Rencana Pembangunan Bandara Kulon Progo, Proyek Yang di Paksakan

egg-583163_960_720

Oleh : Budi Hermawan

Pelarangan Peninjauan Kembali dalam Perma

Pil Pahit para pencari keadilan kembali harus ditelan oleh warga Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berusaha mempertahankan tanah mereka dari perampasan atas nama kepentingan umum. Mereka yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani di Temon Kulonprogo ini ramai – ramai mendatangai Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta pada Senin 18 April 2016 lalu, untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali atas Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07/G/2015/PTUN.Yk/456K/TUN/2015 yang telah memenangkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta atas Izin Penetapan Lokasi oleh Gubernur.Para pencari keadilan datang berduyun – duyun menggunakan angkutan bak terbuka maupun bus, bertolak dari Glagah Temon Kulonprogo menuju Pengadilan TUN Yogyakarta.

Gugatan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung tersebut ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta secara sepihak, lantaran pada awal tahun 2016 telah terbit peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016yang mengatur mengenai Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Penolakan pendaftaran PK oleh Pengadilan TUN Yogyakarta mendasarkan pada pasal 19 Perma tersebut, yang menyatakan bahwa “Putusan kasasi merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum peninjauan kembali” merupakan dasar hukum yang bertentangan dengan norma hukum umum yang berlaku untuk mengatur Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang – Undang No 5 Tahun 1986.

Perma tersebut secara tegas mengesampingkan norma hukum umum dengan tidak memandang pada esensi pencari keadilan atas persolan yang akan berdampak penting dan meluas bagi hajat hidup orang banyak. Seperti kita ketahui Negara Indonesia merupakan Negara Hukum, dimana tegaknya supremasi hukum merupakan hal yang di junjung tinggi dengan mengedepankan keadilan sebagai rambu tegaknya hukum, seperti tertuang dalam norma dasar Negara kita Pacasila pada sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konsep negara hukum (rechsstaats) menurut Friedrich Julius Sthal ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: 1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2) negara didasarkan pada teori trias politica; 3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan 4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Maka peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad) sebagaimana diungkapkan oleh Friedrich Julius Sthal tersebut adalah juga peradilan tata usaha negara yang diselenggarakan untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia warga negara.

Hak Azasi Manusia Warga Negara dijamin pula dalam  Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menyatakan: setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Terlebih khusus pada peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang secara filosofis memiliki tujuan untuk memenuhi hak atas keadilan karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak menutup kemungkinan mengandung atau terdapat alasan-alasan yang relevan dengan alasan-alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ditegaskan lagi dalam Pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah mengatur terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Maka dengan demikian Perma nomor 2 tahun 2016 tersebut sangat jelas bertentangan dengan norma hukum umum yang menjamin dan mengakomodir PK sebagai upaya hukum luar biasa, sehingga jaminan Peninjauan Kembali yang diatur oleh norma hukum Umum setingkat Undang – Undang harus didahulukan dan menjadi prioritas pijakan oleh Pengadilan TUN, karena sejatinya pembatasan PK dalam Perma tersebut sudah bertentangan dengan norma hukum umumnya. Diatur pula dalam asas tentang berlakunya peraturan perundangan, Asas lex superior derogat legi inferior yang berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam Teori Stuffen Bow mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarkhi peraturan perundang-undangan, seperti diketahui bahwa Perma tersebut mempunyai derajat hierarki yang lebih rendah dibandingkan dengan norma hukum umum yang diatur dalam Undang – Undang.

Hadirnya Peraturan Mahkamah Agung yang lahir pada 2 Februari 2016 mengejutkan para pencari keadilan yang mendatangai Pengadilan TUN untuk mendaftarkan gugatan PK namun ditolak oleh pihak pengadilan tingkat pertama. Padahal perma tersebut tidak lebih jauh menyebutkan kewenangan Pengadilan Tingkat Pertama untuk menolaknya, melainkan semestinya pengadilan tingkat pertama tetap harus menerima pendaftaran PK dan meneruskannya ke Mahkamah Agung. Hal tersebut merupakan kewajiban Pengadilan Tingkat Pertama, namun pada prakteknya Pengadilan Tingkat Pertama Tetap menolak pendaftaran PK para pencarai keadilan yang tergabung dalam WTT (18/4).

Lebih jauh jika kita lihat pada penyelesaian sengketa penentapan lokasi oleh Gubernur yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Pada bagian acara peradilan tersebut sudah banyak yang menyimpangi asas umum dalam beracara di pengadilan TUN, penyimpangan tersebut diantaranya :

Pertama, berupa jangka waktu beracara yang di percepat, dimana pengadilan wajib memberi putusan maksimal 30 hari kerja, hal ini membuat nilai sengketa yang menyangkut hajat hidup orang banyak karena berkaitan dengan pencaharian dan ruang hidupnya dibatasi, bagaimana tidak, persoalan ini dibuat seakan persidangan yang hanya menyidangkan hal – hal kecil, padahal izin lokasi yang disengketakan tersebut menjadi persoalan yang maha penting.

Kedua, tidak tersedianya upaya hukum banding, dimana dalam norma hukum umum beracara dalam PTUN banding merupakan hak pencari keadilan yang mutlak, dimana pada tingkat banding akan melakukan koreksi atau perbaikan bilamana tingkat pertama terdapat kekeliruan hakim dalam memutus, sbagaimana hakim juga manusia biasa yang tidak tertutup kemungkinan kekeliruan dan kekilafan serta dan mampu melindungi hak azasi manusia para pencari keadilan serta mampu melaksanakan keadilan, maka peradilan tata usaha negara diselenggarakan dengan asas peradilan berjenjang. Asas peradilan berjenjang adalah asas yang mana jenjang peradilan dimulai dari tingkat terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, jangka waktu pemeriksaan kasasi yang dibatasi hanya maksimal 30 hari sejak diterimanya permohonan kasasi. Hal ini kembali menegaskan bahwa ternyata pengadilan sebagai tempat pencari keadilan yang semestinya bebas dari kepentingan dan mempunyai independensi ternyata punya keterkaitan dalam mendukung proyek – proyek pemerintah.

Keempat, upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) tidak diakomodir bahkan dilarang oleh perma tersebut. Lagi – lagi rakyat hari ini dibuat kecewa oleh peraturan – peraturan yang dibuat namun sudah jelas arahnya, arah yang membatasi pencarian keadilan dan mendukung salah satu pihak dalam sengketa. Maka praktis hanya terdapat dua tingkat dalam penyelesaian sengketa, diamana umumnya terdapat empat dengan upaya hukum Luar Biasa. Seperti dibahas sebelumnya mengenai Asas peradilan berjenjang untuk memenuhi Hak Azasi Manusia maka pembatasan peradilan terhadap sengketa Izin Penetapan Lokasi yang diatur dalam Undang – Undang nomor 2 Tahun 2012 dan Perma Nomor 2 Tahun 2016 adalah tidak mengakomodir Hak Azasi Manusia Pencari Keadilan.

Pembangunan Bandara Tanpa Adanya AMDAL

Pada medio pertengahan bulan ini Tim Aparaisal akan mengumumkan besaran nilai ganti rugi tanah yang terkena proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Bukan kabar gembira tentunya bagi warga yang tetap mempertahankan tanahnya demi kelangsungan hidup dan keturunan selanjutnya. Karena dengan demikian laju pembebasan tanah untuk kepentingan umum tetap bergulir, dan tangisan – tangisan perlawanan akan semakin kencang terdengar. Bukan main kepalang mempertahannkan tanah itu begitu susah dan penuh ancaman serta intimidasi. Mungkin sudah kebal barangkali dengan seruan – seruan aparat, karena kebal itu terbentuk oleh semangat keyakinan  mempertahankan tanahnya. Seperti peribahasa jawa “sadhumuk bathuk sanyari bumi” ,“pecahing dada wutahing ludira”,”ditohing pati”, kurang lebih berarti tanah sebagai kehormatan yang harus dipertahankan walapun sampai harus bertaruh nyawa. Kurang lebih itulah hal yang diyakini sebagian besar warga Temon Kulonprogo sebagai pegangan dalam berjuang.

Pembangunan Bandara baru di Temon Kuplonprogo yang merupakan proyek strategis nasional sebagaimana dituangkan di Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Walaupun itu ditetapkan sebagai proyek strategis nasional tidak lantas membuat pembangunan proyek tersebut tidak mengikuti skema umum pembangunan yang ada serta mentaati segala ketentuan hukum yang mensyaratkan pembangunan.

Dampak lingkungan hidup dan sosial  yang ditimbulkan oleh pembangunan sangat nyata kentara pada 2 dekade akhir – akhir ini. Hal tersebut sudah berevolusi menjadi ancaman nyata untuk lingkungan sebagai ruang makhluk hidup. Seringkali dampak itu bermunculan pada pembangunan yang bersifat ekonomi usaha, sehingga memunculkan instrument pengendalian risiko lingkungan dan sosial. Dengan landasan inilah salah satu solusi untuk memitigasi dampak lingkungan dan sosial ini adalah dengan menggunakan Pendekatan pembangunan berkelanjutan ( Sustainable Development), dimana dalam mencapai pertumbuhan ekonomi juga harus mempertimbangkan aspek – aspek risiko lingkungan dan sosial demi tercapainya pertumbuhan yang lestari. Guna mencapai pembangunan berkelanjutan tersebut maka munculah instrument seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 22 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.

Apa itu amdal ?. Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Lebih lanjut amdal diperlukan sebagai landasan ilmiah dan solusi untuk memitigasi dampak lingkungan dan sosial. Maka dari pengertian tersebut jelas Amdal memiliki peran yang sangat penting dalam pelestarian Lingkungan. Namun tidak hanya itu saja, melainkan Amdal adalah sebagai instrument penting yang nantinya akan tebit izin lain yang diperlukan.

Dimana letak Amdal dalam pengadaan tanah ? Amdal penting dalam pengadaan tanah berada diproses perencanaan pengadaan tanah, sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 71 tahun 2012 pasal 6 ayat (1) dan (2) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)disusun berdasarkan studi kelayakan yang mencakup:

  1. survei sosial ekonomi
  2. kelayakan lokasi;
  3. analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat
  4. perkiraan nilai tanah;
  5. dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat dari Pengadaan Tanah dan pembangunan; dan
  6. studi lain yang diperlukan.

Dampak lingkungan dan dampak sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau dokumenlingkungan hidup lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal ini yang dimaksud dengan dokumen lingkungan hidup merupakan a)dokumen Amdal; b) formulir UKL-UPL; dan  c)SPPL. Makajelas dalam aturan tersebut, Dokumen perencanaan pengadaan tanah harus juga menyertakan Amdal. Dokumen pengadaan tanah tersebut menjadi dasar Gubernur mengeluarkan Izin Penetapan Lokasi.  Amdal kembali dipertegas keberadaannya sebelum Izin Penetapan Lokasi tertuang dalam Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B4718/MENLH/09/2003 tanggal 24 September 2003 perihal AMDAL dan Izin Lokasi yang ditujukan kepada Bupati/Walikota menyebutkan bahwa hasil studi AMDAL sebagai persyaratan dalam penerbitan izin lokasi.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X tak tahu ada surat Menteri Lingkungan Hidup tentang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) harus ada sebelum kepala daerah menerbitkan izin penetapan lokasi (IPL) sebuah proyek pembangunan.Ketidaktahuan Sultan, yang juga Raja Keraton Yogyakarta, ini mengakibatkan dia sebagai kepala daerah mengeluarkan izin penetapan lokasi untuk proyek pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo sebelum ada amdal. Sultan mengakui proyek pembangunan bandara baru itu belum memiliki amdal. “Belum (ada amdal). Ya, nanti toh. Kan ini baru IPL. Tanahnya belum dibeli kok gawe amdal (kok membuat amdal)?” kata Sultan saat ditemui di gedung DPRD DIY, Selasa, 31 Mei 2016. Berdasarkan IPL tanpa amdal itu, pemerintah DIY sudah mulai melakukan proses pembebasan lahan milik penduduk. Sultan berkukuh dasar pembebasan lahan adalah IPL yang dikeluarkan Sultan pada 31 Maret 2015. (Tempo 13/05/2016).

Kutipan pernyataan yang dimuat oleh Tempo tersebut menunjukan keteledoran pejabat pembuat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam hal ini Izin Lokasi. Keteledoran tersebut membuat proses pengadaan tanah yang sekarang berjalan menjadi cacad administrasi. Maka semestinya proses pengadaan tanah tersebut demi hukum berhenti. Pernyataan Pejabat TUN akan ketidaktahuan peraturan yang mensyaratkan Amdal harus ada lebih dahulu sebelum  Izin Penetapan Lokasi bukan merupakan alasan pembenar. Selayaknya seorang Pejabat TUN selaku penyelenggara Negara juga mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan hukum sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum.

Pengetahuan seseorang terhadap aturan hukum tak dapat dilepaskan dari Fiksi hukum, dimana asas tersebut  menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman. Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Terlebih dipertegas ketidak tahuan akan hukum tidak dikenal dalam hukum Indonesia sebagaimana prinsip dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan putusan MK No. 001/PUU-V/2007 memuat prinsip yang sama: “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf” dan Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”.

Dengan terdapatnya cacad administrasi karena tidak adanya AMDAL dan Ijin Lingkungan Pembangunan Bandara Kulon Progo, sampai dengan proses pembebasan tanah yang sebetulnya masuk tahap pra konstruksi, menjadikan pengadaan tanah yang sekarang berjalan dengan Mal Administrasi harus dihentikan. Dokumen Amdal dan Ijin Lingkungan ini bukan lah sekedar dokumen formalitas saja, Ia bernilai sangat strategis sebagai intrumen pengambilan keputusan yang memperhatikan banyak hal, dalam hal ini aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Bahkan Ijin Lingkungan boleh dibilang sebagai jantung undang-undang, ketika secara prosedur ia salah maka ia secara hukum pun catad dan harus dibatalkan. Apabila pengadaan tanah tetap berjalan berarti terdapat pembiaran dan  toleransi terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan prosedur, hukum dan sangat beresiko tinggi terhadap lingkungan.