Catatan Persoalan Pengelolan Air di Yogyakarta

Oleh: Julian Duwi Prasetia (Pengacara Publik LBH Yogyakarta)

Selamat merayakan awal tahun baru dan libur panjang bagi wisatawan di Yogyakarta !! perayaan tahun baru dan libur panjang pasti sangat dinikmati oleh wisatawan di Yogyakarata dari berbagai daerah maupun dari berbagai negara. Hal serupa juga pasti dinikmati oleh para pengusaha perhotelan dan pusat perbelanjaan karena usahanya di sesaki oleh para wisatawan. Di sisi lain, jeritan-jeritan rakyat yang mengandalkan air dari PDAM terus bergema karena mengeluhkan akan tersedianya air di dapur mereka yang kian menipis meskipun di musim penghujan. Apa yang terjadi ?

Meskipun Undang-Undang No 7 Tahun 2004 telah di Judicial Review oleh PP Muhammadiyah karena dianggap akan memprivatisasi air, nyatanya persoalan terkait hak atas air masih belum selesai. Pergeseran makna air yang sebelumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas yang lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya berorientasi pada mencari keuntungan bagi kepentingan di sektor bisnis. Keadaan tersebut tidak terlepas fakta historis yang melatarbelakangi terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang berawal dari kebutuhan pemerintah terhadap lembaga-lembaga donor dalam pengucuran dana bantuan untuk menghadapi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, dimana salah satu syarat peminjaman dalam kesepakatan pemerintah dan Dana Moneter Internasional (IMF) yaitu adanya penyesuaian struktural (struktural adjustment). Sehingga ketika nota kesepahaman antara Republik Indonesia dan IMF ditandatangani, ada sejumlah persyaratan yang dikaitkan dengan SDA dan lingkungan hidup. Dalam laporan hasil studi Wolrd Bank tentang sumber daya air di  Indonesia perlu segera mengadakan perubahan dalam pendekatan, cara pandang dan implementasi pengelolaan sumber daya air. Beberapa perubahan itu adalah dari penyediaan air untuk pertanian, kealokasi air yang lebih merata bagi sektor-sektor lain; dari fokus pada pendekatan pasokan (supply approach) ke pendekatan pengelolaan permintaan (demand management) dan pendekatan pasokan secara seimbang. Dalam persfektif hukum kritis, politik hukum perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Perairan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air membuktikan adanya tekanan-tekanan aktor globalisasi dalam melegalkan privatisasi di Indonesia. Undang-Undang SDA telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi korporasi untuk menguasai sumber daya air melalui izin hak guna usaha. Sebagai akibatnya, hak atas air dalam konteks HAM disebut sebagai hak dasar (a fundamental right), menjadi tak terlindungi dan sulit untuk dipenuhi.

Artikel 11 dan artikel 12 International Covenant on Economic Sosial and Cultural Rights (ICESCR). Paragraf tiga komentar umum atas ketentuan artikel 11 menyebutkan bahwa pengakuan secara spesifik atas hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk pangan, sandang, dan perumahan, harus ditafsirkan termasuk di dalamnya hak atas air sebagai suatu hak atas standar kehidupan yang layak, terutama sebagai salah satu kondisi yang paling mendasar untuk bertahan hidup. Hak atas air juga terkait dengan ketentuan artikel 12 yang mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tingi yang dicapai terhadap kesehatan. Atas dasar hukum tersebut, maka hak atas air pada dasarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh air dengan cukup, aman, dapat diterima, dan dapat diakses secara fisik, serta terjangkau untuk penggunaan pribadi dan rumah tangga. Berdasarkan General Komen No 15 Tahun 2002 Tentang Hak Atas Air menyatakan bahwa,”Air adalah sumber daya alam yang terbatas dan barang publik yang fundamental untuk kehidupan dan kesehatan. Hak asasi manusia atas air sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Ini adalah prasyarat untuk realisasi hak asasi manusia lainnya. Komite terus berhadapan dengan penolakan luas atas hak atas air dalam pengembangan serta negara maju. Lebih dari 1 miliar orang tidak memiliki akses ke air bersih pasokan, sementara beberapa miliar tidak memiliki akses ke sanitasi yang memadai, yang merupakan penyebab utama kontaminasi air dan penyakit yang terkait dengan air”.

Hak atas air, seperti halnya hak asasi manusia lainnya, membebankan tiga jenis kewajiban Negara yaitu: kewajiban untuk menghormati, kewajiban untuk melindungi dan kewajiban untuk dipenuhi. Secara Konsepsional, tanggung jawab negara memenuhi hak atas air terkait dengan kedudukan hak atas air sebagai bagian dari hak Ekosob (hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan) yang berakar pada konsep kebebasan positif yang menghendaki adanya spektrum yang luas dan efektif bagi negara untuk melakukan intervensi dalam memenuhi hak ekosob. Hak demikian berbeda dengan karakter hak-hak sipil dan politik yang berakar pada konsep kebebasan negatif, yang justru tidak menghendaki adanya campur tangan negara dalam pemenuhan hak-haknya. Oleh karena itu, seharusnya dalam konteks penyediaan air pemerintah aktif menjamin tersedianya air sebagai hak dasar dan melakukan afirmasi terhadap rakyat kecil dari entitas bisnis yang lebih kuat seperti bisnis perhotelan dan pusat perbelanjaan.

Melihat pernyataan PDAM Sleman melalui twitter tertanggal 30 Desember 2019 yang merespon keluhan masyarakat, mereka mengarahkan masyarakat untuk menampung air di luar jam 06-09 pagi dan 15-21 sore dikarenakan intensitas penggunaan air sedang tinggi untuk hotel dan pusat perbelanjaan sehingga kapasitas produksi tidak mencukupi. Seolah tidak ingin mengganggu bisnis perhotelan dan pusat perbelanjaan, PDAM Sleman mengarahkan masyarakat untuk menampung air di jam tertentu dengan pernyataan “sedia payung sebelum hujan”. Mengapa demikian ? mengapa tidak ada afirmasi untuk rakyat memperoleh air ? Dari fakta tersebut sebenarnya kita dapat melihat salah satu contoh posisi negara saat ini, dimana intervensi Negara saat ini dalam pemenuhan hak atas air hanya di prioritaskan untuk kepentingan di sektor bisnis seperti bisnis perhotelan dan pusat perbelanjaan (mall). Di sisi lain kepentingan rakyat kecil akan ketersedian air menjadi prioritas nomor kesekian bagi pemerintah.