Investasi Subur, Rakyat Digusur

January 10, 2020by Admin LBH Yogyakarta0

Investasi Subur, Rakyat Digusur

Refleksi Kondisi Hukum Dan Hak Asasi Manusia di Provinsi D.I. Yogyakarta Dan Jawa Tengah Bagian Selatan Tahun 2019

 

Ditulis oleh: Yogi Zul Fadhli (Direktur LBH Yogyakarta)

SELAMA KURUN 2019, eskalasi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia meninggi. Perampasan ruang hidup terjadi tiada henti. Kebebasan sipil makin tersekap tak terperi. Boleh jadi saban hari, warga miksin yang buta hukum -yang dilanggar haknya- itu tidak pernah bisa tidur nyeyak layaknya para penguasa yang begitu pulas bobok di dalam istana yang berdiri pongah. Ancaman kedatangan aparat yang jahat, yang dengan alat-alat beratnya akan merampas tanah, tempat tinggal serta merusak lingkungan hidup, senantiasa menghantui. Apalagi agaknya, negara pun mulai tidak malu-malu melakukan paksaan: terjunkan polisi dan serdadu lengkap dengan pentungan dan bedilnya, menggertak dan bagi yang melawan bersiap-siaplah untuk paling kecil dikriminalisasi, dihilangkan atau dar-der dor, nyawa melayang!

 

Sungguh negara semakin zalim. Laku-laku beringas bermunculan dengan spektrum tanpa batas. Dengan menggunakan label yang terkesan adiluhung yakni pembangunan bagi ‘kepentingan umum’, mengusir –apalagi secara paksa– warga dari tanah moyangnya seolah menjadi kelumrahan. Atas nama pendekatan keamanan, mengokang senjata lantas menembak mati saat unjuk rasa adalah kewajaran dan melarang berekspresi menjadi kebiasaan. Kami mencoba merekam problematika tersebut dalam laporan ini. Oleh karena itu, laporan kami tahun ini mengangkat topik ‘Infrastruktur Subur, Rakyat Digusur’. Tema ini bertolak dari pembacaan situasi nasional dan lokal pada awal 2018, yang kala itu kami perkirakan perampasan ruang hidup, khususnya hak atas tanah dan lingkungan akan bermunculan di Provinsi D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Kondisi ini lalu diperparah dengan dikekangnya kebebasan sipil, di mana ruang publik yang mustinya bisa dijadikan wahana untuk melemparkan kritik justru dibatasi aksesnya hingga direpresi.

 

Perampasan ruang hidup (tanah dan lingkungan hidup) menjadi kasus yang cukup dominan sepanjang 2019. Dengan dikumandangkannya pariwisata sebagai sektor unggulan oleh Pemerintahan Indonesia, yang lantas dijawab oleh Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah, pembangunan infrastruktur digalakkan besar-besaran. Apalagi Presiden Joko Widodo, melalui Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional telah mencanangkan program Kawasan Strategis Nasional (KSPN) atau 10 Bali baru, yang dalam skop Provinsi D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah, menempatkan Candi Borobudur sebagai tujuan piknik yang diprioritaskan untuk mendorong supaya ekonomi terus tumbuh. Pun demikian dengan Provinsi D.I Yogyakarta, provinsi ini terus bersolek agar pelancong sudi berkunjung. Meski harus menyingkirkan hak warga.

 

Bertolak dari ide pariwisata itu dan jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2018, terdapat agenda percepatan infrastruktur transportasi, listrik dan air bersih untuk 10 KSPN prioritas, termasuk Candi Borobudur. Walhasil, untuk menyokong agenda pariwisata itu, didirikanlah Yogyakarta International Airport (YIA) Kulonprogo yang menyingkirkan tanah petani dan abai terhadap bahaya tsunami, kemudian diikuti dengan pembangunan Bendungan Bener, di Kabupaten Purworejo yang kabarnya hendak difungsikan untuk menyokong kebutuhan air di YIA Kulonprogo, pembangunan Bendungan Pasuruhan di Kabupaten Magelang, pembangunan dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru 1×600 MW dan 1×1000 MW di Kabupaten Cilacap yang mengganggu kesehatan warga, dihapuskannya status Pasar Kembang sebagai pasar tradisional hingga yang termutakhir pembangunan jalan tol Yogyakarta-Solo, Yogyakarta-Bawen yang juga merampas tanah warga. Terlebih Gubernur Provinsi D.I Yogyakarta pun sudah menyatakan, Sultan Ground dapat digunakan oleh investor. Rezim keistimewaan, yang dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan, kian memperlihatkan perangai yang berpihak kepada investasi. Watak itu sudah terejawantahkan dalam sejumlah keputusan dan tindakan. Maka, seluruh kebijakan tersebut berdampak sangat serius pada warga. Hak warga atas tanah dan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan hak asasi manusia secara jamak, jelaslah dilanggar oleh negara!

 

Berangkat dari dari berbagai peristiwa itu, kami melihat preferensi pasar yang kapitalistik telah digunakan dengan sangat radikal oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Parahnya ia menjadi sebuah paradigma politik untuk mengelola negara. Dengan kata lain, mengutip AB Widyanta, ia adalah salah satu eksemplar paling khas dari apa yang disebut David Harvey (2014) sebagai “proyek politik” di negara-negara kapitalisme pinggiran (negara yang sedang berkembang) atau fundamentalisme pasar. Implikasinya, kebijakan ekonomi berwujud pariwisata dan pembangunan infrastruktur penunjangnya (investasi) menjadi sangat destruktif dan hukum begitu represif. Dalam kaca mata kami, kebijakan ekonomi yang destruktif paling tidak memiliki ciri-ciri: 1) kebijakan yang masa bodoh dengan keberlanjutan lingkungan hidup; 2) minus partisipasi warga; dan 3) memberangus hak asasi warga. Sialnya kebijakan destruktif itu dibenarkan oleh negara dengan pendekatan hukum yang represif. Hukum represif adalah hukum yang lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan dan menafikan aspirasi publik. Nonet-Selznick menjabarkan ciri utama hukum represif: (i) kekuasaan politik mengatasi institusi hukum, sehingga kekuasaan negara menjadi dasar legitimasi, (ii) penyelenggaraan hukum dijalankan menurut perspektif penguasa dan pejabat (menempatkan ketertiban menjadi tujuan utama hukum serta mementingkan kemudahan administratif), (iii) peraturan-peraturan yang diskriminatif (bersifat keras/represif mengikat rakyat, tapi lunak terhadap penguasa), (iv) alasan pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbiter penguasa, (v) kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan, (vi) pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang jelas, (vii) moralitas dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri, (vii) kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan, (ix) partisipasi masyarakat diijinkan lewat penundukan diri, sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan (Bernard L. Tanya et.al., 2010: 207-208).

 

Investasi yang tumbuh subur, makin menunjukkan panorama Indonesia umumnya dan Provinsi D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan yang kapitalistik. Dalam negara yang kapitalistik, meminjam istilah F. Budi Hardiman di buku Dalam Moncong Oligarki, pasar loyal hanya pada uang bukan pada bangsa. Bahkan kapitalisme sejak awal tidak menyediakan dukungan untuk solidaritas/kesetiawakanan sosial. Malahan preferensi pasar merupakan skandal bagi solidaritas sosial dan membuka peluang formasi oligarki. Negara akhirnya hanya menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik-ekonomi segelintir elit saja, sementara pada saat yang sama negara justru menindas masyarakat yang lemah. Ada relasi negara dengan kapital yang saling berkelindan, yang membuat hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa ekonomi dan politik. Atas nama investasi, mereka yang papa digusur.