Ditulis oleh: Gita Ayu Atikah (APBH LBH Yogyakarta)
Perubahan kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan kesehatan di Dusun Winong Cilacap begitu amat dirasakan utamanya oleh kaum perempuan akibat pembangunan PLTU Batubara lebih dari satu dekade. Belum lagi akhir-akhir ini seluruh negara di dunia sedang mengalami satu kekhawatiran yang sama, yakni penyebaran Pandemi Novel Coronavirus 2019 (selanjutnya disebut COVID-19).
Dampak COVID-19 tentu sangat terasa bagi masyarakat Dusun Winong. Mereka yang biasanya leluasa untuk beraktivitas di luar rumah, sekarang harus membatasi aktivitasnya. Padahal mayoritas warganya adalah pekerja informal seperti PRT, Pembuat tempe rumahan, tukang cuci maupun penambang pasir tradisional. Saat sehari atau dua hari mereka tidak bekerja maka tidak ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.
Selain permasalahan pendapatan yang semakin tidak menentu, Warga Winong juga terhimpit kehidupannya akibat PLTU Batubara PT S2P. Di tengah gemparnya pembatasan aktivitas warga akibat COVID-19 yang kian memakan banyak korban, aktivitas Operasional PLTU ini ternyata tidak lantas dihentikan. Ya, benar PLTU PT S2P tetaplah beroperasi seperti biasanya, tidak ada pembatasan kegiatan sedikit pun. Kendaraan berat dan para pekerja tetap hilir mudik melakukan kegiatan bisnis ketenagalistrikan nasional.
Pada satu sisi, pengoperasian PLTU memang sangat dibutuhkan untuk tetap mencukupi kebutuhan listrik, namun di sisi lain hal ini membuat masyarakat Dusun Winong gelisah. Selama ini, warga dihadapkan pada polusi dan penurunan kualitas lingkungan yang tak kunjung terselesaikan, dan sekarang ditambah oleh dampak Pandemi COVID-19. Warga mulai merasa cemas karena tidak tercukupinya kebutuhan sehari-hari akibat adanya pembatasan kegiatan di luar rumah, ditambah pula kegiatan PLTU dengan polusi yang mengancam dan keluar masuknya pekerja dari luar yang berpotensi menularkan virus.
PLTU hanya berjarak tidak lebih dari 100 meter dari rumah warga. Terdapat tiga pembangkit tenaga listrik yang dioperasikan oleh PT S2P, selain limbah B3 (bahan berbahaya, dan beracun) yang dihasilkan, PLTU juga merenggut alat produksi yakni tanah yang biasa digarap warga untuk melakukan aktivitas pertanian. Hal inilah yang mengharuskan Warga Winong untuk mencari cara dan terus memutar otak agar masalah tersebut bisa teratasi atau setidaknya meminimalisir kecemasan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengahadapi Pandemi COVID-19 sesuai anjuran pemerintah. Ketersediaan masker pun kian meningkat, yang semula biasa digunakan untuk melindungi diri dari abu kotor PLTU Batubara sekarang menjadi alat yang paling wajib digunakan untuk beraktivitas di luar rumah sebagai sarana dalam mencegah penyebaran virus COVID-19 yang korbanya terus meningkat setiap harinya. Ini menjadi salah satu hal yang menyebabkan banyak pola berubah dari segi ekonomi, sosial, bahkan dari unsur yang paling terkecil yakni aktivitas serta pembagian peran di dalam rumah.
Perempuan Winong yang notabenenya lebih banyak beraktivitas di dalam rumah bahkan sebelum pandemi ini melanda, disinyalir menjadi kelompok yang paling merasakan dampaknya secara tidak proporsional. Hal ini sejalan dengan perspektif yang dikemukakan oleh UN Women, bahwa “perempuan adalah kaum yang paling merasakan dampak terbesar selama berlangsungnya Pandemi COVID-19, khusunya bagi mereka yang menerima upah harian, pemilik usaha kecil, dan mereka yang bekerja di sektor informal”. Menurut Direktur Regional UN Women Asia dan Pasifik Mohammad Naciri “Perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam upaya pemulihan jangka panjang dan menengah juga perlu dipertimbangkan”.
Menerapkan pembatasan berkegiatan di luar rumah, berarti menandakan sebagian besar waktu yang digunakan oleh masing-masing anggota keluarga ada di dalam rumah. Efeknya adalah pembagian peran belum berjalan sebagaimana mestinya. Laki-laki yang biasanya identik dengan pekerjaan di luar rumah untuk mencari nafkah, belum secara sukarela melakukan kerja domestik, dalam artian belum ikut andil dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan domestik masih sangat dilekatkan dengan pekerjaan kaum perempuan. Tatanan seperti ini yang terkadang masih sangat mengakar kuat di masyarakat. Padahal di musim pandemi seperti ini pembagian peran anggota keluarga menjadi sangat penting.
Pembagian peran yang dimaksud adalah pekerjaan yang notabenenya bersinggungan langsung dengan kegiatan rumah tangga termasuk mengasuh anak, yang mana saat ini sekolah sedang menerapkan Study From Home. Apabila sebelum merebaknya pandemi ini, pekerjaan mengurus anak masih dilekatkan oleh istri karena sang suami bekerja di luar rumah. Hal ini seharusnya tidak menjadi alasan lagi karena masing-masing anggota keluarga saat ini lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.
Laki-laki dan perempuan seharusnya saling berbagi tanggung jawab dalam produksi dan pemeliharaan kehidupan dalam makna yang luas seperti memelihara rumah dan mengurus anak bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi laki-laki juga mempunyai tanggung jawab yang serupa sehingga mempersempit kesempatan bagi laki-laki untuk melakukan tindakan destruktif. Namun pembagian peran ini sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya, waktu yang seharusnya digunakan sang suami bekerja di luar rumah, malah digunakan hanya untuk sekedar menonton televisi, bahkan belum dapat dikatakan mengambil alih untuk terlibat langsung dalam peran-peran domestik.
Belum lagi peran dalam mengurus anak dengan situasi diterapkannya Study From Home, yakni mengambil alternatif belajar atau pemberian tugas dilakukan secara online dengan belajar di rumah. Study From Home merupakan istilah yang digunakan bagi anak sekolah untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar di rumah di tengah pandemi ini berlangsung. Metode belajarnya dapat melalui aplikasi atau social media. Hal ini tentunya tidak sembarangan, peran orang tua di sini sangatlah dibutuhkan. Sang Ibu yang biasanya membantu anak mengerjakan PR kini harus melakukan pengawasan dua kali lipat, yakni sebagai guru (pemberi materi) dan sebagai pengawas untuk memastikan penggunaan gadget digunakan dengan sebagaimana mestinya. Study From Home tanpa pengawasan dan peran oran tua bisa jadi bukan langkah yang tepat bagi anak, waktu yang seharusnya digunakan anak-anak untuk belajar bukan tidak mungkin akan digunakan untuk bermain bahkan menonton televisi, dan bermain di luar seharian.
Study From Home biasanya dilakukan sama seperti jam sekolah berlangsung, dengan rentang waktu sekitar jam 08.00-15.00. Biasanya tepat pada jam itu, seorang ibu sedang melakukan aktivitas seperti beres-beres rumah, mencuci baju, masak, dll namun sejak adanya pandemi ini perannya bertambah, yakni menjadi seorang guru untuk menggantikan anak-anaknya belajar. Hal ini tentunya kurang efektif apabila dilakukan secara bersamaan, disinilah sang suami bisa mengambil alih peran tersebut. Sehingga hak anak untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar di rumah tetaplah berjalan. Dan kegiatan belajar mengajar di rumah menjadi lebih terkontrol, tanpa khawatir waktu anak digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Work From Home juga tentunya bukan solusi bagi perempuan yang masih memiliki pekerjaan di luar rumah (semisal buruh), yang kantor atau tempat kerjanya belum menerapkan WFH, tentunya akan memikul beban yang tidak proporsional di rumah. Keadaan tersebut membuat perempuan memiliki dua peran sekaligus, yakni sebagai ibu rumah tangga, serta peran publik dalam pemenuhan kehidupan rumah tangga. Belum lagi untuk tempat kerja yang tidak menerapkan menerapkan WFH karena perempuan Winong sebagian besar bekerja di Sektor Informal seperti pedagang kaki lima, buruh harian rumah tangga, dan usaha kecil menengah. Ada pula yang sudah menerapkan WFH namun berpengaruh terhadap upah yang dihasilkan, serta tidak berjalannya produksi sehingga selama WFH berlangsung tidak ada upah yang diterima. Serta perempuan yang bergerak di sektor usaha kecil menengah (salah satu contohnya adalah kelompok tempe, usaha yang dijalankan oleh ibu-ibu di Winong) mengalami penurunan pendapatan akibat munculnya pandemi ini dikarenakan menurunnya daya beli masyarakat dan naiknya harga bahan pokok pembuatan tempe, serta pasar untuk menjual hasil produksi juga semakin sulit ditemukan. Hal ini disebabkan warung langganan untuk menjual hasil produksi tempe banyak yang tutup atau memilih tidak berjualan sejak munculnya pandemi ini. Alhasil ibu-ibu kelompok tempe memilih untuk mengurangi jumlah produksi tempe setiap harinya.
Hal ini tentunya menjadi perhatian penting pemerintah terhadap dampak perekonomian jangka panjang. Ketika jutaan orang di dunia menghabiskan waktu di dalam rumah untuk melindungi diri dari COVID-19 serta diterapkannya Work From Home membuat penghasilan yang biasa dihasilkan per-kepala keluarga menjadi tidak tetap. Apalagi mereka yang bekerja sebagai buruh informal yang paling banyak terkena dampaknya. Banyaknya kebutuhan pokok, membengkaknya uang jajan anak, serta mahalnya harga alat perlindungan keluarga untuk pencegahan COVID-19 membuat perempuan (sebagai pengatur keuangan keluarga) harus memutar uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari agar semuanya tercukupi. Karena perempuanlah yang paling berdampak paling signifikan akibat kenaikan harga-harga bahan makanan pokok, membengkaknya uang jajan anak, serta alat perlindungan keluarga ketika pandemi berlangsung. Belum lagi kita tidak dapat memprediksi sampai kapan wabah ini akan berakhir.
Tidak hanya dampak ekonomi, pemerintah juga harus menjamin atas pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit yang ditimbulkan dari COVID-19, perbaikan semua aspek kesehatan dan ketersediaan alat perlindungan keluarga untuk pencegahan COVID-19, serta penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang. Bentuk perlindungan dan pemenuhan Negara mengenai HAM adalah melalui peraturan per-Undang-Undangan, yaitu dengan membuat instrumen kebijakan serta menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi COVID-19 di Indonesia.
Pandemi ini secara tidak langsung memunculkan ancaman yang berlipat-lipat bagi warga winong selain dampak yang masih ditimbul akibat tetap beroperasinya PLTU Batubara PT S2P terhadap kehidupan sehari-hari, khususnya tanggung jawab domestik masih sering melekat dan dibebankan kepada perempuan. Meski terkadang minimnya penghasilan di musim pandemi seperti ini seringkali membuat perempuan menjadi bergantung pada laki-laki. Bukan tidak mungkin perempuan juga memiliki peran strategis dalam memerangi wabah, perempuan merupakan aktor yang paling penting dan berperan dalam memutar keuangan keluarga serta kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya itu, perempuan bisa dibilang orang yang paling mengetahui kebutuhan keseharian anggota keluarganya, penggerak sosial, serta perawat bagi keluarganya. Hal ini akan berjalan lancar, tentunya dengan didukung pembagian peran yang proporsional dalam rumah tangga serta mengubah pembagian kerja secara seksualitas untuk sama-sama mencegah Pandemi COVID-19 dari unsur yang paling kecil, yakni keluaga.