Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat menggalar aksi damai : Anti Rasisme sebagai Simbol Perjuangan dan Perlawanan
Ditulis oleh: Yoseph Momao (APBH LBH Yogyakarta)
Mahasiswa Papua Yogyakarta bersama Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Pro Demokrasi yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPB) menggelar aksi demostrasi damai di Yogyakarta pada Selasa (20/08/2019). Aksi tersebut berupa Long March dari Asrama Mahasiswa Papua Kamasan, Jalan Kusumanegara Yogyakarta menuju 0 Km. Aksi ini sebagai bentuk respon atas tindakan represif dan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) dan ormas sipil reaksioner terhadap mahasiswa Papua dan kelompok solidaritas di beberapa kota seperti di Ternate, Ambon, Malang dan Surabaya.
Di Malang, masa aksi mendapat serangan verbal dan fisik. Mereka dicaci maki menggunakan nama bintang sekaligus dipukul, dilempari oleh ormas reaksioner serta aparat berpakaian preman. Akibatnya 6 orang luka parah. Hal serupa terjadi juga terhadap mahasiswa Papua yang sedang berada di lingkungan asrama mahasiswa Papua Surabaya. Mereka dikepung oleh TNI/POLRI, Ormas, dan SATPOL PP disertai dengan perusakan fasilitas asrama seperti fiber penutup pagar asrama dan kaca asrama rusak dilempar karena dituduh telah merusak bendera merah putih dan membuangnya ke selokan tanpa adanya bukti yang jelas. Sehingga masa yang mengepung pun makin bertambah banyak, mereka meneriakan yel-yel seperti “usir Papua” dan “bunuh Papua” serta mengucapkan ungkapan rasisme pada orang papua dengan label sebutan binatang “monyet”. Setelah insiden yang terjadi di Surabaya, TNI, Intel dan Ormas juga mendatangi Asrama Papua, kos-kosan mahasiswa Papua di Semarang, Jakarta, Jember, Bali, Bogor, dan Solo. Kelompok reaksioner ditempat lain kembali mengepung asrama Papua di Makasar pada 19 Agustus di sore hari.
Rasisme dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang menimbulkan amarah bagi orang Papua karena dinilai merendahkan martabat dan harga diri orang Papua, bahkan di duniapun. Gelombang aksi protes hampir di seluruh wilayah Papua di Jayapura, Manokwari, Sorong, Kaimana, Merauke, Kepulauan Yapen, Sorong Selatan, Bintuni, dan Raja Ampat. Di manokwari aksi tersebut berujung pada pemblokiran jalan, pembakaran gedung DPRD Papua Barat dan gedung Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat serta pengrusakan beberapa fasilitas seperti toko, ruku-ruko, kios dan warung-warung. Beberapa Jalan di daerah Sorong diblokade, kantor DPRD Kota Sorong dibakar dan beberapa fasilitas bandara Domine Eduard Osok dirusak. Sampai saat ini aktifitas di manokwari dan sorong masih dalam keadan lumpuh.
Menanggapi insiden tersebut, Jhon Gobay sebagai Koordinator Lapangan Aksi PRPB mengatakan bahwa aksi solidaritas Mahasiswa Papua dan Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Pro Demokrasi ini dilakukan untuk menolak rasisme yang dilontarkan kepada rakyat papua. ”aksi ini sebagai bentuk perlawanan mahasiswa dan rakyat Papua terhadap sistem yang menindas yang tidak lain adalah kolonialisme, imperialisme dan militersime. Rasisme adalah perwujudan dari sistem itu sendiri” ungkapnya.
“Rasisme berlabel monyet terhadap orang Papua sudah menjadi bagian dari penjajahan yang berkepanjangan di Papua. Rasisme dan ucapan monyet, kami akan kenang sebagai symbol perjuangan dan perlawanan terhadap penjajahan Indonesia” ungkap Ketua Umum Alinasi Mahasiswa Papua (AMP).
“Untuk mengakhiri rasisme, maka berikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat West Papua”. Tegas Jhon
Pernyataan serupa disampaikan Rico Tude, bahwa rasisme ini sudah tumbuh subur sejak Papua dimasukan ke Indonesia hingga sampai saat ini belum terpisahkan. Penjajahan Indonesia telah mengakibatkan pembantaian terhadap orang Papua dalam rangkaian operasi militer paksa pendudukan Indonesia. Penjajahan mengakibatkan orang Papua kehilangan sumber produksi, kekayaan alam diambil keluar oleh penjajah dan pemodal, dan menciptkan ketergantungan bagi rakyat Papua.
Koordinator Umum Aksi PRPB itu mengecam pelaku pengepungan asrama kamasan Surabaya dan penyerangan aksi damai di malang, pemaksaan pemasangan spanduk dan bendera di asrama papua Semarang serta pemukulan yang berujung pada penangkapan di Ternate dan Ambon. Tangkap dan adili aktor dan intelektual pelaku dalam pengepungan asrama Kamasan Surabaya dan penyerangan aksi mahasiswa Papua di Malang.”Kecam Rico Sapaan akrapnya.
“aksi ini bukan hanya aksi spontanitas saja tetapi akan ada aksi lanjutan, dimana berupa penggelaran budaya. Tujuannya untuk melawan rasisme dan memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa rasisme dan sebutan monyet itu sama saja melukai harkat dan matabat manusia”. Tutupnya.
Setelah menyaksikan insiden yang terjadi di Papua dan Papua Barat yang pemicunya bermula dari tindakan represifitas oleh TNI/POLRI, dan Ormas di Malang serta provokasi dan rasisme dengan sebutan “Monyet” untuk Orang Papua. Penulis menyaksikan sendiri lewat media masa dan media sosial banyak korban fasilitas public. Pengrusakan fasilatas jalan raya, took-toko, kios serta pembakaran gedung DPRD Kota Sorong dan Propinsi Papua Barat, gedung MRP Propinsi Papua Barat.
Sebagai manusia Papua, pastinya sangat di rugikan moral dan martabatnya karena sudah direndahkan bahkan ditelanjangi di Publik. Rasisme ini menjadi luka yang amat sangat dalam apalagi menyamakan manusia dengan bintang. Penulis pikir teman-teman diluar sana yang bukan orang Papua juga ikut merasakan hal yang sama. Pemimpin saya di Papua, Gubernur, Bupati, DPR dan seluruh rakyat papua merasa direndahkan martabatnya, hati mereka pun sangat sakit apalagi hati seorang ibu yang melahirkan anaknya. Karena pastinya, Ibu kami bukan binatang yang melahirkan binatang.
Sudah 74 tahun Indonesia merdeka tapi rasisme masih dipelihara di muka bumi ini. Seharusnya tindakan-tindakan intoleran, rasis dan diskriminatif tidak boleh terjadi di negara yang katanya Pancasila dan menjunjung tinggi UU No 40 Tahun 2008 tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kebijakan Negara ini tidak berlaku lagi karena manusianya tidak menghargai sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini. Pantas saya katakan bahwa Indonesia belum merdeka seutuhnya.
Betapa sedihnya saya melihat Bapak Gubernur Papua dan Papua Barat mengeluarkan air mata karena dirasis golongan dan etnisnya. Merendahkan martabat dan harga diri manusia papua yang dua hari belakangan ini tumpah ruah demostrasi di jalanan. Permintaan maaf yang di lontarkan oleh Presiden, Gubernur Jawa Timur, Walikota Malang dan Surabaya belum bisa menyembuhkan luka orang Papua. Ibarat Luka lama yang tertusuk duri. Masalah rasisme terhadap masyarakat papua tidak bisa diselesaikan dengan permintaan maaf yang semata begitu saja. Permintaan maaf tidak bisa disederhanakan, menyelesaikan masalah Papua bukan hal mudah. Masalah Papua sudah rumit, rasisme itu terjadi bertahun-tahun terhadap orang papua.
Seharusnya peristiwa yang terjadi di Surabaya bisa ditangani dan diredakan, tapi watak manusia superior yang melihat kelompok lain rendah kemudian menciptakan suasana adu domba dan memecah belah persatuan masyarakat. Peristiwa pengepungan, penangkapan, pemukulan dan diskriminasi secara rasial, itu terjadi bukan karena sesuatu yang dianggap kebetulan saja melainkan diproduksi oleh rezim yang berkuasa. Penguasa menciptakan gagasan rasisme, memprovokasi warga untuk saling menyerang sesama kaum tertindas. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan status quo kekuasaannya dan memperpanjang penindasan, perampasan dan penjajahan.
Tangkap dan adili pelaku rasisme, karena ini masalah lama. Jika keadilan itu tidak ditegakan maka pemerintah Indonesia gagal mengambil hati orang papua seperti yang di katakan oleh Adnan Buyung Nasution “Cepat atau lambat Indonesia akan kehilangan Papua karena gagal mengambil hati orang Papua”.