Social Distancing atau Lockdown: Dampak Tetap Menimpa Buruh

Ditulis oleh: Danang Kurnia Awami (APBH LBH Yogyakarta)

 

Dua pekan lalu, kami Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sudah menerapkan Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah. Sebenarnya hari ini adalah hari habisnya masa berlakunya WFH. Namun, kebijakan ini diperpanjang sampai tanggal 14 April 2020 melalui SK yang diterbitkan oleh Direktur.

Ketidakberadaan kami di kantor, bukan berarti menjadi penghalang kami untuk tetap bekerja. Kami tetap berinteraksi untuk diskusi pekerjaan meskipun hanya melalui media sosial. Dengan pola yang seperti itu, kita bisa memperkirakan bahwa nantinya WAG yang awalnya tidak terlalu ramai menjadi sangat ramai. Hal itu memang benar adanya dan itu cukup wajar, karena yang biasanya diskusi bertatap muka kini harus diskusi serba online. Saya rasa kemungkinan besar di WAG kalian juga seperti itu. Saya juga menjamin kehadiran tema Covid-19 di tengah-tengah obrolan kalian dengan WAG.

Topik Covid-19 memang tidak bisa dihindari, karena keberhasilannya menjadi trending topic di berbagai media, bahkan sampai di WAG. Informasi tentang Covid-19 bermunculan secara masif. Beragam sekali informasi mengenai Covid-19, hampir masuk ke semua isu. Ada informasi terkait kebijakan pemerintah. Ada juga respon warga lokal menghadapi Covid-19 dengan caranya masing-masing. Ada pula pembahasan berupa keresahan-keresahan yang dialami oleh kalayak umum. Selain itu, masih banyak lagi informasi Covid-19.

Corona versi baru ini diakui sangat berbahaya. Virus yang mampu menyebar dengan cepat dan tanggap dalam menyerang manusia di berbagai benua. Negara-negara begitu tertatih-tatih bersikap untuk menanganinya. Kondisi itu disebabkan pondasi negara –baik sosial, ekonomi, atau budaya– digoyahkan oleh kehadiran Covid-19. Akibatnya adalah beberapa negara kebingungan menentukan untuk bersikap secara tepat. Sikap tepat atau tidak dan sikap cepat atau tidak yang diputuskan pemerintah akan berdampak kepada nasib rakyat. Kondisi seperti ini juga dialami oleh Pemerintah Indonesia. Sampai saat ini, kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah cukup dilematis untuk diterapkan oleh sebagian masyarakat. Contoh kebijakan tersebut adalah social distancing yang kemudian dirubah menjadi physical distancing.

Dilema Buruh di Tengah Wabah Corona

Awal Maret seperti yang kita tahu bahwa Jokowi mengimbau masyarakat untuk social distancing. Imbauan itu dikenal dengan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah. Meskipun negara-negara di luar sana telah menerapkan lockdown, keputusan pembatasan sosial yang dipilih oleh Pemerintah Indonesia dalam menanggapi adanya Covid-19.

Pilihan sikap Pemerintah Indonesia tidak berarti tanpa alasan. Seperti yang diberitakan Liputan6.com,  Wiku Adisasmito menyampaikan alasan mengapa pemerintah Indonesia tidak menerapkan lockdown adalah berkaitan dengan aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu seperti yang dilansir oleh tirto.id, Presiden Jokowi menyampaikan alasannya mengapa tidak memilih lockdown adalah setiap negara memiliki karakter, budaya, kedisiplinan yang berbeda-beda.

Presiden Jokowi mungkin bisa dikatakan belum jelas dalam menyampaikan alasanya, tetapi pernyataan Wiku Adisasmito sebagai Anggota Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 dirasa cukup. Ketika lockdown diterapkan, aktivitas perekonomian masyarakat memang terganggu. Jika perekonomian masyarakat tergangu, hal itu akan berdampak kepada perekonomian negara itu sendiri. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pasal 55 Ayat 1 menerangkan “Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggungjawab pemerintah pusat”. Sedangkan kondisi perekonomian Indonesia hari ini, pertumbuhan ekonomi  belum sesuai target dan akan terancam defisit parah akibat Covid-19.

Kebijakan pembatasan sosial yang dipilih dengan pertimbangan ekonomi masyarakat bukan berarti tidak ada masalah. Baik lockdown atau social distancing ternyata tetap berdampak pada perekonomian masyarakat. Salah satu kalangan masyarakat yang terdampak adalah pekerja di sektor informal. Pekerja ini yang begitu melekat dengan slogan “hari ini untuk hari besok”. Maksudnya, kebutuhan mereka besok terpenuhi jika kerja hari ini. Ketika mereka tidak bekerja hari ini, maka mereka tidak akan bisa memenuhi kebutuhan untuk besok. Tak kerja berarti tak dapat uang. Work From Home akan sangat susah dilakukan mereka.

Salah satu curhatan kawan di WhatsApp Group sehabis beli jajan siomay. “Anda kan enak pegawai walau gak kerja tetap terima gaji. Lah, saya nggak keliling, ya nggak makan.” Celoteh Pedagang Siomay Keliling kepadanya. Cerita pedagang Siomay Keliling ini hanya salah satu contoh, masih banyak yang mengalami hal yang sama.

Beberapa pekerja di sektor informal juga mengalami kebingungan. Mereka sebenarnya takut, tetapi kalau tidak berkeja akibatnya adalah tak bisa muncukupi kebutuhannya. Hal itu dialami oleh Sulastri, Penjual sayuran keliling, yang diberitakan kompas.id, ia mengatakan sejujurnya dirinya takut jika terjangkit Covid-19. Namun jika dia tidak berjualan, siapa yang menanggung kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Meskipun para pedagang-pedagang tetap berjualan, hal itu bukan berarti tak mengandung celah masalah. Pendapatan mereka mengalami penurunan diakibatkan oleh sepinya orang untuk berkeliaran keluar rumah. Kondisi ini yang kemudian harus dihadapi oleh para pekerja di sektor informal.

Pekerja Informal Perlu Menjadi Perhatian Pemerintah

Permasalahan di atas hanyalah sebagian kecil contoh. Jumlah pekerja di sektor informal cukup tinggi begitu juga masalah ekonomi yang dihadapinya. Para pekerja itu mendapat upah murah atau pendapatan kecil. Selain itu, mereka tidak mendapatkan jaminan sosial dari pekerjaan mereka sendiri. Sakit akan menjadi tanggungan sendiri bagi mereka. Hal ini kemudian menjadi dasar mengapa pekerja di sektor informal begitu rentan di tengah wabah Covid-19.

Badan Pusat Statistik mencatat pada Agustus 2019 bahwa pekerja di sektor informal berjumlah 70,49 juta atau 55,72%. Sedangkan di Provinsi DIY sendiri, menurut data Badan Pusat Statistik DIY pada Februari 2019, jumlahnya sebanyak 1,084 juta orang atau sebesar 50,7%. Data tersebut menunjukkan betapa banyaknya pekerja sektor informal di negara ini. Berarti bisa diperkirakan sendiri berapa yang mendapat ancaman perekonomian saat ini.

Permasalahan yang dialami oleh mereka, seharusnya pemerintah perlu tahu. Kebijakan social distancing pun juga berdampak kepada memburuknya perekonomian masyarakat. Mereka perlu dipertimbangkan untuk menjadikan sasaran bantuan oleh pemerintah di masa wabah Covid-19.  Atas pertimbangan sudah mulai berdampak nyata, maka perlu kebijakan yang cekatan.

Harapannya kasus ini bisa menjadi PR ke depan bagi pemerintah. Ketika mengeluarkan kebijakan yang berdampak ke aspek lain, maka perlu kebijakan pendukung aspek lain tersebut. Catatan bagi kebijakan pemerintah adalah tidak saling beriringan. Serta lambannya kebijakan akan memicu kepanikan di bawah, karena muncul unsur ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.