Bandara Di Ruang Rawan Bencana

Oleh: Yogi Zul Fadhli

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sedang sibuk dengan urusan pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo. Sarana transportasi udara yang kabarnyadiklaim bakalmembawa kesejahteraan bagi warga ini, akan berdiri persis di pinggir Pantai Selatan Pulau Jawa. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa daerah sekitar pantai lebih dekat dengan resiko terkena bencana alam (tsunami). Jika demikian menarik dicermati, bagaimana model kebijakan penataan ruang yang dirancang oleh pemerintah sehingga bandara yang merupakan sarana transportasi publik justru hendak dibangun diatas ruang dengan resiko bencana?

Bicara pembangunan bandara di Kulonprogotidak pernah bisa mengesampingkanaspek tata ruang. Pembangunan apa pun itu dan di mana pun keberadaannya akan selalu membutuhkan ruang. Ruang merupakan wadah dalam tiga dimensi (trimarta): tinggi, lebar dan kedalamannya menyangkut bumi, air (sungai, danau dan lautan) dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, serta udara dan ruang angkasa di atasnya secara terpadu (Yunus Wahid: 2014). Seluruhnya itu jadi wadah bagi makhluk hidup, termasuk manusia, untuk melakukan kegiatan (pembangunan) serta merawat kontinuitas kehidupannya.

Betapa pentingnya wadah itu, maka ia harus ditata. Ruang ditata lantaran tidak semua ruang (lahan) punya kualitas dengan fungsi konstruktrif (area berdirinya bangunan material). Tapi ada pula ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung. Sebab itu konsekuensinya, kegiatan pembangunanpun kudusinkron dengan rencana tata ruangyang telahditerjemahkandalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang tersusun berjenjang dari setingkat undang-undang hingga peraturan daerah.

Dengan kata lain pembangunan tidak boleh sembarangan. Sebab manakala pembangunan tidak ditempatkan pada wadah yang selaras denganfungsi peruntukannya, malahan berkemungkinanterjadi eksploitasi ruang yang melebihi daya dukung ruang itu sendiri.Walhasil dampak negatif seperti kerusakan lingkungan akanmuncul.Bila ini yang terjadi,tentu bertentangan dengan asas penyelenggaran penataan ruang. Dalam penataan ruang dikenal asas keberlanjutan, yakniruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.

Nah, mengamati rencana pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulonprogo, bila ditinjau dari pelbagai jenis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata ruang, lokasi pembangunan sesungguhnya bukanlah area yang sedari awal diproyeksikan sebagai kawasan sarana transportasi udara. Melainkan telah ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi. Salah satunya terdiri atas kawasan rawan bencana alam geologi berupa kawasan rawan tsunami. Terkait ini dapat terkonfirmasi bilamana menengok sejumlah peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yang diantaranya telah diterbitkan beberapa tahun sebelum rencana pembangunan bandara berjalan hingga tahapan hari ini.

DalamPerpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali, Kabupaten Kulonprogo jadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami(Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogopun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).

Penataan ruang berbasis mitigasi bencana, dengan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung geologi senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup. Apalagi secara geografis Indonesia berada di lingkaran rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami(2012) pun sebetulnya sudah memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi. Kawasan tersebut antara lain kawasan selat sunda dan Jawa Bagian Selatan. Gempa bumi yang besar yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian selatan dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa salah satunya daerah pantai di selatan Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo).

Tentang potensi bencana tsunami di Kecamatan Temon pun diamini oleh Dr. Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah rawan gempa yang dapat memicu tsunami. Terlebih blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar. Karena gempa (2006) lalu bukan dari blok Jogja, tapi patahan Opak.[1] Sehingga, lanjutnya, jika berbicara mengenai potensi terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara Internasional Kulonprogo cukup besar.[2]Bahkan berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulon Progo yang diterbitkan InaTEWS bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal (2012) menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar,  rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan rawan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat  mencapai ketinggian mencapai 6 meter, dan terjangan mencapai  2 kilometer. Tsunami dapat hadir 33-40 menit setelah gempa. Dari paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang.[3] Sedangkan, pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini rendah (16 jiwa/km2, kurang dari 500 jiwa/km2), dan akan berubah menjadi tinggi (16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.[4]

Berpatokan dari hal tersebut, pembuat undang-undang dari tingkat pemerintahan pusat sampaipemerintahan daerah sebenarnya sudah merancang model penataan ruang dengan memperhitungkan sedemikian rupa daya dukung pemanfaatan ruang di Kecamatan Temon.Dari sudut pandang si pembuat undang-undang, pola ruang di Kecamatan Temon dinilai lebih layak difungsikan sebagai ruang lindung ketimbang dipakai sebagaisistem jaringan sarana dan pra sarana seperti bandara. Apalagi jika umpamanya ternyata penataan ruangnya sudah didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) –sebab RTRW yang baik adalah RTRW yang antara lain mendasarkan pada KLHS dan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (Yunus Wahid: 2014)– maka mustinya pemerintah tidak sampai pada keputusan untuk membangun bandara di Kecamatan Temon.

Melihat realitas seperti mana telah diutarakan, seyogianya Pemerintah DIYtidak boleh lupa, betapa krusialnya dimensi tatanan ruang dalam sebuah pembangunan. Mesti dicamkan bahwasanya penataan ruang yang semacam itu ditujukan demikelestarian ekologi. Kondisi ini juga sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang sendiri yaitu, terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Pembangunan bandara di Kecamatan Temon alangkah lebih baiknyabila diurungkan. Jangan sampai bandara mengubah fungsi ruang yang sudah ditata sedemikian rupa sesuai kemampuannya. Alih-alih bandara membuat lingkungan kian lestari, yang adamalah berpotensi membikin kualitasnyamerosot.Lebih-lebih lagi jikalau menimbulkan bahaya bagi masyarakat karena berdiri di kawasan rawan bencanadannotabene telah ditetapkan sebagai kawasan lindung geologidalam undang-undang. Asas keberlanjutan dalam penataan ruang tidak boleh dilalaikan. Kepentingan generasi hari ini dan apalagi generasi mendatang sepatutnya dipikirkan oleh para pemangku kebijakan.

[1] Wilayah Temon Ada di Jalur Gempa Blok Jogja http://jogja.tribunnews.com/2011/08/16/wilayah-temon-ada-di-jalur-gempa-blok-jogja, diunduh 10 Juni 2016.

[2] Ibid.

[3]Eko Teguh Paripurno, et.al, Kajian Peningkatan Risiko Bencana Tsunami Di Pantai Selatan Kulon Progo – Yogyakarta, disampaikan pada Proseding Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015, h. 3.

[4] Ibid, h. 5.