Debu Batubara Bukan Anugrah, Winong Tuntut Bebas dari Debu Batubara!

Ditulis oleh: Gita Ayu (APBH LBH Yogyakarta)

Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) bersama Solidaritas Mahasiswa Peduli Lingkungan, serta warga terdampak PLTU menggelar aksi Tuntut Bebas dari Debu Batubara. Aksi digelar di depan pintu gerbang PT Sumber Segara Primadaya (S2P) PLTU Cilacap pada Jumat (30/8/2019). Aksi tersebut dimulai dengan titik kumpul di Balai Grumbul Dusun Winong, dilanjut dengan long march dari Balai Grumbul Dusun Winong ke depan pintu gerbang PT S2P. Aksi ini merupakan aksi lanjutan karena permasalahan dampak lingkungan yang disebabkan pembangkit listrik berbahan bakar batubara oleh PT S2P PLTU Cilacap yang tak kunjung teratasi. Hal tersebut diakibatkan dari ketidakseriusan PLTU Cilacap untuk menyelasaikan dampak serta kurang optimalnya kontrol aparat pemerintah dan penegak hukum lingkungan dalam menjalankan fungsi pengawasan yang seharusnya disertai tindakan konsisten dan berkelanjutan.

Hasil audiensi yang dilakukan selama ini dengan pihak PT S2P Cilacap dan Bupati Cilacap tidak kunjung terealisasi, masyarakat seolah-olah dibiarkan merasakan dampak PLTU Batubara berkepanjangan. Sampai saat ini pun masih banyak terjadi masalah-masalah lingkungan pada masyarakat terdampak yang terlihat secara kasat mata, khususnya di dusun Winong. Hal ini jelas menandakan bahwa kegagalan realisasi perencanaan dan pengelolaan lingkungan oleh PT S2P PLTU Cilacap. Kegagalan tersebut ditandai dengan timbulnya permasalahan lingkungan yang tak kunjung usai.

Aksi dimulai dengan pembacaan kronologis permasalahan lingkungan yang timbul sejak dibangunnya PT S2P PLTU Cilacap, dilanjutkan dengan aksi teatrikal oleh masyarakat winong. Aksi treatrikal ini menggambarkan aktor-aktor yang dirugikan oleh dampak dari pembangunan PLTU, baik petani yang banyak mengalami gagal panen, nelayan sebagai salah satu mata pencaharian utama Dusun Winong pada saat itu dengan air laut yang belum tercemar. Selain itu ada pula siswa SD yang sekolahnya dibangun tepat dibelakang berdirinya PLTU Cilacap yang menyebabkan terhambatnya proses belajar mengajar dikarenakan steam blower serta kualitas udara yang kurang layak yang besar dampaknya terhadap kesehatan anak-anak. Setelah aksi teatrikal berlangsung, dilanjut dengan mimbar terbuka serta pembacaan tuntutan oleh Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL).

Berikut adalah point-point pernyataan sikap Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) yang disampaikan dalam aksi kepada pihak PLTU Cilacap:

  1. Menolak dan meminta penghentian aktifitas pekerjaan di ash yard / tempat penyimpanan sementara limbah B3 Batu Bara
  2. Menolak adanya aktifitas dredging
  3. Menyelesaikan seluruh kesepakan perbaikan yang sudah disepakati bersama
  4. Menghentikan penimbunan pasir yang menumpuk di belakang pemukiman warga
  5. Normalisasi saluran air di belakang pemukiman warga
  6. Melakukan penghijauan secara massif sesuai dengan tanggungjawab lingkungan

Aksi ini mendapat respon dari pihak PLTU Cilacap, mereka meminta 3 orang perwakilan warga untuk diajak diskusi bersama mengenai permasalahan serta keluhan akibat PLTU dari masyarakat khususnya Dusun Winong. Namun, warga tetap bersisikukuh agar pembahasan dilakukan saat itu juga secara transparan. Kemudian pihak PLTU yang diwakilkan oleh Manager Project (Suraji) menanggapi terkait dengan keluhan warga dan apa yang menjadi tuntutan dalam aksi tersebut.

Pihak PLTU Cilacap mengaku sudah melakukan pendekatan kepada warga (terakhir pada tanggal 12 Juli 2019 di Desa Winong), bahkan jika warga ingin bertemu dikantor sekalipun. Intinya pihak managemen PLTU Cilacap menegaskan siap kapanpun berdiskusi dengan warga apabila terjadi masalah. Pada aksi tersebut pihak PLTU juga memberikan 2 alternatif, pertama pada hari itu pun PLTU menyarankan melalui perwakilan dari warga untuk langsung berdiskusi membahas keluhan warga di dalam kantor, kedua kami siap kapanpun untuk diundang ke Dusun Winong untuk dirembuk bersama.

“Pihak PLTU menyatakan bahwa tetap melakukan usaha guna meminimalisir dampak-dampak yang ditimbulkan sesuai dengan AMDAL. Bahwa pembangunan ash yard adalah kewajiban kami untuk membangun (hal ini sesuai amanat dari AMDAL), bahwa sesuai dengan AMDAL, ash yard yang dibangun adalah TPS (Tempat Penampungan Sementara), disebut sementara dikarenakan ada pihak ketiga yang mempunyai izin akan mengambil di tempat kami, yang menjadi masalah adalah pihak ketiga tersebut dalam mengambilnya tidak selalu on time, hal ini merupakan diluar kuasa kami untuk mengontrol.” Ujar pihak PLTU sebagai klarifikasi.

Ia pun melanjutkan klarifikasinya, “Bahwa pekerjaaan dredging pasir itu hanya akan menambah pekerjaan kami, kami pun tidak mengharapkan adanya pekerjaan dredging, tapi itu semua adalah faktor alam dimana kita juga tidak bisa menolak adanya pasir tersebut di area kami. Ketika pasir itu datang ke area kami, hal itu menghambat saluran air kami, menghambat jalur tongkang batubara maka hal yang bisa kami lakukan adalah melakukan dredging. Kami pun sudah melakukan dialog dengan penambang pasir di daerah Winong. Kalau masalah abrasi kami pun juga mengalami abrasi, namun pasir tersebut kita tidak gunakan untuk PLTU, bahkan pasir itu biasanya kita buang ke tengah laut. Di sisi lain, kami juga berpikir bagaimana abrasi di sebelah timur juga bisa diatasi, lalu saya mengusulkan bagaimana kalau pasir tersebut kita tidak dredging buang ke laut, namun kita buang saja ke sisi timur dengan harapan bisa mengembalikan garis pantai.

“Bahwa saluran itu memang benar dibuat oleh PLTU, tapi sesungguhnya saluran itu dibuat juga untuk masyarakat semua. Setelah melakukan pengecekkan di lapangan permasalahannya adalah saluran itu seharusnya dibuang ke arah timur selatan dan ternyata sekarang level air laut lebih tinggi, kami sudah bantu normalisasi dengan melakukan pengerukkan, kami juga sudah berupaya melakukan perbaikan.”

“Waktu itu kita sudah diizinkan menimbun asalkan tidak melebihi batas ambang, apabila sekarang tidak diperbolehkan lagi maka saya akan hentikan. Jadi apa yang sudah ada di sana tidak akan kita tambah lagi.”

“Berbagai upaya telah dilakukan untuk normalisasi saluran air, salah satunya adalah dengan pengerukkan. Tapi kita juga butuh akses, waktu itu kami mau melakukan pengerukkan tapi alat berat kami sulit mendapat askses masuk ke sana.”

Sayangnya, klarifikasi oleh PT S2P di atas telah dibahas di dalam forum-forun audensi sebelumnya. PT S2P yang seharusnya sudah melakukan diskusi dan eksekusi penyelesaian terhadap masalah lingkungan sebulan yang lalu, hingga kini hanya sebatas janji-janji. Hal itu menjadikan warga geram dengan sikap mereka yang tidak serius. Gejolak hati warga bertambah lagi ketika mendengar kabar dari pihak Dinas Lingkungan Hidup, bahwa pelebaran ash yard yang dilakukan sekarang belum memiliki izin.