LBH Yogyakarta: Infrastruktur dan Diskriminasi Catatan Buruk 2019

December 30, 2019by Admin LBH Yogyakarta0

Yogyakarta– Lembaga Bantuan Hukum menyebut proyek infrastruktur dan diskriminasi kelompok minoritas menjadi catatan buruk sepanjang 2019.

Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menyebutkan berbagai proyek infrastruktur di Yogyakarta merampas ruang hidup masyarakat. Proyek besar itu di antaranya pembangunan Bandar Udara Internasional di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo atau Yogyakarta International Airport. Proyek bandara itu menggusur lahan pertanian warga Temon. Pembangunan bandara Kulon Progo mengabaikan analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL. Pemerintah menyodorkan AMDAL setelah Izin Penetapan Lahan. “Mitigasi bencana juga tidak diperhatikan. Padahal sudah ada penelitian, bandara Kulon Progo rawan tsunami,” kata Yogi di kantor LBH Yogyakarta, Kamis, 26 Desember 2019.

Selain itu, LBH Yogyakarta yang punya tugas melakukan kerja-kerja advokasi di Jawa Tengah bagian selatan menyebutkan proyek-proyek atas nama infrastruktur lainnya juga menjadi catatan buruk. Proyek penambangan batuan quarry di Desa Wadas, Purworejo, ekspansi PLTU Cilacap, penggusuran paksa Kentingan Baru Surakarta, pembangunan bendungan Pasuruhan Magelang, rencana penambabgan semen karst Gombong selatan.

Ihwal diskriminasi kelompok minoritas, LBH menyebut sejumlah kasus terjadi di Bantul. Diskriminasi menimpa Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu Bantul. Warga Sedayu menolak keberadaan gereja meski sudah memiliki izin mendirikan banguban atau IMB. Bupati Bantul bahkan mengeluarkan kebijakan membatalkan IMB gereja itu. Selain itu terjadi pemotongan nisan salib warga beragama Katolik di Kotagede Yogyakarta.

LBH mendata jumlah penerima bantuan hukum lembaga tersebut dan aktor pelanggar HAM. Terdapat 7.411 penerima bantuan hukum. Sedangkan aktor pelanggar HAM yakni Presiden Jokowi, perorangan, Polresta Yogyakarta, petugas Satpol PP, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, PT Semen Gombong, Pemkab Cilacap, perorangan, Pemkot Yogyakarta, dan kelompok intoleran.

Dalam catatan akhir tahun itu, LBH menghadirkan tiga orang yang menjadi korban proyek infrastruktur memberikan testimoni. Ketiganya yakni Sadinem dari Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan yang berhadapan dengan PLTU Cilacap, Suradi warga Watu Kodok Gunung Kidul yang terkena dampak investasi pariwisata, dan Mukti warga terdampak dari pembangunan bendungan di Desa Wadas, Purworejo.

Sadinem menyebutkan proyek PLTU Cilacap membawa dampak limbah B3 untuk kesehatan warga. Abu dari B3 menganggu anak-anak dan warga yanh bermukim di sekitar proyek PLTU. “Pemerintah tidak perhatikan kami yang miskin. Kami khawatir limbah B3 dampaknya merusak paru-paru kami,” kata dia.

Mukti yang terkena dampak bendungan di Wadas Purworejo menyebutkan penyusunan AMDAL proyek tersebut tidak melibatkan masyarakat Wadas. Proyek yang sudah berjalan dan mengeruk bebatuan andesit itu membuat sebagian petani kehilangan lahannya. Mereka sebagian besar menanam durian. “Kami sangat waswas. Tanah juga dihargai sangat murah, per meter Rp 60 ribu,” kata dia.

Melengkapi catatan akhir tahun itu, LBH mengundang dosen dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno dan Eko Prasetyo, aktivis Social Movement Institute yang aktif menolak pelanggaran HAM.

Eko Teguh Paripurno menjelaskan hampir semua pembangunan berisiko tidak partisipatif. Padahal, proyek pembangunan tidak boleh dilakukan tanpa ada kajian risiko bencana yang baik, yang melibatkan masyarakat sekitar proyek itu. “Kesadaran berisiko bencana minim. Perlu gerakan kontrol bersama,” kata dia.

Eko Prasetyo dari Social Movement Institute menyoroti kriminalisasi kebebasan berekspresi. Dia mencontohkan penangkapan aktivis Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu oleh polisi. “Situasinya semakin berat. Semua harus menggalang solidaritas untuk melawan kriminalisasi itu,” kata Eko.

SHINTA MAHARANI

https://nasional.tempo.co/read/1288047/lbh-yogyakarta-infrastruktur-dan-diskriminasi-catatan-buruk-2019/full&view=ok