Pada 9 Maret 2020, Dinas Pariwisata Provinsi D.I. Yogyakarta, terbitkan siaran pers. Ditandatangani oleh Singgih Raharjo, selaku Kepala Dinas Pariwisata, selebaran yang hanya terdiri dari satu halaman ini berisi pokok pikiran Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta menyangkut persebaran virus corona disease (covid-19) dan bagaimana ia menyikapinya. Dari kaca matanya, di tengah dunia yang dilanda kedaruratan pandemik corona, Yogyakarta tetap aman dan siap dikunjungi wisatawan dengan produk wisata yang prima. Ia juga bikin pariwara, Yogyakarta sebagai destinasi utama pariwisata di Indonesia memiliki daya tarik wisata budaya, alam dan wisata buatan, MICE serta industri kreatif dengan 283 event pariwisata sepanjang tahun 2020. Bahkan, dipamerkan pula sejumlah penghargaan turisme yang diterima oleh Yogyakarta.
Terhadap kebijakan tersebut, perlu dan penting kami sikapi sebagai berikut:
Pertama, kami mensinyalir kebijakan Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta itu bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan dan mengesampingkan kondisi obyektif yang terjadi secara global maupun sekop nasional. Keputusan World Health Organization (WHO) yang menilai COVID-19 terkategori sebagai pandemi (https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-happen) dan terus bermunculannya warga yang suspect corona di Indonesia, mustinya diperhatikan dan disikapi dengan mengambil kebijakan yang sungguh-sungguh dan tidak setengah hati, yang diarahkan agar virus ini tidak kian merebak. Instruksi Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta Nomor 2/INSTR/2020 tentang Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Risiko Penularan Infeksi Corona Virus Disease (Covid-19) pun menjadi tak bermakna apa-apa jikalau tidak disertai dengan protokol dan prosedur operasional serta tindakan penanganan yang konkrit.
Kedua, membikin publisitas Yogyakarta aman dan siap dikunjungi wisatawan di tengah pandemi virus corona disease (covid-19) dengan menggunakan pertimbangan bahwa sampai saat ini belum ada warga masyarakat atau wisatawan di Yogyakarta yang dinyatakan positif terpapar virus corona adalah pertimbangan yang terkesan menyepelekan persoalan. Alih-alih melindungi hak atas kesehatan warga, kebijakan ini dapat meluaskan resiko tersebarnya virus corona yang malah berpotensi membesarkan jumlah korban. Ia pun malah kontradiktif dengan instruksi gubernur sendiri yang memerintahkan peningkatan kewaspadaan. Prinsip kehati-hatian semestinya diutamakan. Lagipula Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebresyesus sudah mengingatkan, negara/wilayah yang menganggap negara/wilayahnya tidak terjangkit corona adalah kekeliruan yang fatal. Tidak ada garansi pasti, turis-turis yang masuk ke Provinsi D.I. Yogyakarta steril dari virus corona. Maka, ketika sejumlah negara/daerah sudah mengetatkan, bahkan mengunci rapat pintu masuk untuk menghindari perluasan virus, Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta pun juga harus berani mencetuskan kebijakan yang serupa.
Ketiga, kebijakan yang cenderung abai terhadap keselamatan dan kesehatan warga sudah barang tentu tidak selaras dengan pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang mana setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin.. dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedangkan pasal 12 ayat 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ekosob) telah mengatur negara mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai untuk kesehatan jasmani dan rohani. Dari ketentuan tersebut negara (Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta) harus mengambil langkah pencegahan, perawatan dan pengawasan terhadap penyakit epidemik, endemik… dan penyakit lainnya (pasal 12 ayat 2 huruf c). Dalam komentar umum 14 hak standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau, negara mempunyai kewajiban inti yakni mengambil langkah-langkah pencegahan, penanggulangan dan kontrol terhadap penyakit epidemik dan endemik.
Di samping itu, bila virus corona disease (covid-19) diklasifikasikan sebagai bencana nonalam sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa epidemi dan wabah penyakit, maka kepada pemerintah daerah dilekatkan tanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang salah satunya ialah pengurangan resiko bencana (pasal 8). Penyelenggaraan penanggulangan bencana sendiri terdiri atas tiga tahap yakni prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana (pasal 33). Tahapan prabencana terdapat dua situasi, pertama dalam situasi tidak terjadi bencana dan kedua dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana (pasal 34). Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi pengurangan resiko bencana yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul (pasal 37) dan pencegahan (pasal 38). Sedangkan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana meliputi kesiapsiagaan (pasal 45), peringatan dini (pasal 46) dan mitigasi (47).
Pendek kata, dari seluruh tahapan tersebut, pemerintah daerah harus memastikan tujuan dari Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana tercapai dengan tidak mengambil tindakan yang mengurangi perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia,yaitu hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai untuk kesehatan jasmani dan rohani.
Keempat, pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta semestinya bisa belajar dari keteledoran Pemerintah Indonesia. Saat pertama virus ini muncul di China dan menyebar ke kawasan lain di negara tetangga, pemerintah menganut premis yang sama sekali keliru. Bukannya ancaman virus ini serius diantisipasi, pemerintah melalui para pejabat dan elitnya condong menyepelekan dan menyiratkan orang Indonesia kebal terhadap virus ini. Bahkan ketika itu Presiden Joko Widodo membuat arahan yang intinya kurang lebih malah melakukan peningkatan promosi untuk menyasar ceruk pasar wisman yang mencari alternatif destinasi wisata karena batal mengunjungi RRT, Korea dan Jepang. Hingga akhirnya pada 2 Maret 2020, Indonesia resmi mengakui merebaknya covid-19 dengan diumumkannya dua pasien pertama oleh Presiden Joko Widodo.
Bertolak dari hal di atas, kami memandang kebijakan Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta yang intinya mengajak wisatawan berkunjung ke Yogyakarta di tengah pandemi virus corona (covid-19) adalah kebijakan yang cenderung mengejar laba dari pariwisata dan melalaikan hal yang paling fundamental yakni, keselamatan dan kesehatan warga. Pemerintah bahkan tidak menjalankan –apalagi dengan serius- pencegahan, penanggulangan dan kontrol persebaran virus. Sikap yang demikian ini jelas berlawanan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Oleh karenanya, kami meminta kepada gubernur dan jajarannya di Pemerintahan Provinsi D.I. Yogyakarta untuk:
1. Tidak membuat kebijakan yang meletakkan keselamatan dan kesehatan warga di bawah pariwisata atau kebijakan yang mencari keuntungan ekonomi semata;
2. Tidak mengambil tindakan yang dapat meluaskan resiko tersebarnya virus corona (covid-19) yang malah berpotensi membesarkan jumlah korban;
3. Mengambil langkah pencegahan, penanggulangan dan kontrol yang diarahkan pada pengurangan resiko persebaran virus corona (covid-19) dengan kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi;
4. Membuat protokol dan prosedur operasional serta tindakan penanganan yang konkrit terhadap persebaran virus corona (covid-19) serta memastikan protokol dan prosedur tersebut berjalan dan diketahui oleh masyarakat secara luas;
5. Menyediakan informasi publik yang benar, lengkap dan rutin menyangkut penyebaran dan resiko penularan;
6. Melakukan tindakan nyata terhadap kelangkaan masker dan sabun antiseptik dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan.
Yogyakarta, 14 Maret 2020
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta