Paguyuban Manunggal Karso Gugat Walikota Yogyakarta Atas Terbitnya Perwal 51/2017

Siaran Pers
Paguyuban Manunggal Karso Gugat Walikota Yogyakarta Atas Terbitnya Perwal 51/2017 Yang Menghapus Pasar Kembang

Hari ini, Kamis, 25 April 2019, Paguyuban Manunggal Karso mendaftarkan permohonan keberatan Peraturan Walikota Nomor 51 tahun 2017 kepada Walikota Yogyakarta melalui Pengadilan Negeri Yogyakarta ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Perlu diketahui, dengan aturan tersebuitlah keberadaan Pasar Kembang sebagai pasar tradisional kelas IV dihapuskan. Bahkan, berbarengan waktu dengan terbitnya perwal 51/2017, pedagang-pedagang Pasar Kembang diusir paksa oleh PT. KAI.

Kini sudah hampir dua tahun paska pedagang Pasar Kembang digusur nasib mereka masih belum ada titik terangnya. Padahal dulu katanya pemerintah akan memikirkan nasib pedagang. Tapi senyatanya, wacana belaka! Pemerintah (Walikota Yogyakarta) tak pernah betul-betul punya kemauan untuk melindungi dan memenuhi hak pedagang. Dapat dibuktikan, tidak pernah ada kebijakan yang ditelurkan sebagai wujud tanggung jawab atas enyahnya pekerjaan para pedagang.

Sudah barang tentu ini bukan persoalan main-main. Apalagi bagi pedagang, dua tahun bukan tempo yang singkat. Ia adalah masa yang panjang untuk menunggu keadilan yang tak kunjung datang. Dalam kurun waktu yang lama itu, kondisi kehidupan pedagang jelas amburadul lantaran kehilangan pencahariannya. Alhasil, kini situasi pendapatan ekonominya kian melemah. Mereka kalang kabut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mana kalau Pasar Kembang masih ada, situasi demikian tidak mungkin terjadi mengingat sebetulnya pedagang telah sejahtera.

Sepanjang dua tahun itu pula, pedagang sesungguhnya tidak tinggal diam. Pelbagai ikhtiar telah dilakukan. Tapi mirisnya, pemerintahan bebal! Pemerintahan sebagai pemangku kewajiban atas hak asasi manusia para pedagang, tidak pernah melaksanakan kewajibannya. Para pengurus negara itu abai. Sudah kerap kali bertatap muka dengan anggota DPRD dalam forum-forum audiensi hingga mendatangi kantor Walikota Yogyakarta namun semua nihil. Entah apa sebab. Kami hanya bisa menduga-duga, mereka sedang mempermainkan nasib para pedagang. Ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pemiskinan terstruktur.

Untuk itu, pemerintah menggunakan instrumen hukum sebagai legitimasinya. Ingat, pada 5 Juli 2017 atau berbarengan dengan momentum pengusiran paksa pedagang, Walikota Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 51 tahun 2017 yang pada pokoknya menghapus keberadaan Pasar Kembang sebagai pasar tradisional kelas IV. Seperti sudah pernah dipaparkan sebelumnya, perwal ini diindikasikan bermasalah sebab diduga ia diterbitkan secara tak lazim dan dengan melanggar peraturan perundang-undangan. Salah satu kejanggalan itu ialah, Walikota Yogyakarta menggunakan surat PT. Kereta Api Indonesia (Persero) DAOP 6 Yogyakarta Nomor UM. 003/VII/1/D.6- 2017 sebagai pertimbangan penerbitan perwal. Bahkan kian ganjil, manakala suratnya tertanggal 4 Juli 2017 sementara peraturannya sendiri terbit satu hari berikutnya bersamaan dengan dengan gusuran pedagang Pasar Kembang. Sungguh tidak masuk di akal!

Perkara gusuran pedagang Pasar Kembang dan dihilangkannya status Pasar Kembang dengan Perwal 51/2017 semakin memperlihatkan bahwasanya pemerintahan begitu tunduk pada kepentingan korporasi. Akibatnya? Musnahnya ruang-ruang hidup warga, antara lain hak atas pekerjaan untuk kehidupan yang layak. Bertolak dari hal tersebut, Paguyuban Manunggal Karso mengajukan upaya keberatan (uji materiil) kepada Walikota Yogyakarta dengan tuntutan mengembalikan Pasar Kembang (dan para pedagang korban) pada kedudukanya yang semula yakni sebagai pasar tradisional.

Yogyakarta, 25 April 2019
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta