Oleh: Dwi Prasetyo Pujo Wibowo
Perempuan dalam konstruksi sosial, memang sudah mengalami banyak perubahan. Setiap kehidupan bermasyarakat dapat kita ketemukan betapa hebatnya peranan seorang perempuan. Bahkan di era yang serba modern seperti saat ini, keterlibatan seorang perempuan juga merupakan suatu faktor penentu dari sebuah keberhasilan dalam suatu tujuan. Akan tetapi semua fakta tersebut hanyalah tahapan awal perjuangan terhadap keberadaan dan pengakuan terhadap dirinya, bahwa mereka juga memiliki peran yang sama dalam setiap konstruksi sosial yang terbangun di dalam masyarakat.
Estetika dan etika tradisional merupakan titik awal dari kesadaran mereka untuk berjuang, meraih cita-cita kesetaraan di seluruh bagian kehidupan bermasyarakat. Dapat di contohkan, di masa-masa dahulu seorang perempuan tidak selayaknya untuk bersekolah, karena mereka hanyalah seorang ibu rumah tangga yang lingkup teritori kekuasaannya hanya disekitar pekarangan keluarganya. Tak elok kata orang-orang tua dimasa itu, jika seorang perempuan menjadi seorang pemimpin, rugi apabila seorang perempuan menghimpun ilmu melalui pendidikan formal.
Kata orang, perempuan hanyalah bagian kecil dari kehidupan berkeluarga yang tugasnya adalah “macak, manak, lan masak”. Begitulah wujud dari keberadaan perempuan pada masa itu yang sejatinya merupakan manifestasi dari sebuah makna “penindasan” itu sendiri.
Perempuan pada masa itu tidak memiliki kebebasan untuk memilih apa yang diinginkan untuk hidupnya. Tidak dapat memilih sampai sejauh apa tingkat pendidikannya, apa dan dimana dia bekerja, apalagi untuk menentukan dirinya terlibat dalam percaturan dunia politik negeri ini. Namun, di era yang kata orang “maju” ini keterlibatan seorang perempuan baik di dunia pendidikan, di lapangan pekerjaan lainnya, hingga menempati kursi-kursi perpolitikan semakin nyata. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan apakah dengan semakin nampaknya keterlibatan seorang perempuan di luar pekerjaan “domestik”nya itu berarti bahwa “penindasan” itu sudah hilang dari kehidupan perempuan?
Tidak sama sekali!
Sekali pun perempuan sudah terlibat dalam berbagai sektor kehidupan manusia manifestasi “penindasan” masih melingkupi kehidupan sebagian besar perempuan Indonesia, penindasan yang juga dialami oleh 85% kaum buruh dan kaum tani. Penindasan itu sangat nyata dalam sebuah bingkai bernama “kemiskinan”. Dari catatan UNICEF tahun 2015 didapatkan angka anak putus sekolah mencapai 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara itu angka anak putus sekolah perempuan lebih tinggi dibandingkan angka anak putus sekolah laki-laki. Dan angka anak putus sekolah ini terjadi dalam lingkup keluarga yang tidak mampu secara ekonomi (keluarga miskin). Data UNICEF juga menambahkan bahwa angka anak putus sekolah di pedesaan jauh lebih besar 3% dibanding dengan anak putus sekolah di pedesaan. Kenyataan soal kemiskinan semakin mencengangkan manakala pada tahun 2012 Bank Dunia memberikan data kemiskinan di Indonesia sangat parah, dari total populasi 231 juta penduduk Indonesia terdapat 50,6% atau setara dengan 117 juta penduduk yang masuk dalam kriteria miskin.
Faktor kemiskinan juga pasti akan berimbas pada sektor lain dari kehidupan manusia itu. Kemiskinan menyebabkan orang harus mengalami putus sekolah, bahkan ada pula yang sampai tidak merasakan bangku pendidikan sama sekali. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah buta aksara perempuan masih dua kali lipat dari laki-laki (perempuan 12,28% dan laki-laki 5,48%). Kemiskinan juga pasti akan berdampak pada sektor penting lainnya yaitu kesehatan. Hasil Survey Demografi Kesehatan Ibu tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kematian ibu menunjukkan bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia mencapai 390/100.000 kelahiran.
Di pedesaan, perempuan yang bekerja sebagai petani juga tidak jauh berbeda, lingkar kemiskinan masih melingkupi. Penerapan sistem inti-plasma di areal perkebunan, peribaan, hingga bibit tanaman dan biaya produksi yang semakin mahal ditambah dengan ketidakadanya kedaulatan bagi petani untuk menentukan harga jual atas produksi tanamannya tentunya semakin memperburuk kondisi petani khususnya petani perempuan. Kondisi ini masih akan semakin diperparah dengan sebuah proyek internasional bernama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang bertujuan untuk memuluskan intervensi swasta dalam penguasaan sumber daya alam di Indonesia. Proyek MP3EI sangat berpotensi menggusur ruang-ruang pekerjaan bagi petani. Lahan-lahan pertanian akan diubah menjadi bangunan mewah, industrialisasi, pembangunan infrastruktur yang pastinya akan mengatasnamakan sebuah “kemajuan” dan cita-cita “kesejahteraan”. Namun, apakah benar demikian? Jika 175 juta lahan di Indonesia atau setara dengan 91% luas daratan di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir pemodal, bagaimana mungkin kesejahteraan itu bisa dirasakan oleh rakyat sedangkan rakyat hanya ditempatkan sebagai buruh dengan penghasilan yang sangat minim yang tentunya tidak sebanding dengan apa yang dikerjakannya?
Di perkotaan, perempuan yang bekerja sebagai buruh juga tidak lebih baik. Buruh perempuan diupah dengan sangat minim bahkan dengan jam kerja yang sama dengan laki-laki, buruh perempuan mendapat upah yang tidak sama dengan laki-laki. Ditambah dengan tidak adanya pemenuhan atas cuti menstruasi, cuti hamil, cuti melahirkan, dan jaminan kesehatan bagi buruh perempuan. Belum lagi ketika buruh perempuan ini kembali di ranah domestik (keluarga) kegiatan produksinya juga tidak berhenti. Buruh perempuan ini harus kembali berproduksi yaitu memproduksi tenaga-tenaga kerja murah yang baru untuk menjamin kelangsungan produksi ekonomi pengusaha/pemodal di masa yang akan datang. Kondisi ekonomi yang semacam ini pastinya akan mempersulit perempuan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Hukum nasional sekarang pun juga masih terdapat instrumen-instrumen hukum yang masih mendiskreditkan perempuan sebagai manusia yang memiliki status yang dikesampingkan. Dalam hal terjadinya interelasi di antara sistem hukum itu, yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum, dan masing-masing hukum menjadi “borderless”, wacana hak asasi manusia dan keadilan, menjadi milik semua orang di segala lapisan. Namun bagaimanakah halnya dengan ide-ide keadilan gender atau keadilan bagi perempuan ditempatkan? Ternyata ketika bersentuhan dengan persoalan keadilan bagi perempuan, analisis harus dilakukan secara hati-hati, karena persoalannya menjadi sangat spesifik. Kuatnya budaya patriarkhis yang bersemai pada rumusan-rumusan hukum, penerapannya melalui interpretasi para penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat, menyebabkan upaya pemajuan perempuan melalui penegakan keadilan gender, menjadi sangat alot. Perlakuan diskriminasi terhadap perempuan sangat terlihat di aturan hukum seperti Burgelijkwetboek ( bahasa gampangnya adalah KUHPerdata) dan UU Perkawinan sekalipun di beberapa aturan hukum yang lain juga tidak menempatkan posisi perempuan dalam posisi yang lebih baik. Beberapa aturan hukum yang sangat nampak jelas secara harafiah mendiskreditkan posisi perempuan, antara lain:
-
Pada pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum sendiri, dan harus melalui persetujuan dari suaminya
-
Pasal 3 Ayat (2) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
-
Pasal 4 Ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :
“Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
-
istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
-
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-
istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Untuk menjawab problematika itu maka diperlukan sebuah revitalisasi dari segi hukum dan kebudayaan yang berspektif keadilan gender. Menerapkan secara konsisten UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…”, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women yang diratifikasi dalam UU No.5 Tahun 1984. Pembongkaran terhadap subtansi hukum yang masih banyak menyimpan ketidakadilan terhadap perempuan, khususnya yang menempatkan perempuan di ranah domestik dan berada dalam kekuasaan yang timpang dengan laki–laki baik di rumah tangga maupun di masyarakat luas. Membongkar budaya pikir aparat dalam institusi penegakan hukum (hakim, jaksa, pengacara, dan polisi) agar lebih berperspektif gender dengan memasukkan kurikulum hukum yang berperspektif perempuan di berbagai sekolah tinggi hukum. Institusi keluarga dan sekolah juga harus memainkan peranan penting sebagai agent of change, dalam meletakkan nilai-nilai hak asasi manusia dan keadilan bagi perempuan sebagai acuan berperilaku. Dan yang juga sangat penting yang harus dilakukan bagi perempuan dan gerakan perempuan saat ini dan dimasa yang akan datang adalah menyatukan perempuan dan gerakan perempuan dengan gerakan dan perjuangan rakyat secara luas. Memperkuat gerakan perempuan dan gerakan rakyat. Menempatkan gerakan dan perjuangan perempuan pada kerangka perjuangan klas buruh dan klas pekerja lainnya (tani, kaum miskin kota) untuk mencapai pembebasan nasional dan mewujudkan Indonesia baru, Indonesia yang terbebas dari kemiskinan.
(*tulisan ini dibuat sebagai bagian dari refleksi memperingati Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret)