Refleksi atas Pengesahan UU Cipta Kerja serta Masa Depan HAM di Indonesia


Oleh: Danang Kurnia Awami*

Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) telah menjadi bahasan menegangkan sejak tahun 2019. RUU ini dikebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2015-2019 di masa jabatannya. Situasi ini disikapi oleh berbagai kalangan, baik mahasiswa, buruh, atau masyarakat sipil lainnya berupa aksi demonstrasi berkaitan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Alasannya, RUU tersebut dianggap isinya penyokong hidupnya krisis bagi masyarakat luas.

Sejumlah aksi besar-besaran tersebut dianggap membuahkan hasil. Meskipun hasilnya tidak memuaskan, pembahasan RUU Cipta Kerja ditunda pembahasannya. Namun, hal itu tidak berujung menyelesaikan problem yang ada. Di tahun 2020, pembahasan RUU Cipta Kerja mulai digencarkan kembali. Hal tersebut sejak dimasukkannya RUU Cipta Kerja ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Presiden menyerahkan Surat Presiden beserta Naskah Akademik dan Draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada tanggal 12 Februari 2020. DPR menerima Surat Presiden tersebut tertanggal 2 April dan tanggal 7 April disepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja (Fajri Nursyamsi, April 2020). Tepat tanggal 5 Oktober 2020, Draf RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR dengan mengabaikan masalah yang telah mengitari masyarakat selama ini. Pengesahan ini dilakukan melalui Sidang Paripurna ketuju masa persidangan I Tahun 2020-2021.

Pengesahan UU Cipta Kerja di tengah-tengah krisis ini mengundang penolakan keras dari masyarakat sipil. Aksi demonstrasi berhari-hari cukup besar dilaksanakan di beberapa wilayah. Aksi tersebut tidak dibiarkan begitu saja. Dengan dalih pandemi, aparat melarang aksi. Padahal, pemerintah sendiri telah melakukan beberapa agenda dan mempunyai rencana agenda yang tidak menghilangkan kerumunan, misalnya pemilihan umum kepada daerah (Pilkada),

Meskipun penyelenggara aksi sempat mendapat pelarangan, aksi tersebut tetap berjalan. Pada dasarnya, untuk aksi tidak memerlukan izin, tetapi pemberitahuan. Aksi-aksi di setiap di daerah dilakukan dengan mencoba mematuhi protokol kesehatan. Namun, aksi tidak terlaksana dengan baik. Massa aksi banyak yang ditangkap dan mengalami intimidasi oleh aparat dengan dalih telah merusak fasilitas umum, padahal perusakan tersebut belum dipastikan siapa yang melakukan. Hal tersebut masih menuai kontroversi.

Selain intimidasi secara fisik, massa aksi mendapat kecaman publik. Narasi yang digembor-gemborkan adalah pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan massa aksi mengenai isi RUU Cipta kerja serta draf-draf RUU Cipta Kerja yang tersebar adalah hoax. Padahal, DPR dan Pemerintah juga banyak yang tidak tahu mengenai draf pastinya.

Sejak pengesahan 5 Oktober, RUU Cipta Kerja mengalami perubahan jumlah halaman. Perubahan pertama saat perapian draf tertanggal 13 Oktober. Draf yang awalnya 905 halaman menjadi 1.035 halaman, kemudian berubah menjadi 812 halaman. Draf akhirnya masuk di sekretariat negara pada 14 Oktober untuk ditandatangani Presiden. Draf berubah lagi menjadi 1.184 halaman tertanggal 22 Oktober. Yang akhirnya, resmi diundangkan sejak 2 November. Itu pun sempat kontroversi, karena salah ketik.

Masa Depan HAM Indonesia

Fenomena di atas sebenarnya telah mencederai situasi pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Perjalanan pengesahan peraturan tersebut telah menghilangkan hak partisipasi publik dan hak menyampaikan pendapat di muka umum. Aspirasi masyarakat sebagai bentuk partisipasi tidak diserap, justru seakan-akan sengaja diabaikan. Hal itu ditambah terlihat sekali dengan pelaksanaannya di masa pandemi, yang mana pemerintah menjadikannya alat sebagai menutup ruang publik itu hingga berujung intimidasi.

Hak yang hilang selain itu adalah hak atas informasi. Yang mana ini tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan terhadap hak partisipasi. Tanpa informasi yang jelas, publik tidak bisa memberikan kritik yang pasti pula. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya draf yang beredar di publik. Negara yang harusnya memberikan kepastian informasi mengenai draf dan proses pembahasannya, alih-alih memanfaatkan kondisi ketidakpastian sebagai alat menyalahkan pihak-pihak telah menyebarkan hoax.

Hak-hak tersebut dilanggar dalam kerangkan proses pembentukan RUU Cipta Kerja atau kerangka formilnya. Hal tersebut berdampak domino pada hak-hak lainnya yang terancam akibat muatan materi dalam RUU Cipta Kerja. Kita telah ketahui bersama bahwa krisis lingkungan banyak terjadi di berbagai wilayah. Hal tersebut disebabkan oleh implementasi peraturan, baik yang tidak maksimal dan/atau peraturan yang masih dianggap bermasalah bagi kepentingan rakyat.

Misalnya, berkaitan dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kelayakan dokumen tersebut menjadi acuan diberikannya Izin Lingkungan sebagai syarat berdirinya usaha/industri besar. Pelibatan masyarakat diperlukan dalam proses penyusunan sampai penilaian. Hal tersebut saja sering kali ditemukan bahwa prosesnya belum maksimal melibatkan masyarakat terdampak. Namun, adanya UU Cipta Kerja justru menghilangkan beberapa sisi, seperti sisi penilaian yang tidak melibatkan masyarakat terdampak dan organisasi pemerhati lingkungan.

Contoh tersebut hanya satu permasalahan di dalam UU Cipta Kerja. Banyak masalah lain di dalam muatan materi UU Cipta Kerja tersebut. Bagi yang belum pernah baca, bisa membaca kajian-kajian dari organisasi masyarakat sipil, seperti YLBHI, Jatam, ICEL, dll. Krisis lingkungan yang telah terjadi di tengah masyarakat sebenarnya gambaran penghilangan hak asasi. Berbagai hak, seperti hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas sosial, dll telah tercerabut dari masing-masing pemiliknya, terutama masyarakat terdampak.

Dengan masalah-masalah itu seakan-akan UU Cipta Kerja melegalkan pelanggaran-pelanggaran yang ada sebelumnya. Selain itu, kehadiran UU Cipta Kerja ini seakan-akan upaya melanggengkan krisis lingkungan yang telah ada serta membuat krisis ini semakin parah dan tersebar luas.

Melihat berbagai permasalahan, kita bisa menyimpulkan 2 hal. Pertama, perjalanan pengesahan UU Cipta Kerja telah mendominasi masalah HAM di negeri ini pada tahun 2020 selain masalah perwujudan HAM masyarakat dalam menghadapi pandemi. Kedua, pengesahan UU yang disebut sapu jagat ini membuka gerbang potensi-potensi pelanggaran HAM selanjutnya di Indonesia.

Ruang publik kita telah benar-benar ternodai. Di era yang sudah menyuarakan hak atas pembangunan, kita yang seharusnya semakin dekat malah terasa dijauhkan. Perlu diketahui bahwa hak atas pembangunan merupakan hak asasi yang tidak dapat dicabut. Hak ini memiliki arti realisasi penuh hak untuk menentukan nasib sendiri yang mana sesuai dengan prinsip kedaulatan penuh atas kekayaan sumber daya alam. Manusia sebagai subjek pembangunan tidak boleh dilepaskan dari SDA sebagai sumber penghidupan sebaik-baiknya.

*Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta