Oleh: Yogi Zul Fadhli (Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta)
Pada 17 Mei 2019, Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 54/P tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi (pansel) Pimpinan KPK Masa Jabatan 2019-2023. Lewat Keppres itu, pansel diberikan amanat untuk salah satunya melakukan seleksi kualitas dan integritas calon pimpinan KPK. Ini artinya, pansel punya peran yang sangat krusial untuk memastikan kelak kursi komisioner lembaga anti rasuah yang didirikan pada 2002 itu tidak diisi oleh orang-orang bermasalah. Khalayak pun tentu punya harapan besar, orang-orang yang terpilih sebagai pimpinan KPK memiliki kesungguhan tekad dan nyali untuk bertarung melawan korupsi serta garang membabatnya habis tanpa kenal kata jeri.
Karena itu, supaya korupsi terus kencang diberantas, calon pimpinan berkualitas dan berintegritas menjadi kata kunci yang mustinya digarisbawahi oleh pansel, juga presiden sebagai pencetus dan penentu keputusan. Jikalau didefinisikan, berkualitas berarti mempunyai kualitas dan bermutu baik (kbbi.kemdikbud.go.id). Sedangkan berintegritas dapat dimaknai mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibaan; kejujuran. Integritas nasional berarti wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa di kehidupan bernegara (kbbi.kemdikbud.go.id). Tidak mudah memang menilai kualitas dan integritas seseorang, tapi setidaknya ada dua pertanyaan kunci yang bisa dijadikan rujukan untuk mengukurnya, yakni seberapa taat calon pimpinan KPK terhadap hukum dan bagaimana rekam jejak calon pimpinan KPK di masa lalu.
Pertama, menyangkut ketaatan capim KPK dengan hukum, dan yang paling minimum untuk menaksir hal ini ialah dengan menyisir kepatuhan dan ketertiban calon pimpinan KPK dalam melaporkan dan mengumumkan kekayaannya. Sesuai dengan ketentuan pasal 29 ayat 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002), untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan yang salah satunya bersedia mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Malahan bila meletakkan pimpinan KPK sebagai bagian dari penyelenggara negara, dapat diberlakukan pula ketentuan pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999). Pasal 5 ayat 2 dan 3 mengatur bahwasanya setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk antara lain bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat serta melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
Kedua, menyangkut rekam jejak calon pimpinan KPK. Patokan paling kecil untuk menilai baik-buruknya riwayat calon dapat menggunakan ketentuan UU 30/2002, yang mana pada pasal 29 ayat 6 dan 7 mensyaratkan pimpinan KPK harus tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan memiliki kecakapan, kejujuran, integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik. Setali tiga uang dengan norma tersebut, di dalam UU 28/1999 pasal 5 ayat 6 mengatur hal yang maknanya sama, yakni penyelenggara negara wajib melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela. Kendatipun demikian hukum
Kaidah-kaidah hukum itu menjadi indikator paling dasar untuk menelaah buah kerja pansel selama beberapa bulan terakhir, apakah capim KPK yang diseleksi dan masuk tahapan 20 besar telah memiliki kualitas dan integritas moral yang tinggi, sehingga layak menjadi pimpinan KPK?
Sekurang-kurangnya dari kabar yang santer beredar, rasa-rasanya publik harus gigit jari dengan produk kerja pansel. Alih-alih proses seleksi menelurkan orang-orang yang memenuhi harapan yang sesuai dengan moralitas publik, yang terjadi pansel justru meloloskan sejumlah nama yang bermasalah, nama-nama yang dikenal rendah bahkan tak punya kebulatan niat untuk bersikap galak terhadap perilaku lancung macam korupsi. Koalisi Kawal Calon Pimpinan KPK pun juga menilai ke 20 nama yang diumumkan lolos pada tahapan profile assesment tidak menggambarkan masa depan cerah bagi KPK. Meneruskan tinjauan Koalisi Kawal Calon Pimpinan KPK itu, dengan menggunakan pendekatan kaidah hukum sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, paling tidak ada dua aspek yang merepresentasikan buruknya hasil seleksi capim oleh pansel KPK.
Bagian pertama, ternyata terdapat calon yang tak patuh dan tertib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti dilansir oleh https://nasional.tempo.co/read/1239606/cuma-9-dari-20-capim-kpk-yang-patuhi-lapor-lhkpn-kenapa, KPK mencatat hanya 9 dari 20 capim KPK periode 2019-2023 yang lolos profile assesment yang patuh menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN) tepat waktu. Menurut Febri Diansyah, juru bicara KPK, untuk laporan periode tahun 2018 yang patuh melaporkan secara tepat waktu ada sembilan orang. Selain itu, ada lima capim KPK yang terlambat melaporkan, yang kewajibannya dari Januari sampai 31 Maret tapi baru melapor setelah itu. Bahkan ada yang mepet-mepet. Febri menambahkan, dua capim KPK bahkan tak pernah melaporkan LHKPN secara periodik. Mereka berasal dari Polri dan karyawan BUMN.
Bagi seorang penyelenggara negara, terlebih ketika kelak ia berada di tampuk kepemimpinan KPK, ketidakpatuhan dan ketidaktertiban dalam melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan tidak bisa dipandang sebagai problem sepele. Hal ini sebetulnya mengindikasikan beberapa calon tidak punya kehendak baik untuk menaati peraturan perundang-undangan, yang mustinya menjadi sebuah kewajiban. Padahal meminjam konsepsi Immanuel Kant, seseorang yang bertindak demi hukum moral berarti ia bertindak berdasarkan kewajiban sebagai pengejawantahan dari kehendak baik dan karenanya tindakan itu baik secara moral (tjahjadi, 1991:51). Oleh karena itu, ketidaktertiban dan ketidakpatuhan membuat LHKPN bukan persoalan pelanggaran hukum lahiriah (UU 30/2002 dan UU 28/1999) semata, namun juga perkara penentangan terhadap moralitas (hukum batiniah).
Penyangkalan terhadap hukum tersebut, bisa berimplikasi buruk di kemudian hari bagi KPK. Kredibilitas juga kepercayaan lembaga akan terusik. Situasi penegakan hukum berkemungkinan menjadi pelik manakala menautkan perkara ini dengan tugas KPK seperti diinstruksikan pasal 13 huruf a UU 30/2002. Perlu diketahui, KPK dalam melaksanakan tugas pencegahan mempunyai kewenangan melaksanakan langkah atau upaya yang antara lain, melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Lalu, bagaimana mungkin, seseorang yang akan memimpin institusi penegakan hukum, yang memiliki kewenangan untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara, justru tidak patuh dan tertib melaporkan kekayaannya sendiri? Dari sini saja dapat ditetapkan, sesungguhnya ada problem integritas yang belum tuntas, yang oleh pansel capim KPK kelihatannya tidak disorot sebagai suatu persoalan genting.
Aspek kedua, yang mencerminkan buruknya capim KPK hasil seleksi pansel ialah rekam jejak rupa-rupanya tak dipertimbangkan. Padahal, sudah sangat bernas, seperti diberitakan oleh https://nasional.kompas.com/read/2019/08/23/21553801/kpk-ada-capim-diduga-pernah-terima-gratifikasi-tapi-masih-diloloskan-pansel?page=all, menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, hasil penelusuran KPK ada capim KPK yang bermasalah. Selain tidak patuh dalam pelaporan LHKPN, ada pula capim KPK yang diduga menerima gratifikasi. Di samping itu, mencuplik pernyataan penasihat KPK 2017-2021, Mohammad Tsani Annafari sebagaimana dilansir oleh https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190825201712-20-424514/penasihat-kpk-ancam-mundur-jika-pelanggar-etik-jadi-pimpinan, ada capim KPK yang diduga melakukan pelanggaran etik. Meskipun Tsani tidak menyebut secara gamblang capim KPK yang pernah melakukan pelanggaran etik namun dia pernah memeriksa bukti-bukti pelanggaran etik calon yang bersangkutan dan meyakini bukti-bukti tersebut nyata. Sampai-sampai, ada pula capim yang diduga pernah melakukan intimidasi kepada salah satu penyidik KPK.
Sejak awal, rekam jejak capim KPK mustinya dijadikan sebagai pertimbangan kritis untuk menentukan siapa-siapa saja sosok yang pantas lolos tahap demi tahap. Terlebih, UU 30/2002 sudah memberikan syarat yang amat ketat bagi seorang pimpinan KPK yang diantaranya ia tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik. Pansel seyogianya menitikberatkan pada capim yang memiliki pamor baik dan tidak pernah memiliki rapot merah menyangkut pelanggaran etik maupun hukum. KPK tentu tidak bisa dipegang oleh orang sembarangan, apalagi yang mempunyai perangai kotor dan amoral. Terlebih, yang harus diingat, konsiderasi berdirinya KPK ialah untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, sehingga pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Pertanyaannya lalu, bagaimana tujuan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera itu terwujud kalau pucuk pimpinan tertinggi di KPK dipegang oleh orang-orang bermasalah ––bahkan secara moral?
Agaknya perlu diingat bahwasanya KPK lahir dari rahim reformasi. Ia menjadi lembaga yang hingga kini diyakini masih mampu menjawab problem korupsi yang terlanjur mewabah. KPK adalah lembaga yang diharapkan sanggup menyelematkan peradaban Indonesia setelah sebelumnya 32 tahun bangsa ini hidup di bawah rezim koruptif Orde Baru. Ia bagaikan oase di tengah kering-kerontangnya kerja pemberantasan korupsi oleh kepolisian, kejaksaan atau insitusi negara yang lain. Jangan sampai peradaban Indonesia hancur lantaran presiden salah memilih capim KPK.
Sekarang masa depan KPK ada di tangan Presiden Joko Widodo. Jikalau presiden masih berpegang teguh pada visi-misinya yakni penegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya yang di dalamnya terdapat agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi, maka mau tidak mau, presiden harus berani mengambil keputusan: pertama mengevaluasi total kinerja pansel capim KPK dan kedua mengeliminasi calon-calon pimpinan KPK yang bermasalah, yang tidak punya tekad serius untuk menguatkan KPK. Sebab itu, hendaklah presiden tunduk pada kehendak rakyat yang menginginkan pimpinan KPK yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan memiliki kecakapan, kejujuran, integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik sesuai dengan UU 30/2002. Presiden tidak boleh mengesampingkan kemauan rakyat dengan lebih mementingkan ambisi segolongan elit yang boleh jadi berintensi menghalangi agenda pemberantasan korupsi.
Bukankah bila mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 54/P tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi (pansel) Pimpinan KPK Masa Jabatan 2019-2023, presiden juga menghendaki pimpinan KPK yang berintegritas? Presiden harus bertanggungjawab dengan keputusan yang dibuatnya sendiri.