Oleh : Didik SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
“Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak”
(Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
“Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
(Pasal 39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
Setiap tanggal 1 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Tak terkecuali di Indonesia, setiap tanggal ini selalu disambut dengan berbagai macam agenda yang diselenggarakan oleh buruh, aksi dan menyampaikan tuntutan-tuntutan selalu menjadi agenda yang tak terlewatkan. Aksi ini selalu dilakukan sebagai pertanda bahwa ada persoalan besar yang dihadapi oleh buruh. Penindasan dan penghisapan yang masih mewarnai kehidupan buruh menjadi alasan utama aksi turun ke jalan masih terus dilakukan, kehendak dan tuntutan hidup layak masih terus didengungkan. Perjuangan untuk mencapai hidup sejahtera tak pernah ditinggalkan.
Menjadi kajian yang menarik, ketika persoalan pemenuhan atas pekerjaan yang layak juga menjadi problematika bagi mereka yang sudah bekerja khususnya ketika bekerja dalam ruang lingkup hubungan industrial. Menarik sebab sampai dengan hari ini persoalan berkaitan dengan hubungan pekerjaan dalam lingkup industri selalu menjadi persoalan yang belum ada ujung penyelesaiannya. Mengapa? Karena adanya kontradiksi pokok antara buruh dengan pengusaha yang tidak mungkin terdamaikan. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja adalah untuk mendapatkan upah sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang ia dapatkan tidak hanya sekedar untuk mencukupi kehidupannya hari ini namun juga untuk memenuhi kehidupannya kelak secara layak. Sedangkan di pihak pengusaha tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan laba sebanyak-banyaknya. Kepentingan yang saling kontradiktif ini akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dan pengusaha.
Upah yang layak serta kondisi kerja yang nyaman (kaitannya dengan praktek outsourcing dan ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK) menjadi persoalan yang tak kunjung menemui titik temu ditambah dengan persoalan tentang kebebasan berserikat yang seringkali dihadapi oleh mereka yang bekerja dalam lingkup hubungan industrial (kita sebut: buruh/pekerja).
Persoalan Upah
Upah senantiasa merupakan agenda utama dan tuntutan utama dalam setiap gerakan buruh. Tuntutan upah yang layak selalu muncul pada stiap peringatan Hari Buruh. Demonstrasi dan mogok kerja selalu terjadi pada saat-saat menjelang penentuan UMK. Dan sebaliknya seperti mengikuti hukum aksi-reaksi, kalangan pengusaha menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan upah agar tetap rendah. Apalagi bagi buruh yang bekerja dengan penerapan sistem kerja kontrak maupun sistem outsourcing. Mereka bisa saja sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan dan penghasilan sehingga dengan keamanan kerja yang rendah dan posisi buruh yang sangat lemah, maka upah merupakan satu-satunya sandaran hidup bagi mereka. Gerakan buruh menuntut upah layak yang baru-baru ini terjadi adalah akhir tahun 2015 lalu dimana pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Gelombang penolakan dan protes dilakukan oleh buruh di berbagai daerah. Buruh menolak peraturan ini karena dinilai sangat merugikan buruh dan semakin melemahkan posisi buruh di hadapan pengusaha. Pasalnya, dalam aturan ini komponen pengupahan tidak lagi ditetapkan oleh Pemerintah tapi ditetapkan oleh pengusaha. Apalagi komponen upah ini hanya akan direview setiap 5 tahun. Padahal kebutuhan hidup selalu meningkat bahkan dalam hitungan minggu. Bisa dibayangkan ketika komponen upah hanya akan diperbarui setiap 5 tahun sekali, maka bagaimana dengan kehidupan hidup buruh bisa dipastikan akan lebih tidak sejahtera dar hari ini.
Hukum adalah produk poliik, alat penguasa melanggengkan kekuasaannya. PenetapanPeraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan jelas mengakomodir kepentingan pemodal dengan tetap menjaga ketersediaan tenaga kerja murah di Indonesia. Program penetapan aturan pengupahan itu sebagai bagian dari paradigma ekonomi di sebagian besar negara di dunia terlebih negara yang memiliki kesepakatan dengan IMF dan World Bank. Program-program penyesuaian ini merupakan bagian dar proyek neoliberal. Susan George (2000) mendaftar sejumlah paradigma dan doktrin-doktrin neoliberal yang harus dianut oleh negara:
- Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting
- Negara harus secara sukarela mengurangi intervensi dan peranannya di bidang ekonomi
- Perusahaan harus diberi kebebasan total
- Serikat buruh harus diawasi dan diberangus
- Proteksi dan subsidi sosial bagi warga negara harus dikurangi
Bukti bahwa Indonesia juga menganut doktrin dan prinsip neoliberal adalah dengan mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam aturan yang baru ini mekanisme penetapan upah diserahkan pada pasar dan pengusaha (baca: Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan). Negara tidak lagi berperan dalam penetapan upah, ini sebagai wujud pengurangan intervensi dan memberikan kebebasan total bagi perusahaan.
Persoalan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing
UU Ketenagakerjaan khususnya pasal 64, 65, dan pasal 66 mengijinkan praktek penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing sekalipun ada batasan-batasan yang ditentukan bahwa untuk sektor produksi utama dilarang menerapkan sistem kontrak apalagi outsourcing, namun sekali lagi tidak ada sanksi bagi pengusaha yang melanggar larangan itu. Dalam beberapa praktek hubungan industrial, banyak sekali pengusaha yang melanggar aturan ini. Beberapa praktek yang sering ditemui (berdasarkan hasil pengaduan yang sering masuk ke LBH Yogyakarta), sistem kontrak diterapkan lebih dari 2 tahun yang kemudian diperbaharui setiap 2 tahun. Pola yang biasa diterapkan untuk menghindari protes adalah dengan cara buruh yang akan memperbarui kontrak kerja setelah 2 tahun, diberhentikan dahulu beberapa lama. Kemudian buruh tersebut diminta untuk mengajukan lamaran yang baru untuk menghindari ketentuan mengangkat buruh sebagai pegawai tetap setelah bekerja selama 2 tahun lebih.
Begitu pula dengan praktek outsourcing, polanya tidak jauh berbeda dengan sistem kontrak. Setelah 2 tahun buruh akan diminta melamar kembali di perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja. Kondisi pekerja sistem outsourcing lebih tidak menguntungkan lagi sebab tidak ada kepastian terkait dengan hubungan kerja. Mereka tidak memiliki hubungan kerja langsung dengan si pengusaha karena hubungan kerjanya dengan perusahaan penyalur kerja sehingga sangat sulit menyelesaikan persoalan ketika si pemberi kerja melanggar hak-hak buruh apalagi jika jalur penyelesaian yang ditempuh adalah dengan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Baru-baru ini kencang beberapa usulan yang ingin merevisi UU Ketenagakerjaan, tentunya bukan revisi yang semakin mengarah pada perbaikan kondisi buruh. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan tentang pekerjaan yang boleh diterapkan sistem kontrak diusulkan untuk direvisi sehingga SEMUA JENIS PEKERJAAN BISA DIKONTRAK dan waktu kontrak boleh 5 tahun. Pasal 64, 65, 66 UU Ketenagakerjaan tentang Outsourcing akan diefektifkan hingga SELURUH JENIS PEKERJAAN BISA DI OUTSORCING. Ini jelas menambah jenis penindasan yang semakin memperburuk nasib kaum buruh. Outsorcing membuat buruh tidak berhadapan langsung dengan majikan tetapi yayasan penyalur tenaga kerja yang tidak ada hubungan dengan produksi dalam perusahaan. Akibatnya hubungan kerja menjadi tidak jelas termasuk ketidakjelasan pemenuhan hak-hak buruh.
Buruh kontrak dan outsourcing adalah kaum yang hidupnya tak berketentuan, sebab kapan saja perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sistem kerja kontrak dan outsourcing sebagaimana diketahui memang dirancang untuk memudahkan perusahaan untuk mempekerjakan dan memberhentikan buruh (hire and fire). Kontrak dan outsourcing membuat kesempatan kerja menjadi pendek dan terbatas. Buruh dengan mudah digantikan dengan buruh baru.
Persoalan Pemberangusan Serikat Pekerja
Pemberangusan serikat pekerja bersangkut-paut dan sukar dilepaskan dari persoalan yang lain seperti upah dan sistem kerja. Pemberangusan serikat lazim terjadi ketika buruh bangkit dan mempersoalkan berbagai pelanggaran di tempat kerja. Berbagai cara dilakukan oleh perusahaan untuk membubarkan serikat pekerja yang aktif melakukan perlawanan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Caranya ada yang serta merta dibubarkan atau dengan cara lain yang pada prinsipnya melemahkan serikat pekerja. Pertama, perusahaan akan mengadu domba serikat pekerja dengan membentuk serikat pekerja yang lain di lingkungan perusahaannya. Serikat kerja yang dibentuk ini bukanlah serikat pekerja yang maju tapi memang serika pekerja yang sengaja dibentuk perusahaan untuk menyamarkan konflik dengan cara mengalihkan konflik yang awalnya diantara pekerja dengan perusahaan menjadi konflik antar serikat pekerja. Kedua, perusahaan juga menjalankan politik adu domba antara serikat pekerja dengan masyarakat sekitar. Strategi ini dijalankan dengan cara menyewa berbagai Ormas sehingga membuat kesan masyarakat melawan buruh menjadi lebih kuat. Tak jarang Ormas yang disewa ini melakukan penyerangan dan pembubaran beberapa agenda yang diadakan buruh termasuk melakukan pembubaran tenda pemogokan yang dibuat buruh (seperti yang terjadi pada aksi mogok buruh Bekasi 2012 lalu).
Ketiga, perusahaan juga menyebarkan teror dan rasa takut di kawasan-kawasan industri dengan melakukan berbagai penyerangan dan kekerasan. Teror juga dilakukan dengan melakukan PHK kepada anggota-anggota serikat pekerja hingga bekerja sama dengan aparat penegak hukum melakukan penangkapan-penangkapan dan kekerasan pada setiap aksi-aksi buruh. Praktek terakhir yang terjadi pada buuh di kawasan industri di Bekasi mulai muncul pemberian tanda tertentu dalam surat pengalaman kerja (paklaring) bagi buruh yang menjadi anggota serikat pekerja dan di-PHK. Sehingga buruh tersebut akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan ditempa kerja yang lain. Sebab ketika menunjukkan surat pengalaman kerja terdapat tanda tertentu yang menunjukkan dia pernah menjadi anggota serikat pekerja, dan dinilai pernah menimbulkan masalah di pabrik sebelumnya.
Ketiga persoalan buruh yang dipaparkan di atas (upah, sistem kerja kontrak dan outsourcing, pemberangusan serikat pekerja) sampai dengan hari ini masih menjadi problematika. Solusi yang paling mungkin dilakukan oleh buruh untuk keluar dari persoalan-persoalan itu adalah dengan membentuk serikat pekerja yang maju yang bersandar pada kekuatan sendiri (kekuatan buruh itu sendiri) sebab menyerahkan nasib buruh di tangan negara tidak akan pernah menjadi jalan keluar yang baik bagi buruh itu sendiri. Mau tidak mau buruh harus memperjuangkan kesejahteraan bagi mereka sendiri dengan kekuatan mereka sendiri. Kondisi kaum buruh yang semakin tertekan ini memaksa mereka untuk harus sesegera mungkin membuat sebuah gerakan besar memperjuangkan nasib mereka. Kaum buruh harus mulai mengkosolidir diri untuk berserikat dan membahas persoalan mereka. Kaum buruh harus mulai melakukan pendidikan-pendidikan maju untuk membangun kesadaran buruh. Menyatukan kekuatan buruh, menyatukan serikat-serikat buruh dalam sebuah gerakan besar, serta menyatukan buruh dengan elemen rakyat yang lain sebab tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh buruh selain menyatukan seluruh elemen rakyat untuk keluar dari persoalan yang dihadapi buruh saat ini.