PEREMPUAN DAN LINGKUNGAN: Tanah sebagai Tubuh Perempuan Winong

Ditulis oleh Gita Ayu Atikah (APBH LBH Yogyakarta)

Winong adalah sebuah dusun yang berada di Cilacap Jawa Tengah, tepat berada di sebelah timur PT. Sumber Segara Primadaya (PT. S2P) yang merupakan perusahaan listrik tenaga uap yang menggunakan bahan dasar batubara. Hingga saat ini terdapat tiga pembangkit yang dioperasikan oleh PT. S2P yaitu PLTU 2×300 MW yang dibangun tahun 2004, PLTU 1×660 MW yang dibangun tahun 2012, dan PLTU 1×1000 MW yang dibangun pada tahun 2016.

Operasional PLTU PT S2P menimbulkan banyak perubahan ekologi, ekonomi, sosiologi dan juga kesehatan. Perubahan tersebut diantaranya adalah pencemaran tanah, udara, dan air, serta menimbulkan kebisingan dan getaran akibat proses pengoperasian PLTU yang sangat mengganggu kenyamanan warga Winong. Debu yang merupakan hasil limbah B3 sisa pembakaran batubara mengakibatkan perubahan penyakit endemik warga sekitar seperti halnya penyakit pernapasan ISPA, paru-paru, hingga batuk berdarah yang sebagian besar korbannya adalah anak-anak dan perempuan.

Pekerjaan warga Winong yang sebelumnya adalah petani mengalami alih profesi setelah adanya alih fungsi lahan pertanian. Hal tersebut karena digunakannya sebagian tanah sawah warga untuk pembangunan PLTU yang disertai pula tercemarnya air tanah akibat kegiatan PLTU yang membuat tanah sawah di Winong tidak dapat ditanami lagi.

Perubahan kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan kesehatan masyarakat Dusun Winong begitu dirasakan utamanya oleh perempuan dan anak-anak. Hilangnya alat produksi warga Winong dan perampasan ruang hidup yang layak membuat kehidupan masyarakat Winong, utamanya perempuan Winong harus menanggung beban ganda, yaitu sebagai seorang yang harus mengurusi segala urusan rumah tangga dan juga seorang yang harus turut menjaga kelestarian ekologis yang berkelanjutan.

Bumi layaknya tubuh perempuan yang harus dilindungi. Tanah ialah daging, air adalah darah, hutan adalah urat nadi serta rambut, dan batu adalah tulang. Maka apabila menghancurkan itu semua, sama dengan menghancurkan tubuh perempuan.  Perempuan adalah yang utama berhubungan dengan air, mulai dari peran-peran domestik hingga kebutuhan reproduksinya. Seperti pada saat haid, melahirkan, saat mengurus anak-anak, dan bahkan saat menjalankan kehidupan sehari-hari di dalam pemenuhan kebutuhan domestiknya sangat berkaitan dengan keperluan air bersih, sehingga membutuhkan air bersih yang lebih banyak.

Ilmu dan teknologi yang mendukung pembangunan saat ini bersifat memihak gender. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dan tidak mengedepankan kebutuhan dan pandangan perempuan pada alam, maka pembangunan dalam hal ini adalah potret penghancuran pada bumi. Dampak kerusakan dan kemunduran ekologi yang menimpa perempuan lebih terasa dibandingkan dengan yang dirasakan laki-laki.

Secara kasat mata korban dalam pembangunan baik laki-laki maupun perempuan adalah sama tidak ada beda. Pembangunan PLTU yang sangat minim oleh partisipasi publik, alih-alih menjelaskan dampak pembangunan, bahkan meminta izin pembangunan pada masyarakat Winong pun juga tidak. Arah dan pelaksanaan pembangunan ditentukan secara sepihak oleh perusahaan dan pemerintah tanpa mengikutsertakan peran masyarakat, sehingga pembangunan PLTU tidak dapat dikatakan berkeadilan. Kemudian kerusakan ekologi dan dampak industri memunculkan ancaman langsung terhadap kehidupan sehari-hari dan tanggungjawab khusus dibebankan kepada perempuan. Perempuan menerima relasi antara penindasan patriarkal dan perusakan alam yang mengatasnamakan pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi belaka.

Hilangnya ruang hidup yang layak dan minimnya penghasilan, membuat perempuan dibuat untuk bergantung pada laki-laki. Pembagian kerja secara seksualitas yang ada saat ini seharusnya juga diubah. Laki-laki dan perempuan seharusnya saling berbagi tanggung jawab dalam produksi dan pemeliharaan kehidupan dalam makna yang luas, seperti memelihara rumah dan mengurus anak untuk memberikan dukungan emosional yang bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan semata tetapi laki-laki juga mempunyai tanggung jawab yang serupa sehingga mempersempit kesempatan bagi laki-laki untuk melakukan tindakan destruktif.

Jika kemudian laki-laki juga harus bertanggungjawab penuh dalam mengurus kehidupan maka menjadi kewajiban bagi mereka untuk merubah identitas mereka. Tidak hanya itu, masyarakat baru juga harus menghilangkan semua hubungan patriarki, kekerasan dan militeristik, seperti mendefinisikan kembali konsep ‘perkerjaan’ sehingga semua pekerjaan termasuk pekerjaan ibu rumah tangga, petani, pengrajin dianggap berharga. Begitupula dengan konsep ‘pekerjaan produktif dan produktivitas’ yang harus dibebaskan.

Hampir sebagian ibu-ibu di Winong adalah berkegiatan sebagai ibu rumah tangga, hal ini menjadi sangat penting untuk memperkuat dan mengorganisasi ibu rumah tangga di Winong yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tidak militan dan sulit diorganisasi, padahal jika dilihat secara kuantitas mereka adalah mayoritas. Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengorganisasi perempuan menjadi hal yang penting, dengan harapan manfaatnya juga bisa dirasakan oleh kaum perempuan.

Perempuan sebagai pioneer yang selalu terkait erat dengan lingkungan, dan anak selalu menjadi korban utama atau dampak kerusakan lingkungan. Perempuan harus dipakai sebagai untuk mengisi ‘indikator’ pembangunan. Ada beberapa persoalan yang sering diabaikan karena sering tidak terlihat, seperti kontribusi alam. Perempuan dalam teori ekonomi yang dominan menempatkan tugas mencari nafkah dan kerja-kerja domestik perempuan sebagai kerja yang tidak bernilai, yang kemudian berdampak negatif dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi terhadap perempuan, anak-anak dan lingkungan yang sebagian besar tidak dijadikan sebagai pertimbangan dan catatan.

Ekofeminisme tidak hanya mengartikan bahwa hanya perempuanlah yang akan mengatasi segala kerusakan ekologi yang diakibatkan oleh sistem kapitalis-patriarki laki-laki. Peran laki-laki untuk mulai bersama-sama, dalam tindakan, bertanggung jawab terhadap kehidupan dan pemeliharaan kehidupan di bumi ini. Oleh karena itu, maka laki-laki harus mulai melakukan refleksi untuk mendefinisikan kembali identitas mereka. Mereka harus menyudahi keterlibatannya dalam aktivitas produksi komoditas yang merusak hanya demi kepentingan akumulasi dan mulai melakukan pembagian kerja dengan perempuan dalam memelihara kehidupan. Dalam makna tindakan, mereka harus secara sukarela melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak, merawat orang tua, sedangkan salam pemeliharaan ekologi mereka harus menyehatkan kembali bumi, dalam tindakan baru.

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya yang bisa anda baca pada link berikut: Gerakan Ekofeminisme dalam memutus mata rantai patriarki