[1]
Hak Perempuan dalam Hak Asasi Manusia (Women’s Rights Are Human Rights) bukan sekedar sebuah slogan yang dihasilkan oleh konferensi dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993. Tonggak ini menegaskan prinsip – prinsip kunci yang teramat penting bagi penegakan hak asasi perempuan, yaitu : Universality, Equality dan Non – Discrimination. Dengan 3 kunci ini konsep perlindungan HAM harus memberi tempat yang setara pada laki – laki dan perempuan, harus menghapuskan dikotomi jenis kelamin yang bersifat merendahkan (subordinasi) dan membedakan secara negatif (diskriminatif), dengan kata lain harus berpresfektif gender.[2] Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob, ICESCR) menjadi UU No.11 Tahun 2005 Dan Kovenan Internasional Hak sipil dan Politik (Hak Sipol, ICCPR) menjadi UU No. 12 Tahun 2005. Salah satunya CEDAW (Penghapusan diskriminasi perempuan).
Ratifikasi tersebut menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak – hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam peraturan perundang – undangan, baik yang masih dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai Undang Undang. Pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak – hak manusia.[3]
Konstruksi Budaya Patriarki dalam Penegakan Hukum Pidana
Posisi perempuan ketika berhadapan dengan kasus pidana seolah – olah lemah. Perempuan seringkali dipaksa untuk bertanggung jawab atas tindakan yang tidak diinginkannya. Penerapan prosedur hukum menyulitkan perempuan korban untuk membuktikan bahwa terdapat pengabaian dalam kasus – kasus yang mereka hadapi. Hukum pidana di Indonesia belum memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan korban untuk melaporkan dan memproses secara hukum perkara pidana yang mereka alami. Tindakan diskriminatif dari aparat penegak hukum dan sikap seksisme menjadi salah satu masalah yang ditemui di lapangan. Pertanyaan dan pernyataan yang menyudutkan perempuan korban justru menghambat proses hukum yang sedang diperjuangkan. Keberadaan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di kepolisian belum menjamin akses pelayanan dan belum sepenuhnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan korban untuk melaporkan perkara yang dihadapi.
Produk hukum yang bias gender tersebut berdampak pada bagaimana hukum memperlakukan perempuan korban, perempuan berada pada posisi terpojok dalam mencari keadilan. Mereka harus mengalami trauma berulang karena orang – orang disekitar tidak mempercayai apa yang mereka alami serta sikap atau perlakuan dari aparat penegak hukum yang diskriminatif.. Tidak sedikit dari perempuan korban merasa tidak mampu lagi untuk berjuang karena tidak sanggup menahan beban moral atau trauma yang dialaminya.
Aparat penegak hukum sebagai bagian dari struktur hukum seharusya menambah wawasan untuk menghentikan perilaku diskriminasi terhadap perempuan korban.. Reformasi hukum yang berupaya mengakomodasi pengalaman perempuan pun diperlukan untuk menghentikan praktik hukum yang bias gender di Indonesia.[4]
Perlindungan Hak Asasi Perempuan Dalam Jeratan Pidana
Perempuan yang berhadapan dengan hukum umumnya akan menghadapi aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender. Perempuan korban sering dianggap sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya tindak pidana karena cara berpakaian, bahasa tubuhnya, relasi sosial, status perkawinan, pekerjaan atau karena keberadaanya pada waktu dan lokasi tertentu. Perempuan juga dianggap membiarkan peristiwa/tindak pidana yang dialaminya karena ketidakberdayaannya untuk melakukan perlawanan dan dianggap mudah terbujuk dengan janji dan/atau tipu muslihat dari pelaku. Adanya persepsi bahwa perempuan menikmati atau turut serta menjadi penyebab terjadinya tindak pidana merupakan sikap menyalahkan korban (blaming the victim) dan akibatnya kuatya budaya patriarki.[5]
Kesenjangan gender muncul disebabkan adanya perbedaan peran gender antara laki dan perempuan yang bersandar pada nilai – nilai patriarki dan pengutamaan laki – laki. Ketidakadilan gender, menurut Mansour faqih, termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu : 1) Marginalisasi, atau proses pemiskinan perempuan. 2) Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam putusan politik. 3) Stereotipe atau pelebelan negatif. 4) Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (Multibeban). 5) Kekerasan (Violence). 6) Sosialisasi ideologi nilai peran gender. Semua bentuk ketidakadilan gender tidak dapat dipisah – pisahkan, karena terkait satu sama lain dan disosialisasikan, dibakukan melalui sistem politik, agama, sosial, ekonomi dan hukum.
Kesenjangan gender dalam masyarakat menurut pendekatan ini seharusnya dapat dikenal oleh hukum. Ketidakmampuan hukum dalam mengenali pola hubungan ini menyebabkan ketidakadilan. Hukum sebagai hasil dari pergumulan politik, dapat mencerminkan budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat. Oleh karenanya hukum sangat mungkin dan pada umumnya mencerminkan nilai patriarki dengan beragam konteks. Hal ini dimungkinkan karena secara empiris teori – teori hukum disusun oleh para laki – laki. Penyusunan teori hukum berdasarkan refleksi mereka sebagai laki – laki yang syarat dengan nilai – nilai maskulin. Dalam proses tersebut maka pengalaman kelompok marginal termasuk perempuan, tidak dipertimbangkan oleh pembuat hukum. Ini menunjukan bahwa hukum bukan sesuatu yang sifatnya netral. Apalagi jika produk hukum tersebut digunakan orang yang berkuasa untuk menindas orang lain.
Merespon situasi ini, muncul teori pendekatan hukum berpersfektif perempuan yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik, ekonomi dan sosial yang sering dikenal sebagai “Feminist Jurisprudence atau “Feminist Legal Theory”. Teori hukum berpersfektif perempuan menggunakan metode menggali apa yang dibutuhkan, apa yang diinginkan oleh perempuan dan mempertimbangkan segala pengalaman konkret dari perempuan.
Pendekatan ini digunakan dalam pembentukan Rancangan Undang – Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Kedua teori tersebut dapat memberikan arah bagi pembentukan peraturan yang harus mendasarkan pada pengalaman riil perempuan sebagai subjek hukum dan mereka yang mempunyai pengalaman dalam pencegahan, penanganan dan pemulihan kasus – kasus kekerasan seksual, termasuk pengalaman aparatur penegak hukum.[6]
Meskipun sudah ada Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, namun undang-undang tersebut tidak dijadikan pedoman untuk menyusun produk hukum yang menjamin hak perempuan. Saat ini masih banyak peraturan perundang – undangan yang bias gender atau yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin dari pada jenis kelamin yang lainnya. Secara spesifik CEDAW memberikan kewajiban kepada negara untuk melakukan perubahan pada peraturan perundang undangan.
Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga merupakan penghormatan atas hak asasi yang dimilikinya sebagai perempuan dan manusia. Hal ini bahkan menjadi ruang masuk (entry point) untuk memposisikan perempuan sebagai manusia yang bermartabat. Perbedaan biologis dengan laki – laki, bangunan atau konstruksi sosial atas konsep perempuan dan laki – laki, serta alasan apapun tidak dapat menjadi alasan untuk menjadikan perempuan sebagai warga kelas kedua di mana laki -laki menduduki kelas pertama.
Non diskriminasi menjadi prinsip kunci CEDAW. Hal ini ditekankan secara khusus dalam pasal 1 CEDAW yang mendefinisikan diskriminasi. Dinyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan “berarti pembedaan, ekslusi atau pembatasan apapun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang berpengaruh atau bertujuan merusak atau membatalkan pengakuan, pemenuhan atau pelaksanaan oleh perempuan, tidak terkait dengan status perkawinan, berdasarkan kesetaraan laki – laki dalam perempuan, berdasarkan hak asasi manusia Dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang lainnya”.
Negara berkewajiban sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk memastikan kesetaraan dan penghapusan diskriminasi. Meski memang hal – hal tersebut harus dilakukan juga oleh aktor non negara, tetapi menurut prisnip CEDAW hanya negara yang memiliki tanggungjawab langsung atas hal ini. Negara yang dimaksud ialah keseluruhan perangkat atau badan pemerintah dan mencakup struktur eksekutif, legislatif, dan administratif maupun unit – unit pemerintahan lokal.
Terkait dengan peran negara ini, CEDAW merusmuskan kewajiban cara dan kewajiban hasil. Kewajiban hasil berarti setiap negara wajib memastikan langkah – langkah yang dipilih dapat menghapus diskriminasi. Dengan kata lain, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan hendaklah berorientasi pada proses dan sekaligus pada hasil.
Dari sisi lain, kajian empiris tentang hukum telah membukukan banyak fakta inter- dependensi antara hukum, pranata – pranata, sosial- politik kultural, serta struktur informal lainnya. Hukum tidaklah berdiri sendiri. Hukum adalah bagian dari kompleksitas tata kehidupan. Bagi kalangan Marxian, hukum adalah epifenomenon. Bahkan tidak hanya sekedar inter-dependensi, hukum dalam banyak kasus justru sering terkooptasi oleh kekuasaan dan diperebutkan sejumlah kekuatan sosial politik ideologis dalam masyarakat.
[1] Louisa Yesami Krisnalita, Perempuan, HAM Dan Permasalahannya di Indonesia, Binamulia Hukum, Vol 7 No 1. Juli 2018.
[2] Modul Pendidikan HAM berperspektif Gender, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta.
[3] Komentar Umum Kovenan Internasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009.
[4] Jurnal Perempuan untuk pencerahan Dan kesetaraan, Yayasan Jurnal Perempuan, Vol. 23 No. 2 Mei. 2018.
[5] Ibid,,. Hlm 33
[6] Naskah Akdemik Rancangan Undang – Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Forum Pengada Layanan, 2017.