Kicauan Florence Sihombing (FS) berbuntut panjang. FS akhirnya dilaporkan dengan tuduhan delik pasal 27 dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektornik (UU ITE). Seperti yang sudah-sudah, banyak “korban” terjerat pasal UU ITE, dari masyarakat lapisan atas sampai dengan lapisan menengah. Ada yang bermula dari sumpah serapah luapan emosi di fasilitas Short Message Service (SMS), ada yang membuat postingan grup Facebook sampai beradu kicauan di Twitter.
UU ITE seperti tak kenal ampun. Siapa saja akan dijerat. Dalam konteks dan ruang apa informasi ini dimuat, dan apa yang menjadi isi dari materi informasi yang dimuat. Selama materi dirasa “menyinggung” pihak tertentu, ia bisa jadi alat yang ampuh untuk memejahijaukan seseorang. Tak salah apabila banyak yang menilai bahwa undang-undang ini sangat anti demokrasi.
Kini, setelah 16 tahun reformasi bergulir. Harapan akan terbitnya demokratisasi dan perlindungan hak asasi manusia, menjadi cita-cita yang amat mulia dan begitu didambakan. Namun alih-alih harapan itu tercapai. Malahan sekarang, kita seolah-olah sedang kembali ke rezim yang penuh teror di masa lalu. Harapan akan demokratisasi, perlindungan terhadap harkat martabat manusia dan kebebasan berpendapat hanya jadi mitos belaka. Hukum pidana dalam UU ITE lagi-lagi menunjukkan tajinya. Ia memasung kebebasan berpendapat warga negara.
Alangkah ironis negeri ini. Padahal Konstitusi, UUD 1945, sudah memaklumatkan, Indonesia sebagai negara hukum. Secara teoritis, pilihan terhadap paham negara hukum menimbulkan konsekuensi kewajiban bagi negara untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia, termasuk juga kebebasan untuk berpendapat. Terlebih Pasal 28E ayat 2 menerangkan, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ayat 2 pasal yang sama kembali menegaskan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Menyimak bunyi pasal 28E ayat 2 dan 3 tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kebebasan untuk berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang tak dapat belenggu.
Di samping itu Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005. Pada pasal 19 ayat 1 menyatakan, setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu. Kemudian pada ayat 2 kembali ditekankan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya. Kebebasan berpendapat terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 23 ayat 2 secara garis besar mengakomodasi hak setiap orang untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang bernuansa hak asasi manusia tersebut jadi pegangan bagi aparatus negara untuk bertindak lebih manusiawi. Dalam kaca mata hak asasi manusia, perangkat negara adalah pemangku kewajiban. Maka dialah yang punya tanggung jawab untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak asasi warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap kebebasan berpendapat atau berekspresi.
Terkait kasus FS, Polisi akhirnya menjerat FS dengan Pasal 27 UU ITE. Selain itu, ia juga dikaitkan dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu penghinaan atau menista dan menyerang kehormatan serta mencemarkan. FS memang tak mengkritik penguasa, ia juga bukan aktivis hanya gadis biasa dari luar kota Yogykarta yang belum selesai belajar. Sepertinya berlebihan untuk bertempik sorak melihat FS yang berurusan dengan pidana seperti ini. Terlebih kita sangat sering melihat setiap hari masyarakat pengguna media sosial mengeluhkan segela unek-unek pelayanan publik.
Kasus pelaporan FS membuktikan bahwa UU ITE bisa menjerat siapa saja, baik itu aktivis atau bukan, ini tidak cocok dengan alam demokrasi. Masyarakat seharusnya lebih terbuka dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat. Masyarakat juga tak perlu terpancing dengan pernyataan seseorang yang dinilai berbeda. Pendekatan penyelesaian seperti ini dengan menggunakan UU ITE sangatlah berlebihan dan bertentangan nilai-nilai HAM.
Senin, 1 September 2014
LBH Yogyakarta
Samsudin Nurseha, SH
Direktur