Tahapan Pembangunan Bandara Baru Di Kulonprogo Menyalahi Aturan Sehingga Harus Dihentikan

Kembali Mengingatkan Pemerintah, Gubernur dan Angkasa Pura 1: Segala Tahapan Pembangunan Bandara Baru Di Kulonprogo Menyalahi Aturan Sehingga Harus Dihentikan

Usaha para petani Kecamatan Temon, Kulonprogo untuk memperoleh keadilan harus tertunda. Gara-garanya apalagi kalau bukan norma hukum berwujud Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 19 dari Perma ini tidak mengakomodasi upaya hukum luar biasa peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah punya kekuatan hukum tetap. Melalui norma hukum tersebut, jelas bahwa hak atas keadilan dilanggar oleh negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta sebagai peradilan administrasi yang dibentuk dengan cita-cita negara hukum yaitu melindungi hak asasi serta mampu melaksanakan keadilan – yang berarti bahwa peradilan ini dapat menampung dan menyelesaikan setiap tuntutan warga masyarakat secara tuntas dan adil – justru lebih memegang pedoman peraturan Mahkamah Agung dengan tidak menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali yang diajukan Wahana Tri Tunggal, kelompok petani penolak bandara di Temon, Kulonprogo. Sikap PTUN Yogyakarta tersebut dituangkan dalam surat nomor W3.TUN 5/53/HK.06/IV/2016 perihal tanggapan atas permohonan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Kasasi Perkara Nomor: 07/G/2015/PTUN.YK Jo. Putusan PTUN Nomor: 456K/TUN/2015. Diserahkan Jumat, 22 April 2016.

Tempo hari, PTUN Yogyakarta banyak mendapat apresiasi karena putusan progresifnya membatalkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY dengan pertimbangan hukum sangat baik dan fundamental. Namun kali ini LBH Yogyakarta sangat menyayangkan sikap PTUN Yogyakarta, yang tidak menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali. Tindakan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang secara umum sudah berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Aturan undang-undang itu jelas memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada peraturan Mahkamah Agung serta tegas mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali berikut mekanisme-mekanisme yang harus dilalui.

Begitu terang benderang disebutkan dalam pasal 70 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 bahwa: ”Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.” Sementara pada Pasal 72 disebutkan: ”Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari.”

Berangkat dari bunyi pasal ini, sesuai tugas pokok dan fungsinya, PTUN hanya menerima permohonan peninjauan kembali dan meneruskannya ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung yang akan menilai apakah peninjauan kembali tersebut sudah benar secara hukum dan layak diajukan. Sebab sesuai asasnya, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya samar-samar. Mau tidak mau, perkara yang diajukan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ini pun juga harus diterima dan ditindaklanjuti.

Secara normatif dan teoritik pun di dalam Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tertanam kekeliruan mendasar dan itu fatal. Atas nama keadilan, LBH Yogyakarta menaruh asa tinggi terhadap PTUN Yogyakarta untuk berani keluar dari aturan normatif Perma tersebut dengan tetap menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali dari para petani. Bukankah keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas? Andaikata PTUN Yogyakarta berkenan menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali tersebut maka hal ini akan jadi teladan sangat baik bagi penegakan hak asasi manusia yang berkeadilan di Indonesia.

Sebagai lembaga peradilan, tempat mencari keadilan, terbitnya Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah membatasi ruang warga masyarakat untuk memperoleh keadilan. Kehadiran pasal tersebut jelas-jelas semakin mengukuhkan maksud dari pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum tidak lain adalah perampasan tanah. Terlebih dengan keputusan PTUN Yogyakarta yang tidak bersedia menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali petani Temon, Kulonprogo. Seluruhnya kami memandang, hal tersebut menyebabkan hak asasi manusia berupa hak atas keadilan telah tercederai.

Kembali Mengingatkan Pemerintah: Segala Tahapan Pembangunan Bandara Baru Di Kulonprogo Menyalahi Aturan Sehingga Harus Dihentikan
Tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan bandara baru di Kulonprogo sudah mendekati akhir. Sejak laporan ini disusun, proses ganti rugi sedang berlangsung. Bahkan, peletakan batu pertama (groundbreaking) kabarnya akan dilakukan akhir bulan November. Tahapan pembangunan bandara yang terus berlanjut, Jokowi pun mewajibkan bandara Kulonprogo selesai di tahun 2019. Hal ini sungguh disesalkan LBH Yogyakarta. Pemerintah seakan menyumbat telinganya sendiri dari kritik konstruktif yang telah berulang kali dilontarkan warga masyarakat, terutama para petani Wahana Tri Tunggal.

Pemerintah sudah kerap diingatkan bahwa pembangunan bandara di Kulonprogo menyalahi hal yang paling substansial yaitu rencana tata ruang wilayah. Sebagaimana dapat dibaca dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali dan Perda Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY tahun 2009-2029, tidak ada amanat untuk membangun bandara di pesisir Kulonprogo (Kecamatan Temon), yang ada hanyalah pengembangan Bandara Adi Sucipto yang terhubung dengan Bandara Adi Sumarmo di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Malahan kawasan pesisir Kulonprogo telah diketok sebagai kawasan lindung geologi (kawasan rawan bencana tsunami).

Di samping itu, pengadaan tanah untuk pembangunan bandara abai terhadap lingkungan hidup. Segala proses yang selama ini ditempuh oleh pemerintah tidak pernah dilandasi dengan studi kelayakan lingkungan hidup berbentuk dokumen lingkungan hidup (AMDAL) serta izin lingkungan. Semua itu musti ada dalam tahapan perencanaan. Sebab akan jadi dasar mutlak bagi gubernur menerbitkan Izin Penetapan Lokasi (IPL).

Berdasarkan hal tersebut, sudah seharusnya pemerintah tidak sampai pada pengambilan keputusan untuk membangun bandara baru di Kulonprogo, apalagi menetapkannya sebagai proyek strategis nasional. Pemerintah seharusnya mengikuti amanat perundang-undangan tersebut, dengan tetap menjaga pesisir selatan Kulonprogo sebagai kawasan lindung geologi – juga kawasan pertanian produktif – dan mengembangkan Bandara Adi Sucipto menjadi satu kesatuan dengan Bandara Adi Sumarmo. Terlebih, Bandara Adi Sumarmo masih potensial untuk dimanfaatkan berkelanjutan, ketimbang menambah bandara baru di Yogyakarta. LBH Yogyakarta memandang bahwa hal ini sebatas soal kemauan atau itikad dari pemerintah untuk merekayasa sistem jaringan transportasi yang terpadu tanpa harus menambah bandara baru dan pula menggusur lahan pertanian produktif di Kecamatan Temon, Kulonprogo.
Bertolak dari hal tersebut, seluruh tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan bandara di Kulonprogo harus segera dihentikan.