Kekerasan Seksual dalam Institusi Pendidikan

Oleh: Meila Nurul Fajriah (PBH LBH Yogyakarta)

 

Kekerasan berbasis gender khususnya yang banyak terjadi terhadap perempuan menjadi perbincangan yang semakin hari semakin memanas. Hal ini didasari pada modus ataupun cara yang selalu berkembang tanpa diikuti adanya kebijakan atas perlindungan terhadap korban dan masyarakat yang dapat mengakomodir kebutuhan mereka. Komnas Perempuan dalam Catatan tahunannya mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% pada tahun 2018 dengan jumlah pengaduan sebanyak 406.178 kasus.[1]

Data yang didapatkan ini juga memperlihatkan fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan dalam kasus perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran, cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Diluar lingkup ini, Komnas Perempuan membagi ranah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam 3 tempat; 1) kekerasan di dalam ranah personal seperti kekerasan dalam perkawinan, KDRT, dan hubungan pribadi seperti relasi pacaran, 2) kekerasan di dalam ranah publik atau komunitas yang banyak terjadi dalam lingkungan kerja, masyarakat, bertetangga, ataupun lembaga pendidikan, dan yang ke 3) adalah kekerasan di ranah Negara yang banyak terjadi pada kasus kriminalisasi dalam konflik sumberdaya alam seperti penggusuran.[2]

Kekerasan seksual dalam dunia pendidikan menjadi salah satu hal yang banyak di sorot dalam satu tahun belakangan ini; Kasus yang terjadi pada Agni (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diperkosa saat menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kasus Baiq Nuril, seorang guru Honorer di SMAN 7 Mataram yang dikriminalisasi setelah dirinya dilecehkan secara seksual oleh Kepala Sekolah tempatnya mengajar[3] dan beberapa kasus lain dalam dunia pendidikan yang terkuak di beberapa media[4] setelah kedua kasus ini mencuat ke publik. Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang modus kekerasan terhadap perempuan dalam institusi pendidikan, bagaimana otoritas menjawab permasalahan ini dan bagaimana seharusnya publik bertindak.

Modus dan pola-pola kekerasan seksual dalam institusi pendidikan

            Sebuah institusi pendidikan yang sejatinya adalah tempat tumbuh kembang peserta didik dalam urusan literasi dan pengembangan soft skill harusnya menjadi ruang yang aman bagi mereka. Tetapi, nampaknya hal ini tidak berlaku bagi para penyintas[5] kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam kasus kekerasan seksual. Kasus seperti ini nyatanya banyak terjadi di sekolah maupun Universitas dan menjadi “rahasia umum yang –sengaja- dilupakan” oleh sebagian besar pihak di dalamnya. Tidak banyak korban yang berani melapor karena stigma terhadap korban kekerasan masih sangat kuat, belum lagi jika hal ini dilakukan oleh pihak yang mempunyai kuasa lebih dalam institusi pendidikan. Selain itu, tidak adanya kebijakan bahkan sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan membuat minimnya tindak lanjut dari pelaporan-jika ada- yang masuk.

Bentuk kekerasan seksual dalam institusi pendidikan pun beragam macamnya, dari pelecehan seksual, percobaan perkosaan hingga perkosaan, serangan bernuansa seksual, eksploitasi seksual, hingga pemaksaan pernikahan antara korban perkosaan dengan pelakunya. Hal ini terjadi dibanyak tempat di Indonesia dengan pelaku yang beragam, seperti Guru, Dosen, Staff administrasi, Senior bahkan dilakukan oleh teman sendiri. Dalam institusi pendidikan ini, Dzeich dan Weiner (1990) menyebutkan adanya beberapa tipe pelecehan seksual yang sering terjadi, diantaranya adalah:[6]

  1. Tipe “Pemain-Kekuasaan” atau “quid pro quo”, di mana pelaku melakukan pelecehan untuk ditukar dengan benefit yang bisa mereka berikan karena posisi (sosial) nya, misalnya dalam memperoleh atau mempertahankan pekerjaan, mendapat nilai bagus, rekomendasi, proyek, promosi, order, dan kesempatan lain.
  2. Tipe “berperan sebagai figur Ibu/Ayah”, pelaku pelecehan mencoba untuk membuat hubungan seperti mentor dengan korbannya, sementara itu intensi seksualnya ditutupi dengan pretensi berkaitan dengan atensi akademik, profesional, atau personal. Ini merupakan cara yang sering digunakan oleh guru yang melecehkan muridnya.
  3. Tipe “Anggota Kelompok” (“geng”). Ini semacam inisiasi untuk dianggap sebagai anggota dari suatu kelompok tertentu. Misalnya, pelecehan dilakukan pada seseorang yang ingin dianggap sebagai anggota kelompok tertentu, dilakukan oleh anggota-anggota kelompok yang lebih senior.
  4. Pelecehan di tempat tertutup, yaitu pelecehan yang dilakukan oleh pelaku secara tersembunyi, dengan tidak ingin terlihat oleh siapapun, sehingga tidak ada saksi.
  5. Groper, yaitu pelaku yang suka memegang-megang anggota tubuh korban. Aksi memegang-megang tubuh ini dapat saja dilakukan di tempat umum ataupun di tempat yang sepi.
  6. Oportunis, yaitu pelaku yang mencari kesempatan adanya kemungkinan untuk melakukan pelecehan. Misalnya di tempat umum yang penuh sesak, pelaku akan mempunyai kesempatan untuk mendaratkan tangannya di bagian-bagian tubuh tertentu korban.
  7. Confidante, yaitu pelaku yang suka mengarang cerita untuk menimbulkan simpati dan rasa percaya dari korban. Sebagai contoh, korban mula-mula terbawa perasaan karena pelaku menceritakan permasalahannya. Setelah itu pelaku membawa korban pada situasi di mana si korban dipaksa untuk menjadi pelipur lara atas penderitaan yang diceritakannya
  8. Pelecehan situasional, di mana pelaku memanfaatkan situasi korban yang sedang ditimpa kemalangan. Berlainan dengan tipe sebelumnya, yang sedang ditimpa kemalangan justru adalah si korban, dan kemudian pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Misalnya, korban yang sedang sakit, korban yang mengalami cacat fisik, korban yang sedang dilanda stress karena ditinggal mati keluarganya, dsb.
  9. Pest, yaitu pelaku yang memaksakan kehendak dengan tidak mau menerima jawaban “tidak”. Pemaksaan kehendak ini dilakukan karena pelaku sangat menginginkan untuk melakukan perbuatan yang ingin dia lakukan, tidak peduli dengan perasaan korban.
  10. The Great Gallant, yaitu orang yang mengatakan komentar-komentar “pujian” yang berlebihan, tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan rasa malu pada korban. Dapat saja komentar-komentar itu justru berlawanan dengan kondisi yang sebenarnya dari si korban.
  11. Intellectual seducer, di mana pelaku mempergunakan pengetahuan dan kemampuan untuk mencari tahu tentang kebiasaan atau pengalaman korban, dan kemudian dipergunakan untuk melecehkan korban.
  12. Incompetent, yaitu orang yang secara sosial tidak kompeten dan ingin mendapatkan perhatian dari seseorang (yang tidak mempunyai perasaan yang sama terhadap pelaku pelecehan), kemudian setelah ditolak, pelaku balas dendam dengan cara melecehkan si penolak.
  13. Bentuk pelecehan seksual “Lingkungan”, yaitu yang dianggap “sexualized environment”. Ini adalah lingkungan yang mengandung obsenitas, gurauan-gurauan berbau seks, grafiti yang eksplisit menampilkan hal-hal seksual, melihat pornografi di internet, poster-poster dan obyek yang merendahkan secara seksual, dsb. Biasanya hal ini tidak dituj ukan secara personal pada seseorang, tetapi bisa menyebabkan lingkungan yang ofensif terhadap orang tertentu.

 

Payung hukum kasus kekerasan seksual dalam institusi pendidikan

Menjamurnya kasus kekerasan seksual dalam institusi pendidikan yang ada di Indonesia dengan berbagai macam modus dan bentuknya ini ternyata tidak banyak memberikan perubahan dalam sistem kebijakan institusi tersebut. Sebut saja, beberapa kasus yang terjadi pada kampus “besar” di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI)[7], Universitas Gadjah Mada (UGM)[8] dan Universitas Diponegoro (Undip)[9] Semarang yang tidak banyak memberikan perbaikan pada manajemen kampus, peraturan, pun dengan pola pikir orang-orang didalamnya. Tidaka hanya kampus besar dan Negri saja, tetapi memang tidak banyak lembaga pendidikan yang mempunyai peraturan khusus mengenai tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup institusinya, jika pun ada, biasanya hanya sebatas pada kode etik civitas akademika tanpa petunjuk pelaksana yang jelas sehingga pelaksanaanya pun terkesan serampangan dan “asal selesai”.

Dalam prakteknya, kasus kekerasan terhadap anak perempuan peserta didik biasanya diselesaikan dengan menggunakan dasar hukum Undang-undang Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Tetapi, peraturan ini hanya berlaku pada usia anak dengan batas umur dibawah 18 tahun. Untuk peserta didik yang berstatus mahasiswa dengan rentan umur 19 tahun keatas, tidak ada perlindungaan khusus terhadap mereka.

Payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia hanya terdapat pada Pasal 285 KUHP tentang pemaksaan persetubuhan dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun bagi pelakunya. Pasal ini mendefinisikan persetubuhan dengan adanya penetrasi, yang berarti jika terjadi pemaksaan persetubuhan tanpa adanya penetrasi seperti “menempelkan” kelamin, meraba bagian tubuh perempuan, mencium ataupun hal yang berbau sensual lainnya hanya didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan seperti yang diatur dalam pasal 289 KUHP tentang pencabulan dengaan hukuman penjara paling lama 9 tahun.

Dari banyaknya pengakuan penyintas, tidak banyak yang mau membawa kasus ini ke dalam ranah hukum dengan alasan dasar hukum yang tidak kuat, sanksi kepada pelaku yang tidak setimpal dan kosongnya perlindungan bagi korban. Selain itu, perasaan takut karena adanya reviktimisasi dari kepolisian dan sulitnya mendapatkan bukti menjadikan para penyintas enggan untuk berhadapan dengan proses hukum.

Diluar dari proses hukum yang berbelit-belit dan minimnya perlindungan terhadap korban, institusi seharusnya mengambil andil dalam hal ini. Tetapi dalam prakteknya, lembaga pendidikan justru abai dalam perlindungan korban, bahkan terkesan menutupi kasus yang masuk karena berkaitan dengan nama baik sekolah atau universitas.

Sebuah lembaga pemerintah di Amerika Serikat membuat penelitian tentang seberapa besar kualitas institusi pendidikan dalam melindungi korban kekerasan seksual pada tahun 2014. Penelitian yang dilakukan pada hampir 440 lembaga pendidikan tinggi juga wawancara dan diskusi dengan para pemangku kebijakan ini memperlihatkan hasil yang buruk. Dari penelitian ini terlihat bahwa hanya sedikit lembaga yang memberikan pelatihan tentang kekerasan seksual kepada pegajar, staff dan mahasiswanya. Selain itu, beberapa kampus besar sudah mulai memberlakukan sistem pengaduan online untuk kasus kekerasan seksual, tetapi sebagian besar kasus yang masuk tidak di tindaklanjuti dengan baik bahkan banyak kasus yang didiamkan. Juga, karena kesulitan penanganan kasus di tingkat kepolisian, para korban memilih untuk tidak melaporkannya.

Sedangkan disisi lain, kampus juga tidak memiliki kebijakan tersendiri maupun kebijakan yang mengatur hubungan antara institusi pendidikan dan pihak kepolisian dalam menangani kasus kekerasan seksual. Yang terakhir, penelitian ini menemukan bahwa dari sekian banyak kampus yang ada, terdapat beberapa yang memiliki kebijakan mengenai kekerasan seksual, tetapi dalam prakteknya, saat proses penanganan kasus berlangsung, korban tidak diberikan informasi yang jelas terkait keberlanjutan kasus tersebut[10].

Belajar dari apa yang terjadi di Amerika dengan hasil penelitian tersebut, Indonesia memiliki pengalaman yang sama, bahkan dapat dikatakan lebih buruk. Tidak banyak kampus yang memiliki peraturan tentang kekerasan terhadap perempuan pun pada kampus-kampus besarnya. Selain itu, beberapa contoh kasus yang disebutkan sebelumnya memperlihatkan masih rendahnya komitmen kampus dalam menyelesaikan kasus kekerasan dan melindungi para penyintas. Seperti apa yang terjadi pada kasus Agni dan pihak UGM yang berbelit-belit dalam proses penanganan kasusnya, hingga kasus yang ada dibuat sedemikian rupa sampai terjadinya proses “damai” antara kedua belah pihak.

Di Indonesia, upaya untuk menghadirkan perlindungan terhadap korban kekerasan masih banyak menemui hambatan. Pandangan bahwa kekerasan seksual disebakan oleh perempuan itu sendiri masih menjadi pemahaman umum yang sulit untuk diubah, juga dengan paham patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek dan digunakan untuk merendahkan posisi perempuan. Jika dulu terdapat pemahaman bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan berasal dari golongan miskin dan tidak perpendidikan, sekarang justru semakin beragam dan juga dilakukan oleh para terpelajar. Institusi pendidikan yang sejatinya adalah tempat bernaung para “pelajar yang terdidik” malah memperlihatkan kebodohannya sendiri dalam melindungi peserta didiknya.

Insititusi pendidikan harus mulai berbenah diri. Banyaknya kasus yang mulai mencuat ke publik seharusnya memberikan tamparan untuk segera berubah. Upaya perlindungan korban dapat dimulai dari dalam dengan menyusun kebijakan sebagai permulaannya. Kebijakan yang baik pun, harus dibuat dengan pemahaman yang baik pula, yaitu pemahaman yang adil gender dan memprioritaskan upaya perlindungan bagi korban.

 Tulisan ini juga pernah dipublikasikan oleh Jurnal Bantuan Hukum Edisi 01-2019 terbitan YLBHI

————————————————————————————————-

[1]https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/catatan-tahunan-2019-komnas-perempuan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat

[2] Komnas Perempuan, 2018, Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Poplisme,Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta.

[3]https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon

[4] Reportase mendalam Tirto.id tentang kekerasan seksual di Kampus, silahkan klik https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-kampus-djiR

[5] Penyintas adalah definisi yang diberikan pada mereka yang menjadi korban kekerasan. Penggunaan istilah korban dalam kaitannya dengan seseorang yang menderita akibat kekerasan terhadap perempuan dianggap kontroversial karena istilah tersebut mungkin menunjukkan “kelemahan” dan/atau “kepasifan” dan tidak mengakui kekuatan perempuan. Oleh karena itu, banyak yang lebih memilih menggunakan istilah penyintas (survivor) kekerasan.

[6] Artaria. Myrtati D, 2012, Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer, Jurnal BioKultur, Vol.1/No.1/Januari-Juni 2012 Hal. 53

[7] https://tirto.id/kampus-cenderung-menutupi-kasus-kasus-pelecehan-seksual-cNtK

[8] https://tirto.id/eh-agni-dan-ugm-yang-tak-tegas-menangani-kasus-kekerasan-seksual-dju2

[9] https://tirto.id/dosen-mesum-di-undip-ketakutan-kolektif-yang-jadi-rahasia-umum-djuj

[10] Ringkasan penelitian “Sexual Violance on Capus: How too many institutions of higher education are failing to protect students”, Di unduh pada laman https://cdn.atixa.org/website-media/o_atixa/wp-content/uploads/2012/01/18122751/Summary-of-Sexual-Violence-on-Campus-McCaskill.pdf