Mungkinkah Pemulihan Ekonomi Bisa Dorong Perbaikan Iklim ?

Oleh: Danang Kurnia Awami

(Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)

Menurut Arifin, Pembangunan rendah karbon menjadi komitmen jangka panjang Indonesia. Target utama saat ini ialah menyelamatkan jiwa dan dilanjutkan pemulihan ekonomi. Ada sejumlah tantangan pemulihan ekonomi pasca pandemi ini terutama dalam mempertahankan rendahnya karbon. “Pembangunan energi terbarukan terkendala, karena harus bersaing dengan energi fosil yang harganya turun.” Ujarnya.

Kurang lebih begitu inti pernyataan dari Deputi Bidang Kemaritimin dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Arifin Rudiyanto. Kutipan tersebut saya dapatkan dari tulisan yang berjudul “Pemulihan Ekonomi Bisa Dorong Perbaikan Iklim”, halaman 8 pada koran Kompas tertanggal 29 Mei 2020. Memang tidak ada salahnya, tetapi hal itu cukup membuat saya untuk mengingat dan menelusuri jejak komitmen Indonesia terkait perubahan iklim hari ini.

Pada tanggal 30 November hingga 11 Desember 2015 telah berlangsung Pertemuan Para Negara Pihak United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Pertemuan itu diselenggarakan di Paris yang kemudian disebut sebagai Perjanjian Paris atau juga dengan istilah COP 21 UNFCCC. Perjanjian tersebut bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2⁰C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya untuk membatasinya hingga di bawah 1,5⁰C.

Hasil COP 21 UNFCCC memuat hal mitigasi; adaptasi dan loss and damages; pendanaan, transfer teknologi, dan capacity building; serta transparansi, review, dan implementasinya. Dalam hal mitigasi, masing-masing negara berupaya untuk mencapai tingkat emisi tertinggi global secepatnya. Setiap negara dituntut untuk meningkatan kontribusi dalam penurunan emisi setiap periode. Untuk penurunan tersebut, salah satunya berupa upaya dari setiap negara untuk mengurangi deforestasi dan degradasi serta pengelolaan hutan berkelanjutan.

Agenda Perjanjian Paris meminta setiap negara untuk menyampaikan komitmen atau kontribusi nasionalnya, termasuk Indonesia. Dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional, target Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerjasama Internasional dari kondisi tanpa ada aksi pada tahun 2030. Capaian itu direncanakan melalui sektor kehutanan, energi, transportasi, limbah, pertanian, dan proses industri serta penggunaan produk. Hal tersebut tertuang di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Conventionn on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Beranjak dari Perjanjian Paris tersebut, Climate Transparency menyediakan sebuah laporan berjudul “Brown to Green Report 2018” yang diunggah di website-nya. Laporan itu lengkap berisi tentang profil negara G20 terkait agenda menuju ekonomi rendah karbon. Saya menemukan secara terpisah laporan khusus berbahasa Indonesia (Brown to Green: Transisi G20 Menuju Ekonomi Rendah Karbon 2018) yang memuat pencapaian tentang Negara Indonesia. Dimana terdapat catatan buruk terhadap evaluasi capain Negara Indonesia.

Pertama, emisi CO2 dari penggunaan energi. Tercatat pada tahun 2015 bahwa total emisi gas rumah kaca (GRK) lintas sektor mencapai 937 MtCO2. Emisi GRK mengalami peningkatan 196% dari tahun 1990. Total emisi tersebut terdiri dari emisi limbah, pertanian, proses industri, energy, pelarut dan proses kimia, kehutanan, serta emisi lain. Sektor energi menyumbang paling dominan dalam hal ini. Sektor energi menyumbang 484 MtCO2 di tahun 2017. Klasifikasi berupa listrik, pemanasan, dsb yang terbesar (36%) dalam sektor energi.

Kedua, pemerintah sama sekali belum berencana lepas dari ketergantungan batu bara. Hal ini dibuktikan dengan rencana peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar 56 GW untuk kebutuhan listrik ke depan. Yang mana 26,8 GW-nya adalah pembangkit berbahan bakar batubara. Selain upaya pengurangan emisi energi, kebijakan nol deforestasi juga dinilai rendah (atau diartikan sebagai tidak ada tindakan).

Ketiga, evaluasi Climate Action Tracker (CAT) terhadap NDC menunjukkan hasil nilai “sangat tidak mencukupi”. Potensi kenaikan suhu Indonesia di tahun 2030 justru sekitar 3⁰C dan 4⁰C. Kondisi demikian tidak sesuai dengan target pembatasan kenaikan suhu di bawah 2⁰C atau 1,5⁰C. Hal ini dianggap CAT bahwa Indonesia kurang ambisius mencapai target tersebut. Penilaian serupa juga diungkapkan para ahli Climate Change Performance Index (CCPI) atau Indeks Performa Perubahan Iklim. Bahkan, para ahli menyebutkan bahwa Indonesia tidak bergerak maju, karena pemerintah tidak mengambil tindakan untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil.

Nasib Perbaikan Iklim

Awal bulan April lalu, China telah resmi mengakhiri kebijakan lockdown. Kenyataan tersebut menjadi kabar gembira. Seiring dengan hal itu, kabar tingkat polusi udara justru cukup menjadi perhatian. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) melaporkan bahwa polusi udara sejak awal Mei telah melampaui tingkat polusi sebelum pandemi melanda. Padahal, tingkat polusi udara (PM 2.5, NO2, SO2, dan ozon) sempat anjlok di bulan Februari dan awal Maret saat penerapan lockdown skala nasional.

Apakah situasi di China akan terjadi di Indonesia paska pandemi covid? Hal itu cukup berpotensi untuk terjadi. China bisa mengalami kenaikan secepat itu, karena hingga hari ini masih bergantung dengan industri energi tak terbarukan. Begitu juga dengan Indonesia, dimana jika ada penghargaan penyumbang emisi terbesar akan diberikan kepada sektor energi, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan batubara.

Awalnya, saya positive thinking terhadap agenda paska pandemi. Pandemi cukup menjadi ajang refleksi mengenai pola kehidupan bersosial dan bernegara kita. Angan-angan saya, refleksi itu juga dilakukan oleh para stakeholder. Refleksinya sampai pada ranah melihat kurang berdampaknya agenda pertumbuhan ekonomi yang diidam-idamkan selama ini. Di sisi lain juga, rencana pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan industri malah menyengsarakan rakyat. Sehinga, hal itu harapannya memicu pemerintah melakukan perubahan skema pembangunan yang lebih berdampak nyata terhadap rakyat serta tidak lupa dengan wawasan lingkungannya.

Semua itu akhirnya justru menjadi salah kaprah. DPR menjadikan pandemi sebagai kesempatan untuk membahas RUU Minerba. Tepat tanggal 12 Mei lalu, DPR telah mengesahkan RUU tersebut. RUU yang begitu meresahkan nasib perjuangan rakyat terhadap perlindungan lingkungan. Sifat dari RUU ini tidak lain memberikan dukungan dan jaminan terhadap industri-industri ekstraktif, termasuk batubara.

RUU ini melanggengkan ketergantungan terhadap batubara. Hal itu salah satunya terlihat dalam penambahan Pasal 83, di dalamnya mengatur Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi Batubara yang terintegrasi dengan fasilitas pembangkit listrik tenaga uap diberikan jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diberikan perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan. Jika dikorelasikan dengan catatan dalam laporan “Grown to Green Report 2018”, ketentuan dalam pasal tersebut yang mengakomodir rencana peningkatan penggunaan batu bara dalam persediaan listrik.

Atas dasar inventaris potensi masalah di atas, pikiran positif sulit dihadirkan dalam pembahasan mengenai pemulihan ekonomi yang sekaligus memberikan dorongan untuk perbaikan iklim. Saat pandemi, intensitas operasi industri tak semaksimal biasanya, kini aktivitas industri akan kembali normal dan maksimal seperti biasanya. Termasuk, industri-industri besar yang tak ramah lingkungan akan mewarnai agenda pemulihan ekonomi sekaligus potensi pemulihan polusi. Dengan demikian, pikiran tentang “perkiraan kenaikan suhu melebihi 2⁰C di tahun 2030” semakin meyakinkan.