Oleh: Zuriah, S.Sy
Kasus kekerasan terhadap Perempuan berhadapan dengan hukum yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) belakangan terus terjadi, sayangnya banyak pihak yang menutup mata akan peristiwa tersebut, seakan hal tersebut bukanlah sebuah pelanggaran HAM dan Hukum bagi perempuan berhadapan dengan hukum. Bila terus menerus dilakukan pembiaran atas kelalaian tersebut, maka akan semakin marak kekerasan terhadap perempuan berhadapan dengan hukum. Hal tersebut semakin menunjukkan buruknya pelayanan APH terhadap perempuan karena tidak memiliki perspektif yang baik tentang perempuan berhadapan dengan hukum.
Erniningsih atau kerap di sapa Erni, adalah salah satu korban dari APH yang tidak berperspektif perempuan, seorang perempuan asal Klaten yang diduga kematiannya terjadi di sel tahanan Polsek Sleman Yogyakarta. Ia meninggal pada tanggal 18 Oktober 2016 setelah satu malam ditangkap dan ditahan oleh Penyidik Polsek Sayegan. Erni merupakan tahanan titipan dari Polsek Sayegan ke Polsek Sleman karena tidak memiliki sel khusus untuk perempuan. Dia dilaporkan atas dugaan perzinahan dan pernikahan tidak sah sebagaimana diatur di dalam pasal 284 KUHP dan Pasal 279 KUHP. Dia dilaporkan setelah pernikahan sirrinya dengan Suhadi oleh Istri Suhadi yang sudah sejak tahun 2011 meninggalkan rumah. (Sumber: Wawancara dengan tim Penasehat Hukum LBH Yogyakarta).
Kronologi kasus ini kemudian diungkap oleh keluarga korban Tuginem selaku ibu kandung Erni kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dalam Konferensi Pers pada tanggal 28 Oktober 2016. Bermula pada tanggal 9 Oktober 2015 istri Suhadi pulang ke rumah suaminya (Suhadi) di Sayegan setelah meninggalkan rumah sejak 2011. Di Rumah suaminya tersebut dia bertemu dengan Erni yang tengah hamil dan mengaku sebagai istri Suhadi. 31 Mei 2016 istri Suhadi melaporkan Suhadi dan Erni ke Polsek Sayegan atas dugaan tindak pidana pasal 279 KUHP dan Pasal 284 KUHP. Polsek Sayegan kemudian menindaklanjuti laporan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap Suhadi dan Erni. Pada tanggal 9 Agustus 2016 Suhadi kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian diproses di Pengadilan Negeri Sleman. Proses pemeriksaan juga dilakukan terhadap Erni. Selama proses pemeriksaan korban Erni harus menjalani pemeriksaan di Sayegan, Sleman. Sehingga Erni harus bolak-balik Klaten-Sleman di tengah kehamilannya yang menginjak usia 7 (tujuh) bulan. Selama proses pemeriksaan Erni tidak didampingi oleh Penasehat Hukum. Akibat dari bolak-balik Klaten- Sleman mengakibatkan Erni mengalami pendarahan serius dan kemudian keguguran. Selain itu, peristiwa tersebut mengakibatkan kondisi psikologisnya semakin terguncang. (Sumber: Konpers LBH Yogyakarta 28 Oktober 2016).
Di lingkup yang lebih luas, ada berbagai riset yang telah dilakukan para ilmuan dan aktivis perempuan untuk mengidentifikasikan penyebab dari kekerasan terhadap perempuan dalam ranah penegakan hukum yaitu biasnya pemahaman tentang keadilan gender dan minimnya sensitifitas gender dari Aparat penegak hukum (APH). Persoalan ini membuka peluang besar untuk terjadinya kekerasan bahkan menyebabkan kematian terhadap perempuan di ranah penegakan hukum. Seringkali sikap, persepsi, dan perspektif aparat hakim, jaksa, dan polisi masih bermasalah dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan perempuan.
Tak Banyak Korban Angkat Bicara:
Kompleksitas yang di hadapi perempuan yang mengalami kekerasan di ranah penegakan hukum, keluarga korban, masyarakat dan saksi dengan pertimbangan alasan yang berbeda-beda cendrung memilih diam dan tak banyak angkat bicara. Beban psikologis yang dialami Perempuan berhadapan hukum sangatlah besar, rasa malu yang harus ditanggungnya serta intimidasi dan stigma-stigma yang dilontarkan membuatnya bertindak untuk “bungkam seribu bahasa” daripada berbicara panjang lebar namun dituduh “pembelaan” atau “pembenaran” semata.
Ditambah intimidasi maupun stigmatisasi dari APH yang belum berperspektif Perempuan dan dalam sistemnya belum menyediakan layanan baik psikolog maupun dampingan untuk perempuan berhadapan hukum, membuat perempuan berhadapan hukum semakin tertekan dalam menjalani proses hukum.
Mengingat kasus yang dibawanya tersebut menyangkut masa depannya dan keluarga. Bayangkan jika saksi yang mengungkapkan kebenaran kemudian didakwa menjadi pelaku. Belum lagi waktu dan tenaga yang terkuras menyebabkan dirinya harus menunda pekerjaan lainnya dan menghadapi kenyataan terburuk karena nyawanya dan keluarga akan terancam.
Pandangan korban terhadap dirinya sendiri khususnya ketika menghadapi persoalan hukum yang berada di bawah dominasi pihak Aparat Penegak Hukum (APH) seringkali membuat mereka masih menyalahkan diri sendiri ketika mendapatkan kekerasan. Jangankan melapor, kebanyakan mereka masih belum mampu mengindentifikasi masalah kekerasan yang dialaminya. Banyak korban yang kurang menyadari bahwa posisi mereka sebagai korban dalam kasus tersebut. Lebih parahnya lagi, mereka pun hanya bisa menyalahkan diri sendiri dan mengganggap bahwa kasus yang dialaminya merupakan musibah dan takdir Tuhan semata. Ketika terjadi kekerasan sikap menerima tersebut pun diikuti pilihan solusi yang belum tentu menguntungkan perempuan korban dan keluarga.
Masih banyak APH yang keliru ketika menangani kasus terkait dengan perempuan baik ditingkat penyelidikan, penyidikan dan peradilan. Kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan di ranah tersebut menjadi sesuatu yang tak layak diperbincangkan di ranah publik. Hal ini berimplikasi pada dua hal, yaitu: pertama, derita yang dirasakan korban akan berkepanjangan dan membuka peluang terjadinya kekerasan dan menimbulkan korban baru. Kedua; tiadanya keterbukaan para korban akan menyulitkan dan akses data terhadap pelaku dari pihak yang berwenang atau lembaga institusi penegak hukum untuk menindaklanjuti akan menyulitkan pengungkapan tindakan pelaku dan memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
Pentingnya sensitifitas dan Kesadaran Gender terhadap APH:
Rendahnya kesadaran akan pentingnya sensitifitas gender APH dalam memahami persoalan-persoalan perempuan di ranah hukum menunjukkan bahwa penegakan hukum tersebut kurang baik. Rendahnya kesadaran keadilan gender (gender justice) juga merupakan ancaman yang mengganggu program peningkatan jaminan kepastian hukum terhadap para pencari keadilan khususnya perempuan.
Berkaca pada kasus Erni di atas masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi dalam institusi penegakan hukum. Tantangan kedepan bukan hanya terletak untuk memajukan institusi atau lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Tetapi juga, sekaligus untuk menciptakan manusia yang humanis, komunikatif, informatif dan edukatif serta yang berperspektif terhadap kadilan gender. Sebab itu pula, pembangunan sumber daya Aparat Penegekan Hukum yang humanis dan berperspektif keadilan gender (Gender Justice) merupakan urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.