Yogyakarta, Gatra.com – Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno menegaskan bencana banjir di Kota Gudeg selama musim hujan akibat salah kelola air. Masifnya pembangunan yang tak sesuai peruntukan, terutama hotel, turut memperparah keadaan.
Hal ini dikemukakan dalam Diskusi Kotagede #1 yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta berjudul ‘Banjir dan Carut Marut Tata Ruang di Yogyakarta’, di kantor lembaga tersebut, Senin (25/3) sore.
“Banjir dan longsor itu kesalahan karena tidak bisa mengelola alam. Jadi tidak bisa disebut bencana. Saat tata kelola air amburadul, maka di kemarau terjadi kekeringan dan musim hujan kebanjiran,” kata Eko memulai paparannya.
Eko menyatakan tata kelola yang baik adalah sebisa mungkin menyimpan air ke dalam tanah dengan sumur resapan dan menggunakannya. Namun yang terjadi saat musim hujan masyarakat berusaha secepatnya membuang air.
Menurut Eko, tata kelola air yang baik bisa dilihat dari keberadaan sungai sebagai air permukaan. Saat musim hujan, sungai yang baik selalu ada air dengan debit tidak jauh beda dengan saat musim hujan.
“Nyatanya sungai di Yogyakarta selalu mengalami kekeringan di musim kemarau dan banjir yang meluap di musim hujan,” ujarnya.
Menurutnya, tata kelola air yang baik harus dimulai dari Sleman dan Kota Yogyakarta dibandingkan dari Bantul. Resapan di kedua daerah itu akan memberikan jaminan bahwa cekungan air tanah (CAT) akan selalu terisi di musim hujan dan bermanfaat di musim kemarau.
Tidak hanya itu, Eko menjelaskan, CAT juga berdampak pada melimpahnya air yang tidak terbuang ke hilir. Padahal air tanah di daerah hilir lebih besar dibandingkan daerah hulu.
Eko berkata, pembangunan yang tidak sesuai peruntukan dan menghambat penyerapan air tanah secara besar-besaran juga menyebabkan banjir di sejumlah wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan tak tertangani dengan baik.
“Arah pembangunan di DIY lebih didominasi pembangunan saluran air permukaan secepatnya. Demikian juga dengan penyedotan air oleh perusahaan, dalam hal ini hotel, menjadikan CAT di sekitar area hotel terkuras,” lanjutnya.
Selain pembuatan sumur resapan di titik yang tepat, menurut Eko, pembuatan embung juga menjadi solusi mengatasi krisis air, terutama ketika musim kemarau. Dengan embung, air tadahan hujan bisa dimanfaatkan.
Adapun aktivis gerakan “Jogja Ora Didol” Dodok Putra Bangsa bercerita kesalahan pengelolaan air ini terjadi saat industri pariwisata mulai berkembang hingga menjamurnya pembangunan hotel.
“Pemerintah lalai dalam menjamin ketersediaan air bagi masyarakat karena secara sembunyi-sembunyi menyetujui penyedotan air tanah dalam skala besar oleh pelaku industri perhotelan,” katanya.
Padahal, lanjut Dodok, di era 1970-an, wilayah Kota Yogyakarta selama musim kemarau tidak pernah kekeringan karena saat itu belum banyak hotel.
Reporter: Kukuh Setyono
Editor: Arif Koes
dilansir dari halaman https://www.gatra.com/rubrik/nasional/pemerintahan-daerah/403646-Banjir-di-Yogyakarta-Salah-Manajemen-Air-dan-Masifnya-Hotel