Paradoks pembangunan Bendungan Purworejo

February 25, 2019by Admin LBH Yogyakarta0

RILIS GEMPA DEWA

(Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas)

Proyek Bendungan Bener adalah salah satu proyek strategis nasional yang telah di tetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018. Proyek tersebut akan berdiri diatas lokasi 2 Kabupaten (Purworejo dan Wonosobo), 3 Kecamatan (Bener, Kepil, dan Gebang), 11 Desa (Guntur, Nglaris, Limbangan, Karangsari, Kedung Loteng, Wadas, Bener, Kemiri, Burat, Gadingrejo, dan Bener).  Pada prosesnya proyek Bendungan Bener yang memiliki investasi proyek Rp +- 4 triliun dari APBN nyatanya berjalan tidak sesuai dengan amanah konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta mengalami penolakan khususnya di daerah  Desa Wadas. Desa Wadas memiliki masyarakat yang membentuk paguyuban yang bernama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas atau disingkat dengan GEMPA DEWA. Paguyuban ini didirikan dengan tujuan untuk menolak wilayah quary yang sudah di tetapkan di AMDAL. Quary adalah wilayah yang akan di ambil tanahnya untuk mambangun bendungan. Dalam proses penyusunan AMDAL pun, warga yang tergabung dalam GEMPA DEWA tidak pernah dilibatkan. Padahal Desa Wadas adalah salah satu desa yang terkena dampak dengan adanya pembangunan bendungan tersebut. Luas wilayah yang bakal di ambil batu andesit untuk pembangunan bendungan sekitar 145 hektar yang di miliki lebih dari 500 pemilik.

Selama ini warga menolak bukanlah tanpa alasan. Mereka masyarakat Desa Wadas, kurang lebih 95% adalah petani yang masih sangat bergantung pada tanah. Di atas lahan yang mereka miliki sekarang telah tumbuh berbagai tanaman perdagangan seperti durian, karet, aren, rempah-rempah, umbi-umbian, kayu keras dan berbagai tumbuhan lainnya yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama. Demi menjaga ekosistem yang ada di bumi Desa Wadas dan keutuhan bumi Desa Wadas, khususnya lahan pertanian, sebagaimana keterangan yang tercantum di buku AMDAL bahwa lahan yang akan dieksploitasi seluas 145 ha untuk lokasi Quary dan 8,64 ha untuk jalan akses, masyarakat yang tergabung dalam GEMPA DEWA secara tegas menyatakan sikap menolak. Selain itu, warga menolak karena Pengambilan lahan pertanian, meskipun dengan sistem ganti rugi akan berdampak kemiskinan warga dalam masa mendatang. Pasalnya, disamping lahan tidak dikembalikan kepada warga pemilik tanah, diyakini warga akan menjadi konsumtif setelah menerima uang ganti rugi tersebut. Sehingga uang yang warga terima tidak akan mampu menopang kehidupannya dalam jangka lama. Analisa kronologi tersebut sangat masuk akal karena mayoritas warga Desa Wadas tidak mempunyai jiwa kewirausahaan yang baik, karena mayoritas warga, khususnya warga terdampak masuk dalam kategori usia nonproduktif.

Pada tanggal 04 September 2017 permohonan izin lingkungan terbit, dan di sebar luaskan melalui banner yang dipasang di desa lain, dan dalam banner tersebut bertuliskan meminta saran, pendapat, dan tanggapan dari warga setempat. Namun permintaan tanggapan tersebut tanpa mencantumkan Desa Wadas. Kemudian, pada tanggal 08 Maret 2018 izin lingkungan terbit dan diumumkan, namun kali ini Desa Wadas masuk sebagai salah satu satu desa yang terkena dampak lingkungan dan dibebaskan lahan untuk di ambil tanahnya. Dalam penyusunan AMDAL Desa Wadas tidak sama sekali dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL Bendungan Bener.

Pada tanggal 27 Maret 2018 pihak pemprakasa Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak mengadakan sosialisasi adanya pembebasan lahan, tetapi warga desa wadas memilih wolk out, karena dari awal sikap warga adalah menolak quary di wilayah Desa Wadas. Kemudian pada tanggal 26 April 2018 diadakan konsultasi publik yang pada intinya hanya melakukan pendaatan bagi warga yang terdampak, dan warga protes meminta diadakan forum diskusi tetapi tidak difasilitasi.  Pada tanggal 7 Juni 2018 terbitlah izin penetapan lokasi yang di dalamnya terdapat Desa Wadas. Pemberitahuan atas penerbitan persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener tercantum di dalam surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018. Dengan terbitnya surat tersebut dapat di simpulkan aspirasi warga yang selama ini menolak nyatanya telah di abaikan.

Fakta diatas menunjukan bahwa setidak-tidaknya ada dua rezim Undang-Undang yang digunakan oleh Pemerintah dan Pemrakasa dalam menjalankan Proyek Bendungan Bener, yaitu rezim Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009), dan rezim Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Lahan Untuk Kepentingan Umum. Lingkungan hidup itu sendiri, sesuai dengan pengertian UUPPLH 2009 memasukkan unsur manusia dan segala perilakunya, oleh sebab itu, manusia sebagai subjek lingkungan hidup memiliki peranan vital yang meliputi hak dan kewajiban  maupun  berperan serta  atas kelangsungan lingkungan hidup. Hak atas informasi lingkungan yang merupakan konsekuensi logis dari dari hak berperan serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) s/d ayat 5 UUPPLH 2009 maka dapat ditemukan suatu fakta bahwa hak-hak yang tedapat dalam bidang lingkungan hidup adalah:

  1. hak atas lingkungan hidup yang baik dan,
  2. hak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
  3. hak untuk mengakses informasi, akses partisipasi dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
  4. hak mengajukan usul dan / atau keberatan terhadap rencana usaha dan / atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup,
  5. hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
  6. hak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup.

Selain jaminan diatas, UUPPLH 2009 juga telah menjamin bagi warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan,”hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Oleh karena itu, perjuangan Desa Wadas yang tergabung dalam GEMPA DEWA dalam memperjuangkan hak atas lingkungan telah dijamin dan di lindungi oleh hukum.

Pemerintah Jawa Tengah dalam hal ini telah lalai dalam mengeluarkan izin lingkungan karena tidak melibatkan warga. Pemerintah pun telah lalai karena tidak menggambarkan secara terang benderang bagaimana dampak yang timbul akibat pengambilan quary tersebut, serta tidak melihat secara objektif dan mempertimbangkan tingkat pendidikan dan kebiasaan masyarakat Desa Wadas, yang pada umumnya sebagai petani dan jauh dari sentuhan internet, dan akses pengetahuan mengenai mekanisme di dalam undang-undang, sehingga tidak dapat digeneralisir semua warga mengetahui adanya Izin Lingkungan dan bagaimana dampaknya bagi warga.

Pemerintah sama sekali tidak memberikan sosialisasi kepada Warga Wadas yang akan terkena dampak dari quary. Padahal seharusnya sosialisasi harus dilakukan serta sampai ke level paham. Maksudnya kata paham harus dimaknai bahwa pihak yang diberi informasi tersebut harus sungguh sampai pada tingkat pemahaman mengenai dampak dari Proyek Bendungan yaitu keseluruhan dampak penting yang sudah ditentukan sebelum beroperasi maupun setelah beropersi rencana kegiatan, adanya kemampuan dari pemrakarsa untuk menanggulangi mengenai dampak penting tadi, rencana kegiatan tidak mengganggu nilai-nilai masyarakat sosial terutama masyarakat yang terkena dampak, rencana kegiatan tidak mengganggu elektifitas ekologis, rencana kegiatan tidak mengganggu kegiatan sejenis yang ada disekitar, tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Fakta diatas telah bertentangan dengan Undang-UndangNo 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Permen Lingkungan Hidup nomor 17 tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan izin lingkungan.Seharusnya tata cara pelibatan masyarakat dalam proses Izin Lingkungan dilakukan berdasarkan UU PPLH, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 ( selanjutnya disebut PP No. 27 tahun 2012) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

PP No 27 tahun 2012, dalam pasal 9 ayat (2) huruf b junto Bab II Lampiran PermenLH No. 17 tahun 2012 telah mewajibkan Pemrakarsa untuk melakukan kegiatan Konsultasi Publik terhadap masyarakat yang terkena dampak, masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat yang atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.Bagian Konsultasi Publik Bab II Lampiran PermenLH No. 17 tahun 2012 mengatur bahwa “Konsultasi Publik juga merupakan sarana untuk memilih dan menetapkan wakil masyarakat terkena dampak yang akan duduk sebagai anggota komisi penilai amdal. Bahwa kemudian di Dalam Bagian Penetapan Wakil Masyarakat Terkena Dampak dalam Komisi Penilai Amdal Bab II Lampiran PermenLH No. 17 tahun 2012 mengatur bahwa:

  1. Masyarakat terkena dampak memilih dan menetapkan sendiri wakilnya yang duduk sebagai anggota komisi penilai amdal;
  2. Pemilihan dan penetapan wakil masyarakat tersebut dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan konsultasi publik;
  3. Jumlah wakil masyarakat terkena dampak yang dipiloh dan ditetapkan untuk duduk sebagai anggota komisi penilai amdal ditetapkan secara proposional dan mewakili aspirasi masyarakat yang diwakilinya dalam persoalan lingkungan hidup.

Khususnya tentang proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan Dokumen Amdal dan penerbitan Izin Lingkungan telah menyebabkan Warga Desa Wadas tidak mendapatkan informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat tidak dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat tidak dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.Tidak dilakukannya kewajiban Pemerintah Jawa Tengah dan Pemrakrasa untuk melibatkan masyarakat dalam proses penerbitan Izin Lingkungan sebagaimana disebutkan di atas menunjukan bahwa Pemerintah tidak memberikan akses informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif bagi warga Desa Wadas dalam penerbitan Izin Lingkungan. Maka dapat disimpulkan bahwa penerbitan Izin Lingkungan bertentangan dengan asas keterbukaan.

Selain itu, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertulis dan merupakan norma yang tertinggi memberikan pengaturan mengenai hak asasi manusia terhadap lingkungan hidup hidup yang baik dan sehat, yaitu yang tercantum dalam Pasal 28 H ayat (1). Ketentuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini merupakan amanat reformasi untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Amanah UUD 1945 tersebut jelas memandang bahwa kebutuhan mendapatkan lingkungan yang sehat adalah salah satu hak asasi. Negara berkewajiban memberi perlindungan dan jaminan lingkungan sehat, oleh sebab itu negara harus memiliki otoritas kuat dalam mengelola dan melindungi Lingkungan Hidup. Namun, melihat fakta-fakta yang terjadi dalam proses proyek pembangunan Bendungan Bener telah bertolak belakang dari semangat reformasi.

Berdasarkant dari uraian pahit diatas maka kami Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA) mendesak dan menuntut Pemerintah untuk :

  1. Mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 tentang Izin Penetapan Lokasi Bendungan
  2. Mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/20 Tahun 2018 tentang Izin Lingkungan Rencana Pembangunan Bener
  3. Menolak segala bentuk eksploitasi alam terkhusus di Desa Wadas
  4. Menolak segala bentuk Intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terkhusus warga masyarakat Desa Wadas

Demikian pernyataan ini dibuat, atas terpenuhinya segala aspirasi dan tuntutan ini kami ucapkan terimakasih.