Ditulis oleh: Ulfa Nurjannah (APBH LBH Yogyakarta)
Hutan, tanah, air, udara dan berbagai spesies yang ada didalamnya secara perlahan bergerak menuju kematian. Manusia dengan teknologinya justru menciptakan kebutuhan yang semakin lama semakin panjang daftarnya yang bermula hanya pada sandang, pangan, papan, kini menambah barisan panjang dibelakangnya seperti transportasi, tempat wisata, tempat olahraga dll, semakin tumbuh tiada hentinya. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi dijadikan sebagai maskot pembangunan yang menjadi awal dari krisis ekologi saat ini.
Alam tak hentinya dieksploitasi atas nama pembangunan dan modernisasi. Sedangkan perempuan senantiasa kehilangan hak kepemilikannya atas tanah, air, maupun vegetasi-vegetasi yang ada didalamya yang merupakan faktor mendasar dalam kehidupannya. Perempuan dan alam seringkali diartikulasikan sebagai dua hal yang sangat erat dan dekat.
Ekofeminisme mengupayakan memecahkan masalah kehidupan manusia dan alam yang berangkat dari pengalaman perempuan dan menjadikannya sebagai salah satu sumber pembelajaran dalam pengelolaan dan pelestarian alam. Hal ini juga berarti memberikan ruang (akses) yang sama (adil dan setara) bagi perempuan bersama-sama laki-laki dalam pengelolaan dan pelestarian alam. Ekofeminisme dilekatkan pada mereka yang mempunyai cara pandang feminisme dan berperan serta untuk menciptakan dunia baru yang feminis dan ekologis.
Posisi dari ekofeminis sendiri telah disebut dalam ‘Post-Victimology Stance’ (Shiva 1989) yang memercayai bahwa perempuan mampu memobilisasi pertahanan untuk lingkungan. Ekofeminis memercayai bahwa perempuan memiliki kedekatan dengan alam untuk memimpin mereka untuk bertahan dan berlindung. Ekofeminisme hadir dengan konsep (1) wanita adalah makhluk yang lembut, tidak galak, dan penuh perhatian terhadap lingkungan, termasuk dalam sastra; (2) wanita adalah pelaku sastra ekologis yang ramah lingkungan (Endraswara, 2016: 221).
Ekofeminisme ini muncul sekitar tahun 1974 dalam buku karya Francoise d’Eaubonne yang berjudul Le Feminisme ou la Mori. Dalam buku tersebut dianjurkan bahwa teori dan praktik feminisme harus memasukkan praktik ekologi dan pemecahan ekologi dan harus menyertakan perspektif feminis. Ekofeminisme menggabungkan kritik ekologi dengan kritik gender yang tertuju pada ilmu pengetahuan Barat yang berciri dualistik, cenderung didominasi teknologi, dan buta gender. Para ekofeminis menyatakan bahwa dominasi atas alam secara langsung berkaitan dengan faktor ekonomi, budaya, psikologi yang menciptakan hirarki, dan dalam praktiknya menindas perempuan serta mengeksploitasi alam. Karakteristik ide-ide maskulin seperti misalnya perang dan kekerasan, diskriminasi, pandangan etnosentrik, yang difasilitasi teknologi dan ilmu pengetahuan Barat dilihat oleh kaum ekofeminis menjadi ancaman besar atas kesinambungan alam dan lingkungan.
Seorang ilmuwan ahli fisika, feminis, dan berlatar belakang gerakan ekologis dari India yang bernama Vandana Shiva mengupayakan perlu adanya dekonstruksi terhadap dominasi prinsip maskulinitas dan menawarkan pemikiran alternatif, yaitu gabungan pemikiran ekologi dan feminisme yang disebut dengan ekofeminisme. Melalui pemikiran gerakan ekofeminisme ini, Shiva menawarkan pendekatan holistik dalam kaitannya dengan prinsip feminitas dan ekologi. Menurut Shiva, hancurnya alam berarti hancurnya prinsip feminitas. Analisis feminisme dan lingkungan bagi Shiva masih mewarisi ideologi patriarki yaitu adanya dominasi kultur kelaki-lakian yang lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (Yaqin, 2005: 112).
Perempuan selalu dikaitkan dengan alam, oleh karena itu pandangan ini berpendapat bahwa terdapat hubungan antara konseptual, simbolik, dan linguistik feminis terhadap isu ekologi. Karen J. Warren dalam Feminist Thought mengatakan bahwa keyakinan, nilai, sikap, dan asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkal yang opresif, yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara umum, serta dominasi laki-laki terhadap perempuan secara khusus. Ciri-ciri paling jelas mengenai pandangan ekofeminisme ini adalah:
Pola pikir berdasarkan nilai hirarkis. Pola pikir ini berupa memberikan nilai, status, dan prestise yang lebih tinggi kepada yang memiliki kelas lebih tinggi daripada kelas bawah.
Adanya dualisme nilai. Misalnya, pasangan yang berbeda tidak dianggap sebagai saling melengkapi namun dipandang sebagai oposisi dan eksklusif. Selain itu juga menempatkan diri lebih tinggi dibandingkan yang lain.
Memiliki logika dominasi. Dimana struktur argumentasi yang menuju kepada pembenaran adanya subordinasi.
Pemikiran ekofeminisme memiliki kelebihan, yaitu dapat membantu menyadarkan masyarakat bahwa akar penindasan terhadap alam dan perempuan bersumber pada budaya patriarki. Struktur patriarki menghancurkan lingkungan karena tidak memberikan peran secara manusiawi terhadap perempuan dan tidak memikirkan kelestarian lingkungan (Darmawati, 2002). Ekofeminisme berhasil mendekonstruksikan pola pikir patriarki yang menindas perempuan dan alam. Selain itu kajian etika ekofeminisme lebih kontekstual dan membumi sehingga hasilnya dapat dengan mudah dipahami.
Kelemahan pandangan ekofeminisme terlalu memberikan nilai tinggi pada kualitas perempuan dan bersikap apriori negatif terhadap kualitas maskulin dapat memunculkan hirarki baru. Selain itu ekofeminisme melakukan generalisasi dan universalisasi terhadap nilai-nilai feminimitas secara seragam melekat pada semua perempuan. Pada kenyataan pertumbuhan nilai lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman hidupnya.(Bernadus, 2011:117)
Gerakan Ekofeminisme dalam tataran praksis relatif banyak di dunia Barat, terutama berhubungan dengan pola pikir yang didasarkan perhatian pada alam. Walaupun begitu, para ekofeminisme sepakat bahwa fokus dari wacana lingkungan dan perempuan bukan terletak pada kedekatan antara perempuan/alam sebagai model yang lebih baik daripada budaya laki-laki/lingkungan. Maksudnya, tradisi dan nilai-nilai perempuan dianggap mempunyai nilai lebih sehingga model lingkungan hidup yang mengadopsi nilai-nilai feminis akan lebih baik bagi sistem lingkungan hidup secara keseluruhan. Sementara dalam tataran praktis gerakan ekofeminisme masih marak di Barat, sedang di Indonesia, corak gerakan ekofeminisme ini belum kuat pengaruhnya di kalangan feminis Indonesia dibandingkan pengaruh gerakan liberal dan feminisme marxis-sosialis, corak feminisme yang diusung Kartini misalnya adalah lebih dominan unsur keharmonisan antara laki-laki dan perempuan, corak feminisme Kartini lebih dekat dengan ekofeminisme, meskipun tidak identik. Dapat dikatakan, pemikiran Kartini bercorak ekofeminisme dengan nuansa Jawa-Islam. (Siti Fahimah, 2017:15)