Perlindungan Negara Terhadap Buruh Migran

AntaraFoto/Teresia May

Oleh : Istiana

“Negara memang telah mengeluarkan berbagai peraturan dan regulasi yang berhubungan dengan keberadaan buruh migran, namun semuanya lebih menekankan pada aspek penempatan dan pembinaan di luar negeri.  Solusi dalam bingkai normatif yang dibangun dirasakan kurang mencerminkan kebijakan yang menyentuh perlindungan bagi buruh migran.  Paradigma perlindungan belum dikedepankan.”

Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation/ILO) mendefinisikan seorang “pekerja migran”, sebagai seseorang yang bermigrasi, atau telah bermigrasi dari satu negara ke negara lain, dengan sebuah gambaran bahwa orang tersebut akan dipekerjakan oleh seseorang yang bukan dirinya sendiri, termasuk siapapun yang biasanya diakui sebagai seorang migran, untuk bekerja. Karena dalam prakteknya buruh migran tersebut menyangkut 2 negara, maka pemerintah wajib ikut campur tangan dalam mengurusi masalah penempatan para calon buruh migran tersebut, oleh karena itulah dibuatnya beberapa regulasi yang mengatur masalah TKI.

Secara umum payung perlindungan hukum tersebar dalam berbagai instrumen hukum termasuk hukum nasional, konvensi internasional, dan persetujuan diplomatik. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri (UUTKI/UU Buruh Migran).  UUTKI tersebut menegaskan kewajiban melindungi, namun tidak ada hukum atau regulasi yang secara khusus mengatur dan mengakui keberadaan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan di ranah domestik sebagai pekerjaan formal, yang berimplikasi melindungi pekerjanya.

Ada banyak traktat internasional yang mengatur hak buruh migran, yang terakhir adalah The International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families,  (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya) yang dikeluarkan oleh PBB tahun 2003 sebagai hukum internasional.  Konvensi ini telah diratifikasi oleh 43 negara, dan Indonesia pada tahun 2012 lalu telah meratifikasinya dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012.  Meski Indonesia telah meratifikasi, namun belum terlihat langkah-langkah nyata untuk memperbarui berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan buruh migran untuk diselaraskan dengan konten konvensi.

Selain itu, negara Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang terkait dengan diskriminasi, misalnya Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan / Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) serta berbagai konvensi International Labour Organization  (ILO) lainnya.  Namun, implementasi kebijakan masih mengandung diskriminasi, bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada perdagangan manusia, karena memposisikan buruh migran seolah-seolah komoditas perdagangan.

Maraknya kasus-kasus hukum yang menimpa buruh di luar negeri menunjukkan minimnya perlindungan yang diberikan pemerintah.  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo mengatakan, perlindungan hukum menjadi penting dalam proses legislasi bidang ketenagakerjaan. Ia meminta agar DPR dan pemerintah memasukkan sebanyak mungkin materi perlindungan pekerja migran ke dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, masih ada ruang yang belum tersentuh hukum. Ia memberi contoh tempat bekerja buruh migran masuk ranah privat sehingga sulit tersentuh hukum.

Negara memang telah mengeluarkan berbagai peraturan dan regulasi yang berhubungan dengan keberadaan buruh migran, namun semuanya lebih menekankan pada aspek penempatan dan pembinaan di luar negeri.  Solusi dalam bingkai normatif yang dibangun dirasakan kurang mencerminkan kebijakan yang menyentuh perlindungan bagi buruh migran.  Paradigma perlindungan belum dikedepankan.

Peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya UUTKI,  tidak cukup memadai dalam memberikan perlindungan dan akses keadilan.  Oleh banyak pihak, substansi hukumnya dipandang tidak jelas, yang menimbulkan masalah dalam penerapannya.  Di antara ketidakjelasan itu adalah ketiadaan sanksi bagi para pihak yang melanggar.  Meskipun UUTKI menjadi satu-satunya undang-undang khusus yang mengatur tentang buruh migran, namun di dalamnya tidak meliputi pengaturan tentang buruh migran domestik.  Dua tahun sejak UUTKI disahkan,  kemudian diterbitkan Instruksi Presiden tahun 2006  tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Sejumlah aktivis dari gerakan advokasi buruh migran berpendapat UUTKI dinilai lebih mengusung semangat bisnis, yaitu kepentingan perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).Kepentingan bisnis tersebut berkaitan dengan lalu lintas uang yang sangat besar dalam migrasi tenaga kerja dan tidak berpihak kepada buruh migran. Selain itu, pada level kebijakan maupun implementasi, UUTKI telah menempatkan buruh migran sebagai komoditas dalam bentuk pengadaan tenaga murah bagi kepentingan pengusaha PJTKI.

Pada tahun 2006, terdapat 400-an perusahaan PJTKI yang resmi, sebagian besar di antaranya bergabung dalam suatu asosiasi bernama APJATI.  Di sisi lain, diperkirakan terdapat 800 perusahaan PJTKI yang illegal, karena tidak memiliki izin resmi. Sementara itu, Konsorsium Pembela Buruh migran Indonesia (KOPBUMI) mencatat pemberian judul dan penyusunan konsideran pun dinilai tidak mencerminkan itikad baik pemerintah untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada buruh migran.

UUTKI berjudul Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri.  Penamaan tersebut mencerminkan cara berpikir yang lebih mengedepankan persoalan penempatan dari pada perlindungan, dari 109 pasal dan 16 Bab, hanya terdapat 8 pasal saja (pasal 27 sampai pasal 84) yang mengatur mengenai perlindungan tenaga kerja, sementara 86 pasal mengatur mekanisme penempatan buruh migran.  Hal ini menunjukkan bahwa UUTKI lebih mengatur soal tata niaga dan kepentingan perusahaan PJKTI, dan bukan perlindungan kepada buruh migran.

Selanjutnya masih dalam UUTKI, pasal mengenai perlindungan ini selain tidak jelas, juga sangat tidak memadai untuk memproteksi hak dan kepentingan buruh migran Indonesia.  Meskipun dalam pasal 77 ayat (2) disebutkan, “Perlindungan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan”.  Namun dalam pasal-pasal berikutnya (pasal 78 sampai pasal 84) semuanya hanya bermakna perlindungan selama masa penempatan di negara tujuan.  Sangat Jelas UUTKI ini tidak mampu menjangkau buruh migran perempuan di rumah majikannya di luar negeri.

Tak dapat dihindari, salah satu implikasi dari pengutamaan pada penempatan dari pada perlindungan adalah tidak terakomodasinya perlindungan bagi pekerja migran yang tidak berdokumen, yang sering dianggap sebagai buruh migran undocumented.  Mereka dianggap tidak perlu memperoleh proteksi karena berada di luar kerangka penempatan.  Hal tersebut juga berlaku pula bagi buruh migran yang berangkat secara mandiri.  Sedangkan di dalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, di dalamnya juga mengakomodasi perlindungan bagi buruh migran yang tidak berdokumen, termasuk mereka yang berangkat secara mandiri.  Persoalan lain yang harus dihadapi oleh buruh migran adalah soal rekrutmen dan penempatan buruh migran Indonesia di luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan swasta.  Peran pemerintah hanyalah mengawasi melalui skema perizinan.

Pengetahuan dan pemahaman hukum juga menjadi unsur penting bagi jaminan akses keadilan buruh migran.  Para buruh migran seharusnya mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pemenuhan hak-hak dasarnya. Kesempatan yang paling terbuka untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman hukum sebenarnya terletak pada tahap pra pemberangkatan, ketika mereka mendapatkan sejumlah latihan dan pendidikan.  Namun pada prakteknya seringkali kualitas pendidikan dan pelatihan kerja calon buruh migran bisa dikalahkan oleh orientasi memberangkatkan sebanyak mungkin buruh migran demi mendapatkan keuntungan. Masalah lain yang terkait dengan penjaminan akses keadilan bagi buruh migran adalah identitas hukum.  Dalam kenyataannya, banyak buruh migran yang tidak memiliki akses untuk memperoleh dengan cara yang tepat, dan menyimpan dokumen identitas dirinya.  Pemalsuan dokumen, pemalsuan data dokumen, dan penahanan paspor oleh majikan atau jasa pengerah tenaga kerja adalah peristiwa yang sering dijumpai.

Elemen penting berikutnya adalah tersedianya bantuan hukum, terutama selama berada di luar negeri. Ketiadaan hukum khusus yang mengatur soal pekerjaan domestik, maka akses buruh migran domestik kepada bantuan hukum yang mereka hadapi sangat banyak, termasuk banyaknya kasus buruh migran yang mengalami kekerasan.  Di negara-negara Teluk, seperti Uni Emirat Arab, konsep mengenai illegal worker, dikaitkan dengan keberadaan pekerja yang lari dari rumah karena berbagai sebab, termasuk tidak tahan terhadap perlakuan majikan.  Berdasarkan kontrak kerja, begitu keluar dari rumah, mereka dianggap illegal dan polisi bisa menangkapnya sebagai kriminal.  Dalam hal seperti ini bantuan hukum sangat dibutuhkan.

Persoalan buruh migran adalah persoalan yang sangat serius, banyaknya persoalan yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia disebabkan ketidakseriusan dan ketidakmampuan negara memberikan proteksi kepada buruh migran. Buruh migran dibiarkan begitu saja bekerja dan mengabdi di negeri orang tanpa adanya jaminan perlindungan dari negara yang siap berada di garda depan mengatasi setiap persoalan yang dihadapi buruh migran. Jika kita ingat kasus beberapa buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati dan negara tidak mengambil peranannya melindungi warga negaranya, juga kasus buruh migran yang disiksa oleh majikannya dan negara hanya diam saja hingga kasus buruh migran yang menjadi korban dari perdagangan manusia itu pun negara masih tidak berbuat apa-apa.

Begitu banyak buruh migran yang hidup tanpa perlindungan hukum. Tidak adanya hukum yang mengatur pekerjaan domestik menimbulkan pertanyaan besar “Bagaimana pekerjaan tersebut dilihat oleh Negara?”. Devisa negara dari Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di berbagai negara Asia dan Eropa mencapai Rp 100 triliun per tahun. Kontribusi yang cukup besar tersebut diperoleh dari empat juta TKI yang bekerja di berbagai sektor di negara di asia, seperti Jepang, Korea, Thailand, China dan termasuk beberapa negara di Eropa. Sudah saatnya para pemangku kepentingan mulai menerapkan kebijakan yang lebih berpihak pada buruh migran.  Diakui atau tidak, negara mendapatkan sumber pemasukan yang sangat besar dari migrasi buruh ke luar negeri.