Oleh: Nuresti Tristya Astarina
Puluhan wanita yang tergolong mulai dari anak-anak, remaja hingga ibu-ibu bergerombol di tepi Jalan Daendels pada Minggu (3/6/2016). Bertepatan dengan datangnya bulan Ramadhan serta panen raya di dusun Glagah, Temon, Kulon Progo, mereka membagikan sejumlah hasil bumi kepada setiap kendaraan yang melalui jalan. Terong, cabai, daun kangkung, oyong, dan sayuran lain yang dibuat paket-paket sejak malam sebelumnya pun dibagi merata hingga tak bersisa. “Ini wujud sukur kami karena masih diberi kesempatan untuk menanam dan menikmati hasilnya,”ujar salah satu ibu.
Hari itu kemudian sekaligus menjadi momentum lahirnya kelompok perempuan yang selama ini menolak rencana pembangunan bandara internasional di Kulon Progo. Kebanyakan mereka merupakan anggota keluarga petani yang berpuluh tahun menggantungkan hidup pada tanah di Kulon Progo. Menurut satu makalah yang disusun Ida Rachmy Chalid, perempuan tani adalah sosok perempuan pedesaan baik yang dewasa maupun muda. Mereka adalah isteri petani atau anggota keluarga tani yang terlibat secara langsung atau tidak dengan tetap atau sewaktu-waktu dalam kegiatan usaha tani dan kesibukan lainnya berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan keluarga tani pedesaan.
Perempuan tani berperan dalam hal peningkatan hasil produksi pertanian. Hal ini seperti dijelaskan lebih lanjut oleh Ida Rachmy Chalid bahwa perempuan tani sehubungan dengan peranan dan kedudukannya dalam rumah tangga perlu diberikan perhatian khusus yang secara bersama dikaitkan dengan kepentingan keluarga tani. Stigma yang lahir di masyarakat selama ini padahal adalah perempuan sudah selayaknya berada di lingkungan rumah tangga dengan tugas-tugas rumahan, seperti melahirkan dan membesarkan anak, serta mengurus suami, agar keluarga tentram dan sejahtera. Pandangan seperti itu dapat dibenarkan oleh Teori Nature. Dengan konsep seperti itu yang ada hanyalah keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak suami, yakni lebih dihormati dan dihargai. Sementara dengan sisi keperempuanannya ia hanya boleh melakukan peran terbatas dan tidak menghasilkan uang.
Sejalan dengan perkembangan jaman, perempuan tani kini telah meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sehingga dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari jenis sumber daya yang ada di sekitarnya berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Hal inilah yang membuat adanya kemajuan perempuan sebagai motor penggerak pembangunan di bidang pertanian, seperti kelompok tani, dalam kegiatan program peningkatan produksi pertanian, dalam kegiatan pasca panen produksi pertanian. Termasuk mengandung beban kerja di rumah tangga seperti mengambil air, mencari kayu bakar, memasak, menjual hasil panen, mendidik anak-anaknya, sebagai ibu rumah tangga dan mengabdi kepada suaminya.
Kembali pada perempuan tani yang ada di Kulon Progo ini adalah satu bentuk pemenuhan kebutuhan untuk menambah tenaga kerja yang ada yaitu tenaga kerja lelaki dalam mengerjakan ladangnya atau sawah, tegalan maupun kebun. Efisiensi tenaga kerja ini adalah upaya untuk meningkatkan usaha tani. Hal ini diukur dengan pendapatan petani yang meningkat. Sedangkan pendapatan petani sendiri adalah hasil yang diperoleh dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan. Karena itu, salah satu upaya untuk menambah tingkat pendapatan keluarga tani adalah dengan memberi kesempatan berusaha bagi perempuan-perempuan tani yang merupakan sumber tenaga kerja yang potensial.
Terbukti dengan adanya Dokumen Survai pertanian yang disusun oleh WTT sendiri bahwa lokasi yang akan dibangun bandara merupakan kawasan dan lahan pertanian yang sangat produktif baik lahan kering (Tegalan) maupun lahan basah (Sawah). Sehingga jika lahan ini akan menjadi bandara maka akan menggusur lahan hortikultura. Padahal lahan ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan pemerintah, dan pengembangan pengetahuan masyarakat setempat). Sebagai contoh, adanya keuntungan petani cabai di kecamatan Temon secara keseluruhan sepanjang Februari hingga Agustus pada tahun 2014 adalah sebanyak Rp 705.870.000,00.
Kebiasaan perempuan yang turut meningkatkan hasil pertanian ini kemudian harus terancam oleh hilangnya tanah akibat rencana penggusuran untuk membangun bandara. Sejak 2011 masyarakat Temon dibuat tak tenang, dengan rencana pembangunan bandara di desanya, hasil pertanian mereka secara keseluruhan menjadi kerap menurun. Pasalnya, adanya rencana ini menyebabkan adanya konflik sosial hingga memecah mereka menjadi kubu kontra dan pro. Satu sisi kubu menolak tanpa syarat pembangunan bandara, selalu memperjuangkan pertaniannya, merekalah Wahana Tri Tunggal (WTT) yang awal pembentukannya memang terdiri dari pemilik lahan, petani penggarap, serta petani yang menggarap lahannya sendiri ini. Sedangkan kubu pro terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan seperti buruh di kota, pengrajin, bengkel, dan sebagaimana.
Pantauan LBH Yogyakarta dan juga menurut keterangan dari warga WTT, setelah tergiur dengan iming-iming ganti rugi, banyak petani yang jadi enggan menggarap lahan khususnya dari pihak yang pro. Inilah yang kemudian membuat hasil pertanian secara kolektif juga beberapa kali sempat mengalami penurunan. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Dr. J.H. Boeke dalam Prakapitalisme di Asia bahwa sebenarnya tujuan petani prakapitalis seperti yang ada di Kulon Progo ini adalah mencukupi kebutuhan-kebutuhan sederhana keluarganya. Hal ini membuat sepetak tanah pun akan memadai. Boeke menambahkan bahwa luas tanah milik yang dibutuhkannya tergantung kesuburan tanah. Jadi semua tentu tergantung bagaimana intensifikasi pengolahan tanah yang diterapkan. Seperti halnya yang ada pada masyarakat di Kulon Progo, dalam Studi Kelayakan yang pertama diterbitkan oleh Angkasa Pura adalah 80 % tanah di klaim sebagai Tanah Pakualaman. Nyatanya, masyarakat telah mengusahakan lahan pesisir menjadi dapat ditanami dan hal itu membutuhkan waktu selama bertahun-tahun.
Dengan mendesakan pembangunan bandara, pemerintah terlihat sangat abat dengan otensi pertanian yang dimiliki oleh petani di Temon. Hal ini jelas bahwa pemerintah hanyalah menerapkan konsep top-down, yang tidak mengindahkan pendapat Mosse (1996) mengenai pemberdayaan. Ia mengemukakan bahwa pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) daripada pendekatan atas ke bawah (top down). Lembaga-lembaga terkait dengan gerakan pemberdayaan mengambil tindakan berdasarkan kesadaran masyarakat. Hal inilah yang kemudian diartikan sebagai bentuk partisipasi dan konsekuensi dari pendekatan dari bawah ke atas (bottom up).
Upaya pemerintah mengadakan rencana pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo secara praktis tidak memerhatikan kearifan lokal yang selama ini ada. Sebab masyarakat setempat telah memilih untuk bertani, namun rencana pemerintah tersebut justru mengancam penghidupannya dengan menggusur tanah. Hal ini sama sekali tidak mendasar apabila pemerintah hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui megaproyek sementara menekan peruntungan masyarakat hingga titik terendahnya, yakni menghilangkan modal utama mereka berupa tanah. Tentu berbeda dengan pendekatan pemberdayaan yang menekankan perubahan sosial secara berkelanjutan. Adanya gerakan perempuan di bidang pertanian yang diciptakan oleh masyarakat misalnya, dapat mengarahkan mobilisasi politik, meningkatkan kesadaran dan pendidikan rakyat yang akhirnya dapat meningkatkan kehidupan secara berkelanjutan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam (2003) bahwa strategi beberapa strategi pemberdayaan ekonomi keluarga yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kreatifitas dan produktifitas keluarga melalui pemberdayaan di bidang usaha dan keterampilan dengan pokok-pokok kegiatan sebagai berikut : (1) Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok. Seluruh rangkaian kegiatan-kegiatan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga dilaksanakan melalui pendekatan kelompok, yaitu Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UPPKS). (2) Pembinaan dan Pengembangan usaha. Rangkaian kegiatan-kegiatan ini terdiri dari peningkatan sumber daya manusia, pembinaan kemitraan, kelangsungan jaringan usaha, pembinaan produksi, dan pembinaan modal, serta pemberdayaan dalam mengakses pasar. (3) Pengembangan Keterampilan. Keluarga yang tidak memiliki minat dan keterampilan untuk berusaha akan diarahkan pada peningkatan keterampilan yang dimiliki. Sehingga dengan begitu, upaya pemberdayaan keluarga miskin dalam bidang ekonomi bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan minat, semangat, serta keterampilan keluarga dalam bidang ekonomi produktif.